Tuesday 17 February 2009

Identitas Budaya

Kesenian Tarawangsa:
Identitas Budaya yang Tercermin Pada Masyarakat Rancakalong

oleh

Aji Permana Sudjamza, S. Sn





Kebudayaan dapat diartikan peradaban yang mengandung pengertian luas, meliputi pemahaman perasaan suatu bangsa yang kompleks. E.B. Taylor (dalam Ilmu Budaya Dasar, 1998:10) mengemukakan kebudayaan meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat (kebiasaan), dan pembawaan lainnya yang diperoleh dari anggota masyarakat.
Para ahli banyak memperbincangkan mengenai definisi kebudayaan dan melahirkan beratus-ratus definisi yang berkenaan dengan kebudayaan. Salah satunya adalah pengertian kebudayaan menurut R Linton dalam bukunya The Cultural Background Of Personality (Harsojo, 1988:92) disebutkan, kebudayaan adalah konfigurasi tingkah laku yang dipelajari dari hasil tingkah laku, yang unsur pembentukannya didukung dan diteruskan oleh anggota masyarakat tertentu.
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kebudayaan adalah hasil budi daya manusia, sehingga kebudayaan dapat dipelajari. Tingkah laku yang dimaksud adalah tingkah laku simbolis manusia yang senantiasa hadir dalam kehidupan. Tingkah laku tersebut tidak bersifat naluri, misalnya cara berjalan, cara makan, minum, dsb., hal tersebut merupakan kebutuhan manusia yang alamiah. Apabila cara berjalan tersebut seperti prajurit atau peragawati yang memerlukan proses belajar, merupakan hasil dari kebudayaan.
Manusia selalu mengungkapkan keberadaannya dengan berbagai cara dalam kehidupan sosialnya. Pengertian kebudayaan dapat pula disebut sebagai “tradisi” yang diartikan sebagai pewarisan atau penurunan norma-norma, adat-istiadat, benda-benda, dan kaidah-kaidah. Tetapi bukan berarti tradisi tidak dapat diubah, justru tradisi dipadukan dengan perbuatan manusia yang lebih bersifat dinamis.
Setiap masyarakat di dunia memiliki kebudayaan yang sesuai dengan karakter dan identitas[1] (Achmad Sadali dalam agus Sachari, 2002:47)yang tidak dapat lepas dari ungkapan budayanya. Hal tersebut tercermin dari konsepsi-konsepsi pemikiran manusia (sistem budaya) dalam menuangkan gagasan untuk memenuhi kebutuhannya yang diimplementasikan dalam aktivitas manusia yang saling berinteraksi dan menghasilkan suatu wujud. Malinownski menyebutkan, kebudayaan di dunia memiliki tujuh unsur, yakni bahasa, sistem teknologi, sistem mata pencaharian, organisasi sosial, religi, dan kesenian. Setiap peradaban masyarakat di dunia memiliki tujuh unsur tersebut dengan kebiasaan, cara, dan penyesuaian terhadap budaya lingkungannya.
Apabila konsep kebudayaan tersebut diterapkan dalam kebudayaan Indonesia, tentunya akan menghasilkan berbagai macam ungkapan budaya dari setiap subkultur Indonesia. Jawa Barat misalnya, terdapat berbagai ungkapan budaya yang sesuai dengan identitas kedaerahannya. Penduduk asli Jawa Barat biasa disebut orang Sunda yang merupakan pembawaan kedaerannya memiliki berbagai adat dan kebiasaan dalam menjalani kehidupannya. Dapat dikatakan kebudayaan Sunda merupakan segenap tindakan dan aktivitas yang mengacu pada olah pikir masyarakatnya, di antaranya mengenai kesenian, ilmu pengetahuan, adat sopan-santun pergaulan, kepandaian menulis, organisasi kenegaraan, dan sebagainya.
Kesenian misalnya, salah satu unsur dari kebudayaan universal yang tercermin dalam kebudayaan Sunda merupakan local genius yang mencerminkan kepribadiannya. Banyak sekali kesenian orang Sunda yang merupakan warisan leluhurnya masih melekat pada hati masyarakat pendukungnya, dalam hal ini orang Sunda atau masyarakat Sunda yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur budayanya. Misalnya, kesenian pantun, beluk, tarawangsa, rengkong, tembang sunda cianjuran, dll., merupakan identitas budaya yang merupakan pengungkapan estetis dari pola pikir masyarakatnya.
Di masyarakat Rancakalong Kabupaten Sumedang terdapat kebiasaan masyarakat yang turun temurun dilakukan sampai saat ini. Tradisi tersebut adalah upacara ngalaksa yang selalu dilakukan setelah panen padi. Upacara tersebut melibatkan seluruh lapisan masyarakat Rancakalong atas keberkahan hasil panen padi dari Yang maha Kuasa. Dalam upacara tersebut digelar kesenian tarawangsa sebagai presentasi estetis dan sebagai medium untuk mengundang ruh leluhur ke alam manusia.
Fenomena tersebut merupakan hasil akal manusia untuk melakukan penghormatan terhadap Tuhan, sekaligus sebagai ungkapan budayanya. Tentunya kebiasaan tersebut dilakukan melalui proses belajar yang dilakukan secara lisan terhadap generasi penerusnya. Tulisan ini membahas seputar kesenian tarawangsa dalam upacara ngalaksa yang merupakan hasil dari kebudayaan yang tercermin dalam identitas budayanya.


Kesenian Tarawangsa
Di daerah Sunda terdapat alat musik gesek yang telah tua keberadaannya, yaitu tarawangsa. Tarawangsa lebih tua keberadaannya daripada rebab, alat gesek yang lain. Naskah kuna Sewaka Darma dari awal abad ke-18 (atau sebelum abad ke-15) telah menyebut nama tarawangsa sebagai nama alat musik. Rebab muncul di tanah Jawa setelah zaman Islam sekitar abad ke-15-16, merupakan adaptasi dari alat gesek bangsa Arab yang dibawa oleh kaum penyebar Islam dari tanah Arab dan India. Setelah kemunculan rebab, tarawangsa biasa pula disebut dengan nama rebab jangkung (rebab tinggi), karena ukuran tarawangsa umumnya lebih tinggi daripada rebab.
Tarawangsa merupakan salah satu jenis kesenian rakyat yang ada di Jawa Barat. Istilah tarawangsa memiliki dua pengertian: Pertama; sebagai alat musik gesek yang memiliki dua dawai yang terbuat dari kawat baja atau besi; kedua, merupakan nama dari salah satu jenis musik tradisional Sunda. Sebagai alat musik gesek, tarawangsa tentu saja dimainkan dengan cara digesek. Akan tetapi yang digesek hanya satu dawai, yakni dawai yang paling dekat kepada pemain; sementara dawai yang satunya lagi dimainkan dengan cara dipetik dengan jari telunjuk tangan kiri. Kedua; sebagai nama salah satu jenis musik, tarawangsa merupakan sebuah ensambel kecil yang terdiri dari sebuah tarawangsa dan sebuah alat petik tujuh dawai yang menyerupai kacapi, yang disebut Jentreng.
Kesenian tarawangsa hanya dapat ditemukan di beberapa daerah tertentu di Jawa Barat, yaitu di daerah Rancakalong (Sumedang), Cibalong, Cipatujah (Tasikmalaya Selatan), Banjaran (Bandung), dan Kanekes (Banten Selatan). Tarawangsa di daerah Cibalong dan Cipatujah, selain digunakan dua jenis alat tersebut di atas, juga dilengkapi dengan dua perangkat calung rantay, suling, juga nyanyian. Alat musik tarawangsa dimainkan dalam laras pelog, sesuai dengan jentrengnya yang distem ke dalam laras pelog


Upacara Ngalaksa
Rancakalong merupakan sebuah desa sekaligus Kota Kecamatan Rancakalong Kab. Sumedang. Sebagian besar penduduknya, sejak masa silam hingga kini, mengandalkan hidup dari bersawah dan bercocok tanam. Karena itu pula, kultur masyarakat daerah ini seakan tetap menyatu dengan alam sekitar. Sistem nilai, tradisi, dan seni budaya, masih cukup melekat di sana.
Di daerah itu masih cukup banyak kebiasaan dari para leluhur, dipertahankan menjadi semacam adat atau tradisi. Selain dapat dilihat dari banyaknya even kesenian dan tradisi yang kini menjadi agenda pariwisata, seperti upacara adat ngalaksa dan rayagungan, beberapa jenis kesenian tradisional masih tetap mewarnai kehidupan warga di sana. Bahkan, desa ini pula memiliki kawasan desa wisata sebagai miniatur kebudayaan masyarakat sekitar, sekaligus sentralisasi budaya setempat untuk dipragmentasikan kepada masyarakat.
Meski kemasannya berbeda, upacara rayagungan dan ngalaksa yang rutin digelar setiap tahun, memiliki makna dan tujuan yang sama, yaitu sebagai pendorong motivasi dan rasa syukur atas hasil panen yang diperoleh masyarakat di sana. Hanya saja, bila tradisi rayagungan yang upacara ritualnya lebih menonjolkan figur para pendekar dan paranormal dan baru digelar ke tiga kali, sedangkan upacara adat ngalaksa sudah ada sejak masih zaman penjajahan Belanda.
Upacara ngalaksa, merupakan upacara ritual sebagai wujud rasa syukur kepada yang Maha Kuasa atas hasil panen yang sudah dilimpahkan kepada masyarakat setempat. Dalam upacara ngalaksa ini, selalu diwarnai berbagai simbol, seperti kesenian rengkong yang berarti mapag ibu pare (padi sunda), kemudian sawen mencerminkan panen, serta jentreng tarawangsa yang artinya ngamumule dimana padi sudah dibawa ke rumah. Ada pula beberapa ikatan kayu bakar yang dipikul untuk pelaksanaan ngalaksa atau mememasak nasi.
Prosesi utama ngalaksa bukan hanya unjuk kekuatan fisik. Prosesi inti justru terjadi di dalam ruangan saat suara mistis jentra Tarawangsa mulai mengalun. Tarawangsa adalah prosesi yang lebih bersifat batiniah. Tarawangsa mengandung arti menerawang pada yang Esa. Melalui Tarawangsa, para penari diajak menyatukan diri hingga dalam kondisi hening dan terbawa alam transedental. Asap dupa yang mengepul semakin tebal, seolah roh-roh gaib datang untuk menyatu dalam kekhidmatan mistis suara rebab dan jentreng atau kecapi. Konon itulah yang dalam konsep religi kuno Sumedang disebut proses penyatuan antara dunia gaib dangan jagat batin manusia.


Orisinalitas dan Identitas
kesenian yang dimiliki merupakan orisinalitas pemilik kesenian tersebut, di mana tertuang nilai estetik sebagai suatu wujud karya budaya. Orisinalitas dibentuk oleh pandangan-pandangan budaya yang dimiliki oleh suatu bangsa. Akhirnya, timbulah identitas yang secara harfiah merupakan ciri khas kedaerahan yang tidak dimiliki oleh suku bangsa manapun atau merupakan tanda pribadi yang sangat pribadi dan tidak dimiliki oleh bangsa manapun.
Kesenian tarawangsa yang digunakan dalam upacara ngalaksa merupakan wujud budaya yang mencerminkan ciri kedaerahannya. Hal tersebut dapat teridentifikasi dari organisasi sosial dan religi masyarakat Rancakalong. Kebiasaan-kebiasaan dalam upacara ngalaksa, seperti menyiapkan sesajen yang terdiri dari aneka makanan dan buah merupakan suatu kebiasaan masyarakat zaman dahulu yang masih terpengaruh oleh keyakinan masyarakat Sunda lama. Selain itu, pencerminan jati diri tersirat dalam masyarakat Rancakalong yang bergotong royong atau bekarjasama untuk mencapai satu tujuan yang sama, yakni untuk mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan hidup.
Keanekaragaman jenis seni budaya yang di miliki Jawa Barat menjadi suatu kebanggaan, bahwa kebudayaan daerahan dapat memperkaya bangsa , bangsa yang besar adalah bangsa yang kaya akan seni budaya yang dimilikinya. kiranya, harus disadari pentingnya pembinaan, pengembangan, dan pelestarian agar keberadaannya tidak hilang dan menjadi identitas bangsa, sekaligus membawa nama daerahnya yang harus dimiliki dan dihargai oleh masyarakatnya.


Penutup
Fenomena tersebut merupakan eksitensi kesenian tradisional yang terkandung nilai-nilai kehidupan tradisi, pandangan hidup, rasa etis dan estetis, serta ungkapan budaya lingkungannya. Hasil kesenian tradisional biasanya diterima sebagai tradisi pewarisan yang dilimpahkan dari angkatan tua kepada angkatan yang muda. Pada dasarnya kesenian tarawangsa memiliki hubungan timbal balik dengan kebutuhan masyarakt rancakalong, apabila kesenian diciptakan memberikan manfaat bagi kehidupan manusia maka tercapailah esensi yang sesungguhnya. Tetapi apabila tidak memberikan apa–apa bagi kehidupan manusia, maka keberadaan kesenian tidak bermanfaat, karena tidak dapat menentramkan batin, kehalusan budi yang menghayatinya.
[1] Identitas adalah tanda dari kepribadian yang tidak dimiliki oleh siapa pun, kepribadian sendiri adalah jumlah seluruh watak sosial seseorang dan kualitas yang memancar dari pribadinya yang merupakan eksistensi kepribadian .

Tafsir Naskah

"Dag Dig Dug" Karya Putu Wijaya
Oleh
Dina Tri Indiani Yusrina, S. Sn






2.1. Anatomi Naskah
2.1.1. Latar Belakang Naskah
Naskah Dag-Dig-Dug dibuat pada tahun 1973, tepatnya tanggal 27 Oktober. Naskah ini ditulis ketika Putu tinggal dalam masyarakat komunal Ittoen, Yamashina, Kyoto Jepang. Apa yang dituliskan Putu dalam naskah tersebut, terinspirasi dari pengalaman- pengalaman yang ia alami selama 7 bulan menghadapi kehidupan di Ittoen.
Ittoen merupakan sebuah tempat di lereng bukit. Waktu itu hanya beranggotakan 400 orang dan mereka berpakaian hitam-hitam. Ketika Putu datang, masyarakat tersebut sudah merupakan masyarakat generasi kedua atau ketiga. Bagi masyarakat Ittoen, hidup adalah bekerja. Bekerja sama dengan beribadah. Mereka mengatakan diri mereka Budha. Tetapi mereka juga terpengaruh ajaran Gandhi. Mereka, bagi Putu tidak jauh berbeda dengan masyarakat Soeboed, masyarakat kebatinan.
Sebenarnya yang praktis tinggal disana orang tua saja, karena orang muda tidak suka dan tidak betah karena harus bekerja terus dan ritual mereka adalah bekerja. Mereka punya rombongan drama bernama Swaraj yang berkeliling menghibur orang tua dan anak-anak. Setiap pemainnya selalu punya kantong yang berisi palu dan peralatan lainnya. Setelah main, mereka ke belakang untuk menata panggung, bekerja lagi, main lagi.
Di Ittoen segalanya diurus oleh komune. Setiap hari Putu bangun pagi, bekerja, ibadah, makan bersama dan tidur teratur. Sewaktu-waktu Putu dan rombongan masyarakat turun ke dusun Yamashina untuk sukarela membersihkan WC orang. Disana tidak diperbolehkan merokok, hidup harus sederhana, emosi dikekang, orang harus taat, tidak boleh bertanya, perintah harus dijalankan. Bagi mereka semua, pertanyaan sudah dijawab oleh almarhum pemimpin mereka, kini tinggal menjalankan saja.
Sebenarnya Putu ke Jepang untuk mempelajari Kabuki. Salah satu kesenian tradisional khas Jepang. Tetapi ternyata ia diberikan mandat untuk tinggal di Ittoen. Sebulan Putu bekerja di ladang. Kemudian empat bulan dia mengikuti rombongan sandiwara Swaraj pentas berkeliling Jepang. Rutinitasnya adalah naik truk, setiap malam memasang dekor dan melakukan kegiatan teater yang sifatnya fisikal. Putu dilatih secara fisik dan ia merasa tidak mendapat apa-apa dari latihan itu.
Mereka sendiri sebenarnya tidak kuat menjauhi hawa nafsu dan mematikan emosi. Semuanya hanya ada dalam dunia idea. Dari sana Putu kemudian menulis naskah drama Anu dan Dag-Dig-Dug serta sebuah novel yang kemudian ia beri judul “Lho”. Sekembalinya ke tanah air, naskah-naskah itu dirampungkannya
Masyarakat Ittoen adalah penganut sistem kepercayaan yang ada. Ia sedikit menyindir fanatisme masyarakat Ittoen dalam naskahnya. Mereka melepaskan hal-hal yang bersifat keduniawian dan merasa sangat yakin akan kepastian akhirat. Sementara mereka sendiri secara batin tidak menerima dan merasa tersiksa dengan sikap mereka yang dibebani berbagai aturan-aturan kepercayaan yang mereka anut.
Dalam naskah Dag-Dig-Dug, melalui tokoh Suami dan Istri, Putu hendak mengungkapkan fenomena yang terjadi. Tokoh Suami dan Istri bersusah payah mengumpulkan uang hanya untuk membuat prasasti kematian mereka melalui sebuah nisan yang terbuat dari marmer, menginginkan kemewahan dalam tidur panjangnya, sementara mereka tidak pernah tahu kapan kematian akan datang.

2.1.2. Gagasan Zaman
Gagasan zaman yang terkandung dalam naskah Dag-Dig-Dug mendapat pengaruh eksistensialisme. Kehidupan masyarakat Ittoen yang menunjukkan eksistensi mereka dalam bentuk kehidupan spiritual menjadi inspirasi Putu. Bahan-bahan penguburan yang dihadirkan, keinginan untuk mati tokoh utamnya, adalah sebuah simbol bahwa kehidupan yang tokoh utamanya jalani akan kembali pada sebuah titik, yaitu kematian.

2.1.3. Analisa Plot
Plot atau alur cerita merupakan rangkaian peristiwa yang satu sama lain dihubungkan oleh hukum kausalitas (sebab akibat). Peristiwa demi peristiwa saling mengikat, sehingga membangun kausalitas yang tidak dapat dipisahkan, di mana peristiwa pertama menyebabkan terjadinya peristiwa kedua, peristiwa kedua menyebabkan peristiwa ketiga, dan demikian selanjutnya.
Disamping itu, plot selain mengemban fungsi untuk mengungkapkan buah pikiran pengarang dan menarik serta memelihara perhatian pembaca atau penonton, juga mengungkapkan dan mengembangkan watak tokoh-tokoh cerita (Jakob Sumardjo & Saini KM, 1991: 139,144).

a. Uraian Plot
Di sebuah rumah hiduplah sepasang suami-istri bersama seorang pembantunya yang bernama Cokro. Suatu hari sepasang suami-istri itu mendapat kabar bahwa seseorang yang bernama Chairul Umam telah meninggal karena kecelakaan tertabrak motor. Mereka menerima kabar tersebut melalui sepucuk surat, bahwa akan ada utusan yang akan menjelaskan hal tentang kematian Chairul Umam lebih lanjut.
Pagi hari tepat pada waktu yang telah dijanjikan, mereka menunggu. Beberapa saat kemudian datanglah dua orang tamu yang dinantikan. Tamu itu kemudian menceritakan tentang peristiwa yang menimpa Chairul Umam. Setelah berbicara panjang lebar, mereka menyerahkan amplop yang berisi uang asuransi jiwa kecelakaan lalu lintas. Setelah itu kedua tamu itu pun pergi.
Mereka sendiri sebenarnya tidak kenal pada Chairul Umam. Mereka telah berusaha mengingatnya tapi tetap tidak mengenali siapa Chairul Umam yang dimaksud. Setelah dibuka dan dihitung, ternyata uang itu kurang. Keesokan harinya, setelah menimbang-nimbang, akhirnya mereka memutuskan untuk mengembalikan uang tersebut melalui pos yang sebelumnya menambahkan kekurangan uang tersebut dari gaji pensiunan mereka. Alasan pengembaliannya adalah karena pada dasarnya mereka tidak mengenal siapa Chairul Umam.
Hari demi hari, usia mereka pun bertambah tua. Mereka berhasil mengumpulkan uang untuk persiapan penguburan mereka. Istri menginginkan uang simpanan mereka dibagi untuk dibungakan, tetapi tidak disetujui Suami. Mereka pun berdebat. Uang dibagi tetapi pertengkaran berlanjut mengenai siapa yang akan mengerjakan persiapan kematian mereka.
Setelah terjadi diskusi dan perdebatan, akhirnya mereka sepakat untuk mempercayakan pengerjaan persiapan penguburan mereka pada Ibrahim, dan beberapa material bangunan untuk penguburan pun dibeli.
Setelah membeli bahan-bahan bangunan, keinginan suami bertambah. Ia ingin membeli peti mati agar lengkap bahan-bahan penguburan mereka. Istri menolak keras keinginan Suami, dan seperti biasa mereka kembali cekcok. Selang beberapa hari, dua buah peti mati telah siap diruang tamu disamping beberapa marmer yang ditutupi kain.
Mereka kemudian memanggil Tobing, mantan anak kos mereka yang telah berkeluarga. Mereka bermaksud menjual rumah itu pada Tobing dengan sistem kredit tak terikat waktu. Yang jelas kredit tersebut harus sudah dilunasi ketika mereka meninggal.
Namun sampai cicilan rumah itu lunas, suami-istri itu tak kunjung menemui ajalnya. Ibrahim yang dipercayakan mengurus proses pemakaman mereka juga tidak sabar lagi, padahal kedua suami-istri itu sudah sakit-sakitan dan ingin sekali mati.
Suatu malam Suami dalam keadaan sekarat, dan keadaan menjadi tegang. Cokro berdoa mengatasi suasana, sementara Istri terisak-isak disamping peti mati. Suami meminta maaf pada Cokro dan Istrinya. Ia juga berpesan bahwa ia telah menulis surat wasiat yang ia simpan dibawah kasur, tapi ia batal menemui ajalnya. Keesokan harinya keadaan menjadi normal kembali.
Cokro yang sudah tidak tahan mendapat tekanan selama tinggal di rumah itu, suatu waktu dituduh telah membaca surat wasiat milik Suami. Cokro dianggap sebagai pencuri. Dalam kemarahannya Suami mengusir Cokro, tetapi Cokro melawan dan tidak menurutinya. Karena kemarahannya, akhirnya penyakit kedua orang tua itu kambuh dan bertambah parah, sehingga suatu ketika mereka tidak kuasa lagi untuk bangkit. Cokro membantu memasukkan mereka ke dalam peti mati, walaupun ia telah disakiti. Setelah mengucap doa, peti ditutup olehnya. Detak jantung Cokro Dag-dug-dag-dug. Demikian plot naskah Dag-Dig-Dug.

b. Sifat Plot
Sifat plot dalam naskah Dag-Dig-Dug adalah linear plot. dimana suatu kejadian dan konflik tersusun secara berurutan seperti bentangan garis dari A sampai Z. Dimana penonton hanya mendapat pikiran-pikiran berdasarkan percakapan tokoh-tokohnya dari awal sampai akhir.

c. Jenis plot
Jika melihat dari alur ceritanya, jenis plot dalam naskah Dag-Dig-Dug termasuk kedalam plot longgar. Karena dari beberapa peristiwa, terdapat peristiwa yang tidak penting dan tidak mempengaruhi peristiwa lainnya. Sehingga apabila dihilangkan tidak mempengaruhi makna ceritanya.
Plot longgar ialah plot yang yang terbentuk karena adanya sejumlah peristiwa, baik yang penting kedudukannya maupun yang kurang penting. Umpanya sebuah peristiwa yang dianggap kurang penting dalam lakon itu dilepaskan, maka makna dari lakon itu kemungkinan besar tidak akan berkurang.[5]

2.1.4. Struktur Dramatik
Struktur adalah suatu kesatuan dan bagian-bagian yang kalau satu diantara bagian diubah atau dirusak, akan berubah atau rusaklah seluruh struktur itu. Di dalam cerita-cerita konvensional, struktur dramatik yang dipergunakan adalah struktur dramatik Aristoteles (1991:142).
Secara struktural naskah ini dapat disebut sebagai naskah konvensional, karena struktur dramatiknya disajikan secara Aristotelian, dimana peristiwa demi peristiwa dari awal hingga akhir tertata apik satu dengan lainnya yang selalu berkaitan. Fungsinya untuk mengungkap pikiran pengarang dan lebih melibatkan pikiran, perasaan penonton dalam cerita tersebut. Struktur dramatik Aristotelian terdiri dari :
a. Eksposisi
Eksposisi adalah bagian awal atau pembukaan dari suatu karya sastra drama. Sesuai dengan kedudukannya, eksposisi berfungsi sebagai pembuka yang memberikan penjelasan atau keterangan mengenai berbagai hal yang diperlukan untuk dapat memahami peristiwa-peristiwa berikutnya dalam cerita. Keterangan-keterangan itu dapat mengenai tokoh-tokoh cerita, masalah yang timbul, tempat dan waktu ketika cerita terjadi dan sebagainya (1991: 143).
Eksposisi dimulai pada babak I ketika terjadi diskusi antara Suami dan Istri tentang siapa Chairul Umam yang disebutkan dalam surat. Mereka berusaha mengingat tetapi selalu gagal. Tamu datang dan menjelaskan peristiwa yang menimpa Chairul Umam.

b. Rising Action
Dimulai ketika mereka menerima tamu yang mengabarkan tentang kematian Chairul Umam, yang sekaligus memberikan uang asuransi. Peristiwa ini membuat masalah berkembang, dimana konflik-konflik kecil mulai bermunculan. Mereka mengalami kebimbangan antara dikembalikan atau tidaknya uang tersebut.
Rising action semakin menanjak ketika diketahui kalau jumlah uang yang diterima itu ternyata kurang. Karena rasa takut dan kebingungan tentang siapa Chairul Umam menghantui mereka, akhirnya uang tersebut diputuskan untuk dikembalikan dengan menambahkan kekurangannya dari gaji pensiunan mereka.

c. Komplikasi
Komplikasi atau penggawatan merupakan lanjutan dari eksposisi dan peningkatan daripadanya. Di dalam bagian ini, salah seorang tokoh cerita mulai mengambil prakarsa untuk mencapai tujuan tertentu. Akan tetapi hasil dari prakarsa itu tidak pasti. Dengan demikian timbullah kegawatan (1991:143).
Kegawatan ini saling bertubrukan dengan tokoh lainnya setelah masing-masing tokoh menceritakan jati dirinya, sehingga peta konflik antar tokoh semakin tergambar dengan jelas.
Komplikasi dimulai ketika sang suami berniat mempersiapkan segala sesuatunya untuk kematian dan penguburan mereka nanti, sedangkan istri berkehendak lain, yakni agar uang dibungakan terlehih dahulu. Kemudian barulah ditentukan tukang, tetapi hal ini justru semakin memperuncing masalah, karena kedua-duanya memiliki kriteria yang berbeda. Berbagai pertentangan dan perdebatan terjadi antara Suami dan Isteri karena masing-masing ingin memperlihatkan eksistensi ke-aku-annya.

d. Klimaks
Komplikasi disusul klimaks yang merupakan tahapan peristiwa dramatik. Dalam bagian ini pihak-pihak yang berlawanan atau bertentangan, berhadapan untuk melakukan perhitungan terakhir yang menentukan. Didalam bentrokan itu nasib para tokoh cerita ditentukan (1991:143).
Klimaks dimulai ketika Suami mengetahui dari istrinya bahwa buku wasiatnya telah dibaca orang dan menuduh Cokro sebagai pelakunya. Hingga suatu ketika, kemarahan Cokro tidak terbendung lagi. Terjadilah keributan besar antara Cokro dan sepasang suami-istri tersebut yang tidak menghasilkan solusi.
Selain konflik secara fisik, sebenarnya terjadi juga konflik batin dan pikiran mereka masing-masing dengan dirinya yang tidak bisa dipecahkan. Secara individu akhirnya mereka pasrah dan menerima kekalahannya sebagai manusia yang lemah, dan kembali pada sebuah lingkaran kesunyian.

e. Resolusi
Resolusi menyusul klimaks. Dalam bagian ini semua masalah yang ditimbulkan oleh prakarsa tokoh atau tokoh-tokohnya terpecahkan.
Resolusi ditandai dengan berakhirnya pertengkaran tersebut. Kemudian kedua orang tua itu masuk kedalam peti mati, masing-masing bermaksud akan tidur. Suami ketakutan dan membangunkan istrinya tetapi tidak dihiraukan. Suami seakan-akan mengalami keadaan sekarat dan sang istri tetap tidak peduli. Suami memanggil Cokro, dan kemudian Cokro datang membaringkan Suami dengan tenang, menutup peti matinya dan membacakan doa.
Disini eksistensi masing-masing individu yang ambisius sudah mulai terlihat keasliannya. Peristiwa sudah tergambar, tentang apa, siapa, dan bagaimana.

f. Konklusi
Konklusi adalah bagian terakhir sebuah cerita. Dalam bagian ini nasib tokoh-tokoh cerita sudah pasti. (1991 : 144)
Konklusi dalam naskah ini tidak tertulis secara langsung dalam dialog. Kematian adalah sebuah rahasia yang hanya menjadi milik Sang Pencipta. Kita tidak pernah tahu kapan kematian akan menjemput. Manusia tetap terpenjara dalam sangkar kesunyian, kesepian, dan kesendirian dalam hidup. Putu menyerahkan akhir cerita pada penggarap naskahnya. Dengan kata “Dan Seterusnya” pada akhir naskahnya.

2.1.5. Tipe Lakon
Tipe lakon atau disebut genre lakon, jenis lakon atau bentuk lakon. Naskah Dag-Dig-Dug ini adalah berbentuk tragedi komedi, atau yang kita kenal dengan tragic comedi.
Tragedi komedi yaitu bentuk lakon yang dibawakan oleh tokoh-tokoh yang konyol (mengundang tertawaan), tetapi yang bertema tragis dimana akhirnya menyedihkan ( Yoyo&Willy, 1985:37).
Dalam naskah ini, tokoh sentralnya dihadapkan pada permasalahan yang mereka sendiri tidak tahu kebenarannya. Mereka, terutama tokoh Istri sangat mudah mempercayai kabar yang belum jelas yang akhirnya justru merugikan mereka sendiri. Sementara pada orang yang mereka kenal, mereka selalu menaruh kecurigaan yang besar.
Sikap Suami dan Istri menunjukkan kekonyolannya ketika mereka telah mempersiapkan segala keperluan pemakaman. Bahkan sempat sang suami merasa ajalnya sudah datang ketika penyakitnya kumat. Tetapi tidak jadi mati dan malah keadaan fisiknya kembali ke keadaan normal.
Perilaku yang ditunjukkan tokoh Suami dan Istri tadi sangat komedi sekali. Memang bukan komedi rendah yang menimbulkan gelak tawa karena tingkah laku tokohnya yang mengundang kelucuan secara fisik. Tetapi lebih merupakan komedi satir yang mentertawakan tingkah laku kejiwaan seseorang yang secara psikologi mengalami ketidaklaziman atau dengan kata lain mengalami cacat tragis yang disebabkan kurangnya kebijaksanaan dalam menjalani kenyataan, sehingga menimbulkan pola watak absurd.

2.1.6. Model Penokohan
Round character adalah model yang penulis anggap tepat untuk diterapkan pada lakon ini berlandaskan pada konvensi naskah dan pembawaannya yang mengacu pada realisme, yakni mengkarakterisasi tokoh secara sempurna sebagaimana adanya manusia.
Yang dimaksud tokoh yang berbentuk round atau bulat adalah tokoh yang diberikan karakter oleh pengarang secara kompleks dan tidak hanya hitam putih saja. Kebanyakan tokoh-tokoh yang berbentuk round ini terdapat dalam lakon-lakon yang sifatnya realistis (Yoyo&Willy, 1985 : 26-27).
Dengan demikian, aktor memiliki keleluasaan dalam mengembangkan peran yang dimainkannya, namun tetap dalam batas sebuah konvensi pemeranan realisme.

2.2. Potensi Naskah
2.2.1. Kelebihan Naskah
Naskah ini adalah naskah pemenang pertama dalam sayembara naskah lakon yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta yang ke III pada tahun 1974. Sudah barang tentu kualitas naskahnya tidak perlu diragukan lagi.
Ceritanya sangat unik untuk sebuah naskah realis. Memang hanya menceritakan pertentangan antara suami-istri dan orang lain disekitar mereka (Cokro dan Ibrahim) karena kepikunan dan sifat ngeyel yang mereka punya. Tetapi makna yang terkandung didalam dialog-dialognya begitu dalam. Sindiran atau pesan tersembunyi dalam dialog tokoh-tokohnya, sangat cerdas. Bahasa yang digunakan merupakan bahasa keseharian yang logis, sehingga memudahkan dalam pemahaman dialognya.
Dalam naskah ini, pengarangnya memberikan kekuasaan penuh untuk mencoba karakter tokoh didalamnya, tanpa membatasinya dengan gambaran fisiologis. Karena Putu menyembunyikan identitas fisik tokoh-tokohnya. Dalam cover depan naskahnya pun Putu menuliskan: “PARA PEMAIN YANG MEMBAWAKAN NASKAH INI DAPAT SALING BERTUKAR PERAN DARI BABAK KE BABAK TANPA MENYEMBUNYIKAN IDENTITASNYA”. Demikian juga dengan akhir ceritanya, Putu menyerahkan nasib tokoh didalamnya kepada penggarap naskahnya. kita bebas membawakannya sesuai keinginan kita. Tidak ada nama, tidak ada tempat, tidak ada waktu dan tidak ada kata selesai. Karena itu pada setiap naskah Putu selalu membubuhkan kata : “Dan Seterusnya”.

2.2.2. Kekurangan Naskah
Kekurangan dari naskah ini adalah, tidak digambarkan dengan jelas tentang fisiologis tokoh. Sebenarnya tidak dapat juga dikatakan sebuah kekurangan. Banyak pengarang drama yang sengaja tidak menjelaskan gambaran fisik tokohnya. Hal ini kemungkinan dimaksudkan untuk membebaskan interpretasi aktor yang akan memerankannya. Masuk akal memang, karena pembatasan terhadap peran sama juga membunuh kreativitas.
Akhir cerita dan nasib tokoh sentralnya pun diserahkan sepenuhnya kepada penggarap. Dan ini menjadi gaya khas Putu Wijaya dalam setiap karya-karyanya.[6] Selain itu, naskah dan cerita hanya dititik beratkan pada satu wilayah kultur saja, yaitu kultur Jawa. Padahal, bila dilihat pokok permasalahannya, tentang kesunyian, kesendirian, kejenuhan, amarah, emosi, bahagia dan derita dalam hidup. Semua orang juga mengalami hal tersebut. Tetapi apabila identitasnya secara umum, ada kemungkinan setiap penggarapan menjadi baru sesuai dengan zamannya. Bila dilihat, pemikiran-pemikiran semacam ini, yakni tentang keinginan untuk segera mati, justru lebih merebak di zaman sekarang karena frustasi oleh berbagai keadaan hidup, ekonomi, politik, pendidikan, budaya, dll.

2.2.3. Reformulasi Naskah
Naskah Dag-Dig-Dug adalah naskah yang panjang yang apabila dipentaskan akan memakan waktu yang lama. Permasalahan durasi ini menjadi hal yang harus dipikirkan. Jalan yang penulis tempuh dalam mempersingkat pertunjukkan salah satunya dengan mengurangi waktu tampil. Untuk itu penulis mengedit naskahnya kembali, dengan membuang beberapa dialog untuk mengejar durasi waktu yang dipadatkan, tanpa bermaksud menghilangkan esensi dari naskah tersebut.

2.3. Aksentuasi Garap
Dalam membawakan naskah ini, laku aktingnya dibawakan secara realis walaupun bentuk naskahnya surealis. Penulis tidak membuat scenery secara keseluruhan realis, karena yang menajadi absurd hanya pada pola pikir pemainnya saja. Pada beberapa bagian tertentu hanya dibuat simbol-simbol saja. Seperti tidak dihadirkannya pintu dan jendela. Sehingga imajinasi aktor pun dituntut lebih kreatif menyikapi kondisi ini.
[5] Yoyo C. Durachman dan Willy F. Sembung, Pengetahuan Teater. Proyek Pengembangan Institut Kesenian Indonesia Sub Proyek Akademi Seni Tari Indonesia 1985/1986, hal 29.
[6] Lihat kecenderungan pengarang hal 8-9 !.

Ethnomusikologi

Ruang Lingkup Studi Musik

oleh

Aji Permana Sudjamza, S. Sn



Sudah menjadi tuntunan akademis bagi seorang peneliti yang menekuni bidang tertentu, terutama dalam bidang musik yang memiliki pengetahuan sebagai penunjang dalam pengkajian musik. Selain pembekalan praktek sebagai kompetensi dalam bidangnya, kemantapan teori pun seyogyanya setara dengan kemampuan praktisnya. Koentjaraningrat menyebutkan penelitian merupakan segala aktivitas berdasarkan disiplin ilmiah untuk mengumpulkan, mengklasifikasikan, menganalisa, dan menginterpretasikan fakta – fakta seta hubungan – hubungan antara fakta-fakta alam, masyarakat, kelakuan, hasil kelakuan dan rohani manusia guna menemukan prinsip-prinsip pengetahuan dan metoda baru dalam usaha menanggapi hal-hal tersebut (Koentjaraningrat 1973 : 4 ).
Penelitian dalam bidang musik tentunya memerlukan ilmu pengetahuan yang sesuai dengan pokok bahasan yang menjadi sasarannya. Seorang peneliti yang meneliti musik dapat memperdalam ilmu musik atau musikologi sebagai acuan dalam menganalisa musik yang ditelitinya. Tentu saja pembahasan secara musikologis dilakukan apabila musik tersebut dibahas secara sistematis, yang lebih menekankan pada; tangga nada, tonal center, interval, garis melodi atau countour melodi, ornamentasi, meter, dan ritme. Selain itu, pembahasan musik dapat pula dihubungkan dengan kehidupan sosial masyarakat dan kebudayaan musik tersebut. Dengan demikian, pembahasan musik dapat ditempuh secara teks dan konteks.
Berkembangnya ilmu pengetahuan dalam bidang musik seiring dengan laju kebudayaan manusia yang dinamis, maka bertambah pula ketidaktahuan manusia dalam menyingkapi berbagai masalah dalam penelitian musik. Oleh karena itu lahirlah disiplin ilmu etnomusikologi sebagai studi ilmiah musik di dalam kebudayaan (Merriam 1964 : 7). Pada dasarnya musik merupakan salah satu hasil dari kebudayaan manusia. Etnomusikologi mengaitkan hubungan antara musik dan budaya masyarakat, atau dapat dikatakan studi ilmiah terhadap musik tradisional. Hubungan – hubungan tersebut dapat ditemukan dengan disiplin ilmu etnomusikologi, mengingat bahwa etnomusikologi yang interdisipliner - data dan metode yang digunakan meliputi seni, humaniora, ilmu sosial, psikologi, fisika, matematika, maka pembahasan musik secara holistik lebih berinterferensi dengan kebiasaan-kebiasaan, tingkah laku, pandangan hidup, landasan filsafat masyarakat yang memiliki budaya musik.
Tulisan ini membahas etnomusikologi sebagai disiplin ilmu yang dapat mengungkap antara musik dan kebudayaan manusia, oleh karena itu, tidak ada salahnya apabila meninjau kembali disiplin ilmu ini. Isi tulisan ini terfokus pada; pengertian etnomusikologi, peranan dalam musik tradisi, pekerjaan etnomusikolog, manfaat etnomusikologi, dan tanggung jawab dalam kehidupan dan perkembangan musik tradisi.


Pengertian Etnomusikologi

Istilah etnomusikologi diprakarsai oleh Jaap Kunts pada tahun 1950. Awalan ‘etno’ dan ‘musikologi’ untuk menunjukkan bahwa studi ini adalah untuk musik dari berbagai ras di dunia. Namun definisi ini dibatasi, bahwa seni musik barat dan musik populer tidak termasuk studi ini, yang menjadi sasarannya adalah musik pada masyarakat non-literasi yang diajarkan secara lisan melalui tradisinya. Etnomusikologi merupakan salah satu disiplin ilmu yang mempelajari musik dan budayanya. Budaya yang dimaksud adalah budaya musik masyarakat seluruh dunia. Bahasan dalam etnomusikolgi adalah musik tradisional yang berasal dari kebudayaan tinggi dan musik rakyat diseluruh dunia yang lahir dari ekspresi manusia. Etnomusikologi sebagai disiplin ilmu yang multidisipliner[1] memiliki peranan penting dalam mengungkap budaya musik dalam suatu masyarakat. Dalam bahasannya, musik tidak hanya dibahas secara teksual - musik tidak hanya dibahas mengenai aspek musikalnya – namun dibahas pula secara teksual, yakni adanya hubungan musik dengan kehidupan sosial masyarakat yang sesuai dengan budayanya.
Kiranya etnomusikologi sebagai disiplin ilmu dapat dijadikan parameter dalam mengungkap hal – hal yang berkaitan dengan budaya musik. Mengingat bahwa musik merupakan hasil dari budi daya manusia dan salah satu unsur dari kebudayaan universal, maka rerlevansi musik dengan masyarakat pendukungnya sangat menunjang untuk pengungkapan budayanya. Dalam hal ini dipelajari juga asal – usul musik, fenomena asal musik, kebudayaan dan tingkah laku atau kebiasaan orang – orang yang bermain musik dalam suatu suku bangsa.


Cakupan Bahasan

Dari pengertian dan ruang lingkup studi etnomusikologi di atas, maka untuk mempermudah penelitian musik terdapat kategorisasi sebagai kerangka pembahasan musik. Kategorisasi tersebut dapat dilihat bagan dibawah ini.

KATEGORISASI

Kategori A
Musikal
· Sistim Nada
· Struktur Musikal
· Orkestrasi
· Interpretasi Musikal


Kategori B
Instrumen
· Organologi
· Sistim Laras
· Ensambelisasi
· Cara Memainkan

Kategori C
Pendukung
· Pemain
· Apresiator
· Pembuat
Kategori D
Fungsi
· Ritual
· Pseudo Ritual
· Profan
· Presentasi Estetik


Dari bagan tersebut dapat dilihat bahwa pembahasan musik dapat ditinjau dari berbagai aspek. Ke empat kategori tersebut merupakan salah satu alaternatif dalam pembahasan musik yang menyeluruh. Setiap data atau metode yang berasal dari disiplin atau sumber apapun dapat digunakan apabila hal itu dapat membantu mengembangkan penelitian musik. Ini adalah ciri – ciri dalam etnomusikologi sebagai disiplin ilmu.


Peranan Etnomusikologi dalam Musik Tradisi

Telah disebutkan di muka bahwa ruang lungkup studi etnomusikologi adalah musik tradisional non literasi, musik kebudayaan tinggi, dan musik rakyat. Sebelum membahas lebih jauh mengenai peranan etnomuiskologi dalam musik tradisi, alangkah lebihbaiknya apabila mengetahui peengertian musik tradisional. Musik tradisional adalah suatu bentuk seni yang bersumber dan berakar serta telah dirasakan sebagai milik sendiri oleh masyrakat lingkungannya, pengolahannya didasarkan atas cita-cita masyarakat pendukungnya. Cita-cita rasa di sini mempunyai pengertian yang luas, termasuk ‘nilai kehidupan tradisi’, pandangan hidup, pendekatan filsafat,rasa etis dan estetis serta ungkapan budaya lingkungan. Hasil kesenian tradisional biasanya diterima sebagai tradisi pewarisan yang dilimpahkan dari angkatan tua kepada angkatan yang muda (Jeniffer Lindsay 1981 : 112).
Etnomusikologi dalam mengungkap musik tidak hanya musikalitas yang dibahasnya, juga hubungan antara masyarakat dan budayanya. Tentu saja peranannya dalam musik tradisi adalah sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari musik dan memberikan kontribusi berupa data tertulis dari musik yang ditelitinya. Musik – musik yang non-literasi, akhirnya memiliki catatan untuk diinformasikan pada masyarakat luas. Etnomusikologi sebagai disiplin ilmu akhirnya perlu mendeskripsikan musik yang dipelajarinya, sehingga peranan etnomusikologi dalam mempelajari musik dengan tujuan mengangkat harkat dan martabat musik di seluruh dunia dapat terwujud.
Kiranya adanya disiplin ilmu etnomusikologi keberadaan suatu bangsa yang kaya akan budaya akan terangkat. Kemajuan suatu bangsa dapat terlihat dari kebudayaannya, apabila kebudayaan yang dinamis itu mengalami perubahan yang menurun dan tidak menuju pada perubahan yang lebih baik, maka dapat diukurlah pola pikir masyarakatnya. Dalam hal ini musik yang menjadi pokok bahasan, budaya musik dari masyarakat akan tercermin melalui kebiasaan – kebiasaan dalam menjalani kehidupannya.


Etnomusikolog

Etnomusikolog adalah orang yang mempelajari etnomusikologi, pekerjaanya adalah meneliti musik dan mendokumentasikannya, transkripsi dan analisis akustika, klasifikasi, sistematika, analisis, dimensi kesejarahan, dan etika. Minat para etnomuikolog yang dapat dikatakan kategori baru adalah perubahan atau akulturasi yang sering diteliti melalui pendekatan sosiologis atau pendekatan historis. Dalam pendekatan ini seorang etnomusikolog setidaknya menguasai disiplin ilmu antropologi. Awalnya para etnomusikolog memliki latar belakang pendidikan yang berbeda, hingga setelah mereka mendalami budaya masyarakat yang diteliti, secara langsung mereka mempelajari budaya musik.
Tokoh – tokoh yang mengabdikan hidupnya terhadap problema – problema dalam analisis musik adalah sarjana yang belajar di bidang ilmu alam. Carl Stumpf, seorang filsuf yang berusaha melihat fakta – fakta melalui eksperimen –eksperimennya seperti yang dilakukan oleh para ahli pengetahuan alam. Hornbostel sebelumnya adalah ahli kimia. Antropolog Frans Boas pada mulanya adalah sarjana ilmu fisika dan geografi. Pandangan dan pemikiran dari generasi ini mewarisi dan mewarnai disiplin ilmu etnomusikologi.
Pekerjaan etnomusikolog yaitu meneliti musik, penelitian itu bisa dilakukan melalui berbagai pendekatan pada masyarakat, biasanya mereka melakukan penelitian lapangan dan laboratorium. Untuk lebih mengetahui kebudayaan masyarakat dan tentu saja musik yang ditelitinya mereka melakukan patisipant observer atau penelitian berperan serta, para etnomusikolog berbaur dengan masyarakat dengan waktu yang lama dengan tujuan agar ia mengetahui kebudayaan mereka dan menjadi bagian dari masyarakat.


Tanggung Jawab dalam Kehidupan dan Perkembangan Musik Tradisi

Pada dasarnya etnomusikologi memiliki tujuan untuk melestarikan budaya musik, melindungi, dan mengangkat harkat dan martabat musik di seluruh dunia. Seni tradisional memerlukan “pengawetan” dan diadakan pengamatan sebagai upaya dokumentasi tertulis. Selain mempelajari musik dari berbagai budaya, melalui etnomusikologi kebudayaan suatu suku bangsa dapat terangkat, dan menjadi suatu kebanggaan bagi suatu bangsa apabila kebudayaan - termasuk unsur kesenian (musik) – menduduki puncak – puncak budayanya melalui pendekatan etnomusikologi.
Apabila hasil pengamatan tersebut tidak memberikan apa-apa bagi kehidupan musik tradisional, dan hanya mementingkan sudut keilmiahan, kiranya manfaat dari pengamatan tersebut kurang memenuhi syarat. Salah satu contoh, musik – musik rakyat yang tumbuh dilingkungan masyarakat. Mereka hidup melalui kesenian, tetapi penghargaan dari masyarakat relatif kurang. Kiranya kurang tepat apabila seorang peneliti mengangkat kesenian rakyat yang keberadaannya dimasyarakat mengalami alienasi, sedangkan ia mempelajari hanya untuk kepentingan studi ilmiah. Setelah ia mendapat data lengkap, selanjutnya tidak ada kontribusi apapun untuk kepentingan kehidupan seni tradisi.
Perkembangan musik tradisi yang seiring dengan perubahan masa sangat terkait dengan perubahan masyarakat dalam suatu budaya. Etnomusikologi menjembatani hal tersebut agar tetap pada lajurnya. Melestarikan berarti menjaga nilai – nilai dan pandangan hidup tradisional.
[1] Cabang ilmu dalam etnomusikologi, yaitu Antropologi, sosiologi, psikologi, fisika, matematika. cabang – cabang ilmu tersebut dapat membantu dalam pengkajian musik – musik etnis seluruh dunia yang dapat disesuaikan dengan pendekatan yang digunakan.

Seni Beluk

Eksistensi dan regenerasi
Studi kasus seni beluk Pusaka Mekar di Kampung Cipulus Desa Pasigaran Kecamatan Tanjungsari-Kabupaten Sumedang
Oleh
Engkos Kosasih

Intisari
Seni beluk Pusaka Mekar mengalami krisis regenerasi yang dapat mengakibatkan terpuruknya keberadaan sebuah seni tradisi. Apakah seni Beluk Pusaka Mekar ini akan tetap eksis di kalangan masyarakatnya, mengingat rumitnya permasalahan di dalamnya? Tulisan ini membahas tentang faktor penyebab menurunya tingkat apresiasi masyarakat terhadap seni beluk, juga menawarkan beberapa solusi untuk menyikapi hal tersebut.



Pendahuluan

Jawa Barat merupakan sebuah propinsi yang dikenal kaya akan ragam kesenian daerah. Eksistensinya terjaga dalam tatanan budaya masyarakat agraris pedesaan, terutama di kawasan pegunungan. Kesenian tersebut mencerminkan identitas daerahnya sebagai masyarakat ladang1), hal ini dapat dilihat dari ciri atau gaya dari setiap jenis kesenian yang ada di kalangan masyarakat. Kesenian tersebut dapat dikategorikan sebagai kesenian rakyat, berbeda dengan kesenian yang tumbuh dan berkembang di lingkungan keraton atau kerajaan2). Bentuk kesenian rakyat lebih bersifat komunikatif, dan salah satu unsur yang bisa muncul dalam seni rakyat adalah sifat spontan dan seronok.(Humardani, Kompas 10 Agustus 1983, hal 12.)3)
Ciri yang paling menonjol dari kesenian rakyat yaitu bersifat kedaerahan yang memiliki khas dari daerah tempat asal kesenian itu terbentuk. Hal tersebut dapat tergantung dari letak geografis, misalnya kesenian dari daerah pesisir akan berbeda bentuk dan gayanya dengan kesenian yang terdapat di daerah pegunungan. Hal ini dapat mempengaruhi sifat yang dimiliki oleh kesenian tersebut, baik itu dari pola tabuhan, bentuk sajian, maupun jenis keseniannya, yang tentunya tergantung dari adat, budaya, dan tradisi daerah setempat. Pada dasarnya kesenian yang berkembang di kalangan rakyat bentuk dan gayanya sangat sederhana, baik itu dari segi waditra yang digunakan maupun kostum yang di kenakan dilihat dari corak maupun ragam motifnya.
Kesenian rakyat biasanya identik dengan suasana ritual terhadap nenek moyang, di samping sebagai sarana hiburan, hal ini merupakan pola pemikiran masyarakat pedesaan. Pada umumnya kepercyaan masyarakat pada zaman dulu masih menganut animisme dan dinamisme, yang meyakini kepercayaan terhadap roh nenek moyang. Kebiasaan-kebiasaan yang berkaitan dengan kepercayaan tersebut masih melekat pada masyarakat saat ini. Salah satu kesenian yang masih digunakan untuk kepentingan ritual keagamaan adalah seni beluk.
Kesenian beluk banyak tersebar di daerah Jawa Barat, baik berupa sebuah sanggar maupun lingkungan kecil yang belum terorganisasi. Adanya penyebaran kesenian beluk di setiap daerah memungkinkan pula adanya keterbatasan data yang menyangkut tumbuh kembangnya kesenian tersebut, sehingga perkembangan seni beluk akan lebih sulit untuk diidentifikasi keberadaanya. Mungkin sulitnya menemukan kesenian beluk di Jawa Barat terbentur pada tidak adanya data statistik mengenai tumbuhnya kesenian beluk di setiap daerah di Jawa Barat. Dengan adanya keterbatasan tersebut, dalam tulisan ini penulis menggunakan pendekatan studi kasus tentang seni beluk yang berada di Kampung Cipulus, Desa Pasigaran, Kecamatan Tanjungsari Sumedang.
Saat ini, seni beluk di desa tersebut masih terjaga keasliannya, hanya saja dukungan dari masyarakat di daerah tersebut dinilai kurang. Hal ini dapat dilihat dari kurangnya frekuensi pementasan beluk di Kampung Cipulus.
Dalam tulisan ini penulis akan mengangkat masalah revitalisasi seni beluk. Hal ini dinilai penting dalam rangka membangkitkan kembali minat dan kecintaan masyarakat terhadap seni tradisi, khususnya seni beluk. Kiranya revitalisasi ini dapat terwujud dalam tatanan khasanah kesenian Jawa Barat, mengingat bahwa Negara Indonesia yang kaya akan budaya, seharusnya bisa memunculkan kesenian dari sub- kultur yang mencerminkan kebudayaan daerahnya.


Seni Beluk

Salah satu jenis kesenian rakyat yang terdapat di daerah Jawa Barat adalah seni beluk yang eksistensinya kurang dikenal masyarakat. Padahal kesenian tersebut merupakan local genius yang seharusnya dilestarikan dalam rangka revitalisasi kesenian tradisional. Kesenian beluk tergolong pada jenis seni vokal yang mempunyai gaya atau khas yang mandiri. Ciri khas tersebut memberikan warna lain dari vokal yang sering dibawakan oleh seni kepesindenan ataupun seni yang lebih mengutamakan vokal lainnya, baik itu dalam bentuk penyajiannya maupun dalam olah vokal yang dipergunakan. Dilihat dari latar belakangnya, seni beluk identik dengan masyarakat peladang, hal ini tampak ketika vokal yang dibawakan volume suaranya relatif lebih keras. Hal ini bermula dari kebiasaan masyarakat peladang, yang lokasi mereka berjauhan dari satu tempat ke tempat yang lainnya, sehingga untuk mengadakan komunikasi diperlukan suara yang keras. Yang kedua, beluk berawal ketika masyarakat yang bepergian melewati hutan sendirian. Untuk mengusir rasa sepi maka dia melakukan teriakan-teriakan untuk memberi tahu kalau ada orang lain yang ada di sekitar hutan tersebut.
Kebiasaan khas ini berkorelasi kuat dengan sifat dan karakter aktivitas budaya masyarakat ladang (agraris). Bentuk dan kontur lagu yang cenderung menggunakan nada tinggi, mengalun, dan meliku-liku adalah bagian dari ekspresi masyarakat ladang saat saling berkomunikasi sesama komunitasnya, yang mempunyai pola tinggal menetap namun saling berjauhan.
Dari kata ‘nada tinggi’ sudah mencerminkan bahwa kesenian beluk ini tidak lazim dikumandangkan di ruangan, tapi di alam bebas. Namun, pada perkembangannya beluk lazim terdengar di rumah-rumah penduduk. Ini terkait dengan pengaruh Wawacan4)- pembacaan kitab kuno yang dinyanyikan untuk ritual tertentu, misalnya ritual kelahiran bayi, acara hajatan, dan lain-lain. Secara evolutif, beluk dan wawacan telah bersanding dalam sajian musik vokal.
Beluk dan wawacan, akhirnya sangat berkaitan erat. Karena pengaruh wawacan, beluk pun terkait oleh pola pupuh dari bentuk lagu dan pola lagu, sebagaimana konsep tembang macapat yang berkembang di Jawa Tengah. Wawacan terikat oleh aturan pupuh yang telah ditentukan, seperti Kinanti, Dangdanggula, Asmarandana, Sinom, dan seterusnya.
Beluk dan wawacan dapat dikatakan bukan merupakan seni tontonan. Ia lebih bersifat personal, untuk menghibur diri, mengusir rasa kesepian, atau terutama untuk kepentingan ritual. Sebagai contoh, untuk kepentingan ritual kelahiran bayi, penyajiannya biasanya dilakukan di ruang tengah dan menggunakan tikar sebagai alas. Di tengah tikar disediakan sesaji aneka makanan dan minuman. Penyaji beluk duduk bersila, dan diapit oleh kaum kerabat keluarga yang mempunyai maksud, membentuk sebuah formasi melingkar.
Dalam penyajiannya, beluk memiliki beberapa istilah bagi orang-orang yang menyajikannya, diantaranya:
Tukang ngilo, adalah pembaca syair wawacan tanpa dinyanyikan (naratif) dalam tempo sedang, dengan artikulasi yang jelas. Dibaca per- padalisan (baris).
Tukang ngajual, fungsinya yaitu menyajikan syair yang dibacakan oleh tukang ngilo sesuai dengan pupuhnya, tetapi cara penyajiannya tanpa ornamen.
Tukang meuli, tugasnya adalah melanjutkan lagu yang disajikan oleh tukang ngajual dengan dilengkapi oleh ornamen-ornamennya.
Tukang naekeun, tugasnya adalah melanjutkan sajian tukang meuli dengan menggunakan nada yang melengking tinggi dan meliuk-liuk, dengan artikulasi yang tidak jelas. Dilengkapi dengan ornamentasi yang sangat dominan.
Peranan para penyaji beluk tersebut dilakukan secara bergiliran. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kondisi fisik dan suara, agar tetap fit (terjaga kesehatannya). Karena penyajian seni beluk ini disajikan pada waktu malam hari, dan biasanya dilakukan sampai cerita wawacan tamat.


Demografi

Dusun Cipulus terletak di sebuah areal perbukitan, di mana di sekelilingnya terhampar luas ladang dan sawah milik para penduduk. Lingkungannya masih kental dengan sifat kegotongroyongannya, sehingga sosialisasi di lingkungan masyarakatnya terjalin harmonis. Tingkat pendidikan di kampung tersebut rata-rata lulusan Sekolah Dasar. Masyarakat pada umumnya bekerja sebagai petani, penggarap sawah dan ladang. Hanya beberapa orang saja yang bekerja sebagai karyawan di pabrik-pabrik, itupun kebanyakan usia remaja.
Melimpah-ruahnya sumber daya alam ini membuat Kampung Cipulus tergolong sebagai masyarakat agraris yang letaknya hanya beberapa ratus meter saja dari Balai Desa Pasigaran, hanya dipisahkan oleh lembah-lembah dan sebuah aliran sungai. Di sekitarnya terhampar luas petak-petak sawah milik para penduduk sebagai lahan penghasil padi. Dari dusun Cipulus ini, apabila berjalan ke sebelah utara, berbatasan dengan Kampung Pasir Salam, dan ke sebelah selatan berbatasan dengan Kampung Lebak Peutag yang masih termasuk pada Desa Pasigaran.
Aktivitas masyarakat pada umumnya adalah bercocok tanam, menggarap sawah, huma dan palawija, yang merupakan hasil utama dari daerah Cipulus. Selain hasil pangannya dijual ke pasar, juga digunakan sebagai bahan makanan untuk mencukupi kehidupan mereka sehari-hari.


Seni Beluk Pusaka Mekar

Lingkung Seni Beluk Pusaka Mekar tepatnya berada di Kampung Cipulus Desa Pasigaran Kecamatan Tanjungsari, didirikan sekitar tahun 1980-an yang anggotanya terdiri dari 12 orang, merupakan sebuah lingkung seni Beluk yang keberadaanya sampai sekarang dinilai masih belum berkembang. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu kurangnya apresiasi masyarakat, kebijakan pemerintah mengenai pelestarian dan pengembangan, dan regenerasi. Salah satu faktor yang menyebabkan kurang berkembangnya seni beluk di Kampung Cipulus Desa Pasigaran Kecamatan Tanjungsari Kabupaten Sumedang terutama disebabkan oleh faktor regenerasi (wawancara dengan ketua Lingkung Seni ‘Pusaka Mekar’, Iya diriya, 18 Januari 2005).
Menurut narasumber, seni beluk Pusaka Mekar merupakan sebuah organisasi yang diketuai oleh Bapak Iya Diriya sendiri. Pada awal mulanya, seni beluk tersebut terbentuk karena didasari oleh keinginan beliau yang telah menguasai seni beluk, baik materinya maupun teknisnya. Berangkat dari keinginannya itu, Pak Iya mulai merintis sebuah organisasi yang bernama “Pusaka Mekar” yang artinya sesuatu yang dianggap buhun5) harus dimekarkan atau dikembangkan. Dalam hal latihan, lingkung seni “Pusaka mekar” ini melakukan latihan gabungan dengan sebuah lingkung seni di Cikaramas yang letaknya sebelah utara Kampung Cipulus.
Dengan hadirnya seni beluk- pada saat itu- tanggapan masyarakat di Kampung Cipulus sangat positif. Disamping sebagai hiburan, seni beluk juga digunakan sebagai upacara syukuran, misalnya syukuran pernikahan, kelahiran, syukuran hasil panen, dan lain-lain. Bahkan pernah terjadi syukuran kelahiran hewan peliharaan seseorang, sebagai ungkapan rasa syukur dia mengadakan selamatan di rumahnya dengan mempertunjukkan seni beluk. Dari contoh kasus tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa keberadaan seni Beluk pada saat itu di akui oleh masyarakat Cipulus. Akan tetapi, masalah yang paling utama adalah bagaimana agar seni beluk tetap eksis di kalangan masyarakat.
Menurut penuturan Pak Iya, bahwa saat ini pelatihan beluk sangat sulit untuk dilaksanakan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama; faktor usia para seniman beluk yang sudah relatif tua dan sudah jarang yang menguasai seni beluk, sehingga di Kampung Cipulus hanya ada beberapa orang saja yang masih kuat untuk membawakan beluk. Kedua; kurangnya minat generasi muda dalam hal pelestarian seni tradisi. Hal tersebut dapat dilihat dari perkembangan seni-seni yang bersifat modern yang mulai mengalami pengkristalan di kalangan generasi muda, dimana hal ini menyebabkan untuk berkembangnya sebuah kesenian tradisi, khususnya seni beluk. Ketiga; kurangnya dukungan dari instansi pemerintahan, hal ini juga sangat disayangkan oleh ketua Lingkung Seni Beluk “Pusaka Mekar”, mengapa sampai instansi pemerintahan pun dirasakan kurang peduli akan perkembangan seni tradisi, padahal seni merupakan sebuah jati diri bangsa. (wawancara dengan ketua Lingkung Seni ‘Pusaka Mekar’, Iya diriya, 18 Januari 2005). Hal ini masih menjadi tanda tanya sampai saat ini, mengapa instansi yang terkait tidak memperhatikan kesenian.
Hal di atas, merupakan salah satu dampak yang negatif terhadap tumbuh kembangnya seni beluk. Mengingat bahwa kesenian merupakan pencerminan dari identitas suatu bangsa, seharusnnya keberadaan kesenian tradisional mendapat kedudukan penting dalam tatanan budaya.

Masalah Regenerasi

Sistem pewarisan merupakan salah satu faktor penting dalam melanjutkan pembelajaran dalam mempelajari suatu jenis kesenian. Kesenian yang sudah mengalami perjalanan panjang-yang dilakukan oleh generasi tua, kemudian untuk melanjutkan keberadaannya memerlukan pewarisan yang dilakukan oleh kaum tua pada angkatan muda. Apabila kesenian yang sudah mendekati kepunahan akibat dari tidak adanya pewarisan, dalam arti keberadaannya kurang menunjukkan jati diri kesenian tersebut, karena berbagai faktor yang menyebabkan tersendatnya proses pewarisan itu, maka kemungkinan besar kesenian tersebut akan punah ditelan zaman.
Kembali pada persoalan seni beluk “Pusaka Mekar”, bahwa kesenian ini mengalami hal serupa, yakni tidak adanya pewarisan yang konsisten pada kompetensi yang dimiliki generasi muda saat ini. Hal ini merupkan suatu permasalahan yang mendasar dan belum ada solusinya yang tepat, sehingga kita tidak bisa menyalahkan sebelah pihak. Di satu sisi, pewarisan merupakan hal yang paling utama, dari sisi lain kompetensi yang dimiliki generasi muda kurang memadai akan hal ini, mereka cenderung tertarik pada musik modern (musik Barat) yang cenderung lebih atraktif. Barangkali keadaan seperti ini dipengaruhi oleh media informasi (media elektronik), mereka secara tidak langsung menangkap suatu hal yang baru6), sedangkan kesenian beluk dianggap kolot, tidak sesuai dengan karakteristik mereka yang cenderung progresif. Dari fenomena tersebut, maka timbul pertaanyaan, apakah seni beluk “Pusaka Mekar” ini akan tetap eksis di kalangan masyarakatnya, mengingat rumitnya permasalahan di dalamnya?



Beberapa Tawaran Solusi.

Kiranya keberadaan seni beluk “Pusaka Mekar” harus didukung oleh adanya pihak-pihak yang dapat mengangkat kembali keberadaan seni beluk. Hal tersebut dapat direalisasikan dengan adanya dukungan pemerintah setempat dan kerja sama di antara para seniman beluk di Kabupaten Sumedang. Tentunya regenerasi merupakan hal yang paling penting dalam tumbuh dan berkembangnya seni beluk “Pusaka mekar”. Upaya tersebut dapat ditempuh melalui adanya apresiasi secara langsung, dengan mengadakan diskusi tentang pentingnya pelestarian seni tradisi. Selain itu, barangkali perlu adanya rekonstruksi seni beluk, baik dari bentuk penyajiannya maupun bentuk lagu dan musiknya, apabila memang hal ini diperlukan untuk menetralisasi kejenuhan masyarakat pendukungnya.


Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa penyebab utama kurang berkembangnya seni beluk “Pusaka Mekar” yang terdapat di Kampung Cipulus adalah faktor regenerasi. Minat generasi muda terhadap kesenian beluk dinilai kurang, mereka lebih tertarik pada seni musik Barat. Hal ini dipengaruhi oleh gencarnya media informasi, sehingga secara tidak langsung mereka diajak untuk menghayati musik tersebut.
Pewarisan merupakan hal yang paling utama, dari sisi lain kompetensi yang dimiliki generasi muda kurang memadai akan hal ini, mereka cenderung tertarik pada musik modern (musik Barat) yang cenderung lebih atraktif. Barangkali keadaan seperti ini dipengaruhi oleh media informasi (media elektronik)
1) masyarakat ladang adalah masyarakat yang mata pencahariannya bercocok tanam di daerah pegunungan, yang menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian. Dan biasanya masyarakat ladang hidupnya berpindah-pindah atau semi nomaden.
2) kesenian keraton adalah sebuah bentuk kesenian yang bersifat primordial, lahir dari kalangan kaum menak ( ningrat ).
3) lihat Jeniffer Lindsay. Klasik, Kitsch, dan Kontemporer, 1990.
4) Kumpulan lagu-lagu pupuh dalam kitab kuno, yang menceritakan tentang sejarah.
6) hal ini berkaitan dengan gaya hidup, selera budaya asing sehingga generasi muda kita terpacu pada hangar bingar musik-musik popular. Salah satu contoh yaitu tayangan-tayangan di televisi

Pantun Sunda

Kehidupannya dalam Modernitas Masyarakat Saat Ini


Kesenian merupakan ungkapan budaya dari suatu masyarakat yang tertuang nilai-nilai estetis di dalamnya. Oleh karena itu, setiap masyarakat di dunia memiliki kesenian yang sesuai dengan identitas budayanya. Bangsa Indonesia yang terdiri dari beribu-ribu pulau memiliki keanekaragaman budaya, tentu saja beraneka ragam pula kesenian yang dimilikinya. Kesenian asli Indonesia yang memiliki corak khas tradisi mempunyai karakter dan ciri khas tersendiri yang tidak dapat di temukan di dunia mana pun.
Kesenian asli Indonesia cenderung menuju pada religiusitas, artinya segala aktivitas masyarakat atau kelompok dalam melangsungkan kehidupannya selalu dikaitkan dengan religiusitas. Kesenian Kelong sagala misalnya, masyarakat Tinggi Muncung Gowa Toraya Propinsi Sulawesi Selatan, selalu melakukan upacara ritual penyembuhan penyakit cacar apabila salah satu warga ada yang terjangkit penyakit cacar. Mereka menyanyikan mantram atau mantra untuk kesembuhan penyakit tersebut.
Di Jawa Barat kesenian-kesenian yang berbau mistis (dalam hal ini adanya pemujaan atau penghormatan terhadap yang di atas kodrat manusia) masih dirasakan saat ini. Masyarakat Rancakalong Kab. Sumedang selalu mengadakan upacara ngalaksa setelah panen padi sebagai bentuk syukur terhadap Tuhan. Dalam upacara tersebut di gelar kesenian tarawangsa sebagai penghibur sekaligus pengundang ruh leluhur masyarakat setempat. Upacara tersebut melibatkan seluruh lapisan masyarakat yang berada di desa tersebut dengan tujuan yang sama, yakni untuk mendapatkan kesejahteraan hidup.
Lain halnnya dengan kesenian pantun Sunda, yang tergolong pada bentuk teater tutur dan diiringi kecapi sebagai pengiringnya ini menarik masyarakat pendukungnya untuk lebih menggerakkan emosi keagamaan (yang mendorong manusia berprilaku religi) mereka dengan mengadakan upacara ruatan (selamatan penolak bala) atau hanya sekedar hiburan. Di Jawa Barat keberadaan pantun antara lain terdapat di Banten, Bogor, Kuningan, dan Bandung, yang keberadaannya dalam fungsi sosial adalah untuk upacara sakral yang dianggap penting dalam kehidupan masyarakat yang meyakininya. Sebagian masyarakat yang percaya mempergelarkan pantun sebagai bentuk rasa syukur terhadap Yang Maha Kuasa dan ruh leluhur. Isi cerita pantun yang identik dengan mitologi Sunda sarat akan makna yang terkandung di dalamnya dapat dijadikan pandangan hidup bahkan prinsip hidup. Gejala sosial ini merupakan satu bentuk keterkaitan emosi untuk melakukan aktivitas religius dalam kehidupan sosial yang memiliki tujuan yang sama, yakni keselamatan hidup yang didambakan manusia manapun.

Saturday 14 February 2009

Topeng Cirebon

Khazanah seni yang membumi

Oleh
Aji Permana Sudjamza, S. Sn.




Ketegangan antara budaya massa dan kesenian tradisional sudah menjadi dampak dari globalisasi saat ini. Keadaan tersebut membuat kita menjadi ingin lebih mengenal kesenian yang kita miliki, mengapresiasi, merevitalisasi, mengangkatnya, serta memahami substansi tradisional sehingga diharapkan mampu menumbuhkan rasa memiliki dan menghargai. Celakanya, dampak dari globalisasi menghanyutkan persepsi seni tradisional sehingga terjebak dalam alienasi budayanya sendiri.
Salah satu kesenian tradisional yang mengalami ketegangan tersebut adalah topeng cirebon. Saat masyarakat kita mengalami ekstase oleh budaya populer yang notabene berasal dari Barat (Amerika, Eropa, dsb), saat itu pula penghargaan terhadap seni tradisi topeng cirebon mulai berkurang. Padahal topeng cirebon merupakan local genius yang mencerminkan identitas masyarakat Cirebon. Dilema memang, ketika kita membuka diri untuk mengenal modernitas, nilai-nilai lama akan pudar dan mulai muncul nilai-nilai baru dalam tatanan hidup masyarakat. Apalagi sebagian besar masyarakat kita adalah karakter masyarakat yang konsumtif, tentu saja akan sangat mudah menerima nilai baru itu.
Topeng cirebon adalah nilai-nilai lama kaum aristokrat. Pada zaman dahulu pertunjukkan topeng cirebon tidak hanya sebagai tontonan, melainkan tuntunan bagi masyarakat pendukungnya. Kesenian ini mengalami perjalanan panjang dalam kurun waktu yang cukup lama, mengarungi dimensi waktu yang terus bergulir dan bersinggungan dengan genre kesenian lain yang dikatakan ‘modern’. Tak jarang jika generasi sekarang tingkat penghayatannya hanya sebatas tontonan atau pertunjukkan untuk hiburan saja, dan terkadang menganggap pertunjukkannya terasa membosankan. Padahal apabila kita mengetahui latar belakangnya, terdapat nilai-nilai filosofis kehidupan kepercayaan masyarakat lama.
Budaya keraton di Indonesia tidak lepas dari unsur kesenian yang merupakan pengungkapan estetik dalam kehidupan sosialnya. Kesenian digunakan untuk kepentingan sakral dan profan dalam aktivitas kehidupan masyarakatnya. Demikian pun dengan masyarakat Cirebon feodal primordial, kesenian (topeng cirebon) dijadikan satu objek pengungkapan penyadaran diri pada Yang Maha Kuasa melalui ekspresi keindahan.
JIka demikian, tentu saja masyarakat Cirebon memiliki warisan berharga yang tertuang nilai-nilai budaya lama. Ada artefak budaya yang fenomenal, yakni topeng cirebon.
Sekilas perjalanan pertunjukkannya
Entah zaman mana kesenian ini lahir dan siapa penciptanya, sampai saat ini masih tanda tanya. Ada yang menyebutkan topeng cirebon sudah populer pada kerajaan Majapahit antara tahun 1300 – 1400 tarikh masehi. Dalam Negarakertagama dan Paraton, Raja Majapahit, Hayam Wuruk menari topeng (kedok) yang terbuat dari emas (atapel, anapuk) di lingkungan kaum perempuan istana Majapahit. Pada awalnya pun, topeng cirebon dipertunjukkan hanya untuk kaum perempuan di lingkungan keraton. Menurut beberapa literature, tari topeng dilakukan oleh para raja yang ditonton oleh kaum perempuan (istri-istri raja, adik-adik perempuan raja, ipar-ipar perempuan raja, ibu mertua raja, dan ibunda raja).
Semenjak Cirebon diduduki oleh kekuasaan kolonial Belanda, di bawah pimpinan Mas Galak, Gubernur Jenderal Daendels. Raja keraton tidak diperkenankan mememerintah secara otonom, sehingga untuk mememelihara kesenian itu hanya mengandalkan “gaji” yang diberikan oleh pemerintah Belanda. Maka tak jarang apabila para penari topeng keraton dan penabuh gamelan keluar dari keraton menuju ke pedesaan dan meneruskan pewarisannnya, sehingga muncullah gaya-gaya tari topeng cirebon. Kebebasan ini menyebabkan setiap penari atau setiap daerah memiliki cara penyajian atau gaya berbeda berdasarkan penampilan penari, seperti dikenal gaya Rasinah, gaya Sudjana, Gaya Sawitri, dll. Berdasarkan daerah perkembangannya dikenal gaya topeng Slangit, gaya topeng Losari, dll.
Dewasa ini, pertunjukkan topeng cirebon mengalami pergeseran fungsi. Zaman dahulu menarikan topeng merupakan kontemplasi, sebab esensi tarian (gerak tubuh) merupakan implementasi simbol penyadaran diri, sakral – ritual yang dilakukan di lingkungan keraton. Berbeda dengan sekarang, pertunjukkan topeng cirebon dipergelarkan pada acara kenduri atau hajatan dan pada acara-acara tertentu untuk kepentingan masyarakat yang lebih bersifat profan – hiburan. Untuk kepentingan itu pun frekuensi pertunjukkannya dinilai kurang, sehingga tak jarang apabila seniman (penari dan penabuh gamelan) lebih mengencangkan ikat pinggang demi mengangkat seni tradisi dan untuk kesejahteraan hidupnya.


Nilai-nilai religi
Sumber cerita pada pertunjukkan topeng cirebon diambil dari cerita panji yang mengisahkan kepahlawanan tokoh utamanya yang dikenal dengan Raden Panji. Tokoh utama dan tokoh lainnya dalam cerita tersebut digambarkan melalui karakter kedok seperti halus, lincah, gagah, kasar, yang menampilkan pula suatu peran dalam status hirarki kerajaan seperti raja, patih, tumenggung dan satria. Ke-4 peran tersebut menunjukan hirarki pada sistem kerajaan masa lalu, hal ini karena topeng cirebon mengambil cerita dari cerita Panji, cerita tersebut menyebut 4 kerajaan hindu di Jawa yaitu Koripan, Daha, Urawan, dan Singosari, cerita panji pertama kali dikenal pada abad ke-11 dan 12. Peran-peran hirarki kerajaan diwujudkan dalam karakterisasi kedok yang menampilkan tokoh Panji (Inukertapati, Kudawingpati), Pamindo, Patih (Jayabadra), Tumenggung (Mangandiraja), Jingga anom, Klana, dan rumyang.
Dengan masuknya pengaruh Islam dalam perkembangan Topeng Cirebon, peran yang menggunakan lima karakter kedok untuk tokoh Panji, Pamindo, Rumyang, Tumenggung Mangandiraja, dan Klana diinterpretasikan sebagai gambaran akhlak manusia (baik, jujur, bijaksana, dan serakah angkara murka) serta perkembangan jiwa manusia dari bayi, anak-anak remaja, sampai dewasa. Menurut beberapa sumber tertulis, tari topeng menjalankan misi dakwah keagamaan kepada tata cara mendalami Islam di cirebon yang mempunyai empat tingkatan yaitu Syariat pada Klana, Tumenggung pada tingkatan Tarekat, Pamindo pada tingkatan hakekat dan makrifat pada Panji. Selain itu, ada yang berpendapat bahwa topeng merupakan ambivalensi sifat manusia; Panji, Pamindo, dan Tumenggung adalah gambaran nafsu baik manusia, sedangkan Klana gambaran nafsu buruk, Rumyang menggambarkan manusia yang baru sadar melihat dunia, penuh keragu-raguan dalam mencari jalan hidupnya.
Terdapat interpretasi mengenai filosofi topeng cirebon yang fundamental dari konteks kepercayaan lama masyarakatnya. Menurut Jakob Sumardjo, budayawan, dari lima rangkaian tari topeng cirebon yang paling utama adalah topeng panji, sebab Panji adalah masterpiece topeng cirebon. Lihat saja gerakan tarinya yang terbatas, bahkan seolah-olah diam. Tempo iringan gamelannya cepat, sedangkan gerakan tariannya minimalis. Menurutnya, di sinilah simbol konsep religi kepercayaan lama, asal mula Sang Hyang Tunggal Hindu-Budha. Gerak itu diam, diam itu gerak, kosong itu penuh, penuh itu kosong, di dalamnya mutlak tunggal tidak ada perbedaan. Itulah mengapa topeng panji putih bersih tanpa ornamen, tidak bisa dibedakan laki-laki atau perempuan, itulah yang disebut kosong. Sedangkan iringan gamelan yang relatif cepat, itulah esensi gerak, semuanya dalam satu kesatuan, tunggal.
Kemudian, Sang Hyang Tunggal menurunkan sifat ciptaannya dualisme antagonistik, seperti terang-gelap, lelaki-perempuan, baik-buruk, dsb. Dalam topeng cirebon, Panji membelah menjadi aneka warna, Pamindo-Rumyang (perempuan) dan Tumenggung-Klana (laki-laki), dualisme yang paradoks. Itulah transformasi Sang Hyang Tunggal yang disimbolkan pada topeng cirebon.
Konsep yang luar biasa, sebab seni diciptakan untuk menghaluskan budi penghayatnya, bukan sebaliknya. Pada dasarnya seni memiliki hubungan timbal balik dengan kebutuhan manusia, apabila seni diciptakan memberikan manfaat bagi kehidupan manusia maka tercapailah esensi seni yang sesungguhnya. Tetapi apabila seni tidak memberikan apa-apa bagi kehidupan manusia, maka seni tidak bermanfaat, karena tidak dapat menentramkan batin dan kehalusan budi yang menghayatinya. Sungguh karya seni yang adiluhung, masyarakat Cirebon primordial mampu menciptakan karya dengan daya intelektual, padahal empu topeng cirebon ini hidup pada masa lampau. Mampukah kita menciptakan karya seni seperti itu?.


Harapan dan realitas
Tradisi adalah penurunan norma-norma yang dilakukan secara turun-temurun, tidak menutup kemungkinan apabila dalam pewarisannya mengalami perubahan pada bagian-bagiannya dan cenderung bersinggungan dengan budaya luar yang menawarkan genre kesenian baru. Keadaan ini dialami oleh sebagian besar kesenian tradisional di Indonesia.
Masyarakat kita bukan tipikal masyarakat yang mengisolir diri, terkungkung dengan budayanya (etnosentris). Pada masa transisi saat ini cenderung terjadi perubahan gaya hidup, pola pikir, dan perubahan adat dalam sosio – budaya masyarakat. Perubahan yang bersifat progresif dan konstruktif akan lebih memperkaya khazanah seni budaya kita, tetapi apabila perubahan itu mengalami involusi, siap-siap saja kita kehilangan salah satu produk budaya kita, identitas, dan jatidiri. Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki produk budaya yang tertuang nilai-nilai budayanya. Melestarikan, merekonstruksi, dan merevitalisasi merupakan belaian sayang untuk membangunkan kesenian lokal yang sedang tertidur.
Ironis, ketika orang-orang luar negeri menyaksikan, meneliti, dan mempelajari topeng cirebon untuk di bawa ke negaranya, sementara masyarakat kita terbuai dengan penawaran-penawaran karya seni dari budaya luar. Apabila keadaannya demikian, lantas kesenian ini milik siapa?. Pepatah mengatakan “tak kenal, maka tak sayang”, mengenal kemudian timbul rasa peduli dan memiliki
Sudah saatnya kita memberikan penghargaan yang sepantasnya pada seniman tradisi dan benda seninya, topeng cirebon. Menjaga nilai dan mengangkatnya memerlukan partisipasi dari berbagai pihak dan lapisan masyarakat, bukan individu atau kelompok tertentu. Meningkatkan apresiasi masyarakat (terutama kaum muda) dengan berbagai tantangannya merupakan langkah konkret menuju intensitas kesenian yang membumi.

Monday 9 February 2009

Pantun Sunda: Ritual

Upacara Ruatan Melalui Media Pantun Sunda

a. Pengertian Ruat
Ruat (Ngaruat atau ngalokat) dapat dikatakan selamatan untuk menolak bala yang dapat mendatangkan keselamatan dan kesejahteraan hidup. Hal tersebut merupakan penetralisir dari ancaman dan bahaya yang senantiasa dialami manusia. Netralisasi biasanya terjadi dengan mengucapkan kalimat sakti, seperti mantra, rajah, jampi, atau dengan penyembelihan, sesaji, mandi bunga (Rachmat Subagya, 1981:76). Prosesi tersebut tidak lepas dari manifestasi yang gaib, baik Tuhan atau ruh leluhur dalam upacara ritualnya. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas tersebut mengandung pengaruh monoteisme, Tuhan yang tunggal bersifat baik dan adil yang kemudian menciptakan makhluk ciptaan-Nya yang bersifat gaib, dan manusia melakukan penyadaran diri terhadap makhluk halus tersebut yang mengambil jarak terhadap Tuhan dan menyembahnya. Kepercayaan tersebut disebut animisme, yakni menunjukkan kepercayaan akan roh-roh halus yang berdiri lepas dari manusia dan yang campur dalam urusan insani (Rachmat Subagya, ibid).
Ngaruat merupakan bentuk ritus yang pengungkapannya keberadaan manusia untuk mendapatkan keselamatan yang dilakukan dengan berbagai macam tata cara prosesinya. Prosesi ngaruat tersebut, biasanya dilakukan dalam pembersihan desa, kelahiran bayi, pembuatan rumah, dan sebagainya. Semua itu dilakukan untuk mendapatkan atau mengharapkan keselamatan dari Yang Maha Kuasa.
Ngaruat dapat di klasifikasikan dalam 2 jenis ruatan, yakni ngaruat manusia dan ngaruat benda. Ngaruat manusia, terdapat ciri-ciri orang yang harus diruat atau sukerta, yakni spesifikasi orang yang harus diruat. Ngaruat benda, biasanya dilakukan untuk benda-benda yang dianggap perlu diruat, biasanya ruatan tersebut; ngaruat bangunan baru, pembuatan rumah, dan netepkeun pare (setelah panen padi). [1]
Kepercayaan ngaruat oleh sebagian masyarakat Sunda masih diyakini dapat mendatangkan keselamatan, biasanya prosesi ngaruat dapat dilakukan melalui media kesenian sebagai sarananya. Selain kesenian wayang, pantun pun dapat dijadikan media dalam prosesi ngaruat. Upacara ngaruat memiliki tujuan untuk pembersihan diri yang bersifat rohani, penetralisir keadaan diri yang ternoda secara bathin (dosa), atau keadaan-keadaan tertentu karena terdapat gangguan dari mahkluk halus, dsb., yang dianggap dapat mendatangkan kesialan atau marabahaya yang menimpa manusia. Terdapat beberapa sukerta (orang yang harus diruat) yang dianggap perlu diadakan ruatan agar terhindar dari bahaya atau kesialan yang dapat menimpa orang tersebut. [2]

a. Stimulasi Emosi Keagamaan
Pantun dijadikan media penghubung antara manusia dan mahluk halus atau sesuatu yang gaib dalam kehidupan manusia. Hal tersebut tercermin dalam melakukan upacara ruatan yang identik dengan pemintaan keselamatan hidup terhadap Tuhan dan ruh leluhur (karuhun) yang dianggap menduduki tempat tertinggi di atas manusia, sehingga melahirkan sikap emosi keagamaan masyarakat yang mempercayainya.
Emosi keagamaan yang dimaksud adalah tindakan yang mendorong manusia berprilaku serba religi, artinya terdapat suatu rangsangan yang dapat menggetarkan nuraninya dalam rangka penyadaran diri terhadap Tuhan, ruh leluhur, mahkluk halus yang lebih tinggi kedudukannya di atas kodrat manusia (Koentjaraningrat: ibid hal. 202). Emosi keagamaan sebagai salah satu kegelisahan atau penyingkapan suatu gejala yang tidak dapat diukur dengan akal manusia, sehingga manusia berusaha mencari jawabannya.
“Menganai masalah apakah emosi itu disebabkan karena manusia sadar akan adanya makhluk halus yang menempati alam sekeliling tempat tinggalnya, dan berasal dari jiwa orang-orang yang sudah meninggal; karena manusia takut menghadap berbagai krisis dalam hidupnya; tak mampu menjelaskan berbagai gejala dengan akalnya; percaya adanya kekuatan sakti dalam alam; menerima wahyu; atau karena gabungan dari semua sebab itu Emosi keagamaan yang mendasari setiap prilaku yang serba religi itu menyebabkan timbulnya sifat keramat dari perilaku itu, dan sifat itu pada gilirannya memperoleh nilai keramat”

Masyarakat yang menghormati kesenian tradisional yang identik dengan dunia mistis terhanyut oleh kesadaran akan kekuatan adikodrati. Penghayat pantun berusaha luruh pada kehendak gaib yang berada di lingkungannya dengan memenuhi segala permintaan makhluk gaib atau ruh leluhur.[3] Masyarakat pendukung pantun berasal dari berbagai lapisan masyarakat, mulai dari rakyat biasa hingga orang-orang yang menempati kedudukan tinggi di masyarakat. Mereka menjadikan pantun sebagai media untuk memenuhi keinginan mereka atau mereka mempunyai maksud dan tujuan untuk kepentingan hidupnya. Sebelum pertunjukan direncanakan, mereka mengungkapkan keinginannya kepada prepantun atau juru pantun untuk memenuhi niatnya dengan menggelar cerita pantun.
Dalam hal ini terjalin hubungan antara individu dan seniman pantun (juru pantun) atau dapat berupa hubungan antara individu dan kelompok. Terjalin kontak sosial sebagai proses sosial untuk menjalin kerjasama dalam mewujudkan tujuan yang sama.[4] Masyarakat, kelompok, dan individu mewujudkan kebutuhan-kebutuhan hidup yang senantiasa dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Orang yang menanggap pantun dan seniman pantun menjalin kerjasama yang menimbulkan timbalbalik. Penanggap pantun mendapatkan keselamatan atau keinginannya terwujud setelah upacara ritual terlaksana, sedangkan seniman pantun (juru pantun) mendapatkan jasa berupa materi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Masyarakat atau orang-perorang penghayat pantun mendapatkan keuntungan yang bersifat rohani (ketentraman batin) dan jasmani (kesejahteraaan hidup, kesehatan, dsb.).

b. Cerita Pantun dalam Upacara Ruatan
Telah disebutkan dalam Bab II, bahwa pantun tergolong pada bentuk sastra lisan yang menceritakan mitos-mitos tokoh legenda Sunda. Seniman pantun, yakni juru pantun menganggap bahwa cerita-cerita tersebut merupakan cerita suci yang memiliki nilai keramat. Cerita tersebut dapat dikatakan Kesusastraan suci yang megandung suatu kompleks konsepsi–konsepsi dan dongeng–dongeng suci mengenai sifat-sifat dan kehidupan dewa-dewa serta mahkluk–makhluk halus lainnya (yaitu mitologi). Ketika cerita pantun dikisahkan, seolah-olah mengulang kembali kosmos di mana kisah tersebut terjadi pada masanya. Menceritakan cerita tersebut seakan-akan mengulang kembali waktu mitos (mytical time) dengan seluruh kosmos diharapkan dapat menetralisir keadaan dunia yang tidak seimbang, ini yang dimaksud Marceu Eliade mengenai waktu mitos.
Biasanya cerita-cerita pantun memiliki cerita khusus untuk upacara ruatan, cerita tersebut yang berkaitan dengan mitologi Sunda lama yang mengandung kosmologi dan kosmogoni (yang berisi tentang penciptaan dan asal-usul manusia) zaman Sunda lama. Hal tersebut merupakan konsep dasar kepercayaan asli Indonesia dalam mengungkapkan kepercayaan akan makna hidup, manusia memakai lambang dan tanda. Rachmat Subagya (ibid hal 166) menyebutkan dua macam tanda tersebut, yakni:
“Mitos asal yang menafsirkan makna hidup berdasarkan kejadian purba. Mitos asal suku bangsa atau asal padi dan lain-lain memberi petunjuk untuk tata kelakuan. Ritus atau upacara adalah kelakuan simbolis yang mengkonsolidasi atau memulihkan tata alam dan menempatkanmanusia dan perbuatannya dalam tata tersebut. dalam ritus digunakan kata-kata, doa, dan gerak-gerik tangan atau badan. Baik mitos maupun ritus bermakna mengokohkan tata rencana alam raya semula dan diharapkan akan mempartisipasikan seluruh hidup umat dalam tata keselamatan.”

Reaktualisasi mitos tersebut dapat memberikan pencerminan diri, dan yang diharapkan setelah menjalani prosesi ruatan, penjelmaan dalam cerita tersebut luruh kapada orang yang diruat. Cerita-cerita yang dikisahkan disesuaikan dengan jenis ruatan, ruatan rumah tangga misalnya, juru pantun Abah Akis menceritakan kisah, Prabu Siliwangi, Dewi Pohaci Wiru Minanggai, Lutung Kasarung, Sumur Bandung, Malangsari. Pada umumnya, cerita yang dikisahkan dalam prosesi ngaruat adalah cerita kelahiran Batara Kala, cerita ini sama dengan cerita Batara Kala dalam wayang yang digunakan untuk upacara ruatan pula. Biasanya cerita tersebut digunakan untuk upacara ritus yang berkaitan dengan daftar sukerta dan ruatan benda seperti yang telah disebutkan di atas. Tidak semua juru pantun menyajikan cerita yang sama dalam prosesi ruatan, kadang-kadang cerita dalam ruatan disesuaikan dengan keadaan orang yang diruat agar cerita yang dikisahkan menjelma dan tercermin pada orang yang diruat tersebut. Dalam arti, cerita yang dikisahkan tersebut tergantung pada juru pantun untuk menceritakan cerita dalam prosesi ruatan.
Dalam acara hiburan biasa cerita yang dikisahkan menceritakan lakon biasa, seperti Mentralaya, Masa Layang Jaladri, Dewi Asri, Simber Kancana, Panggung Karaton, dll (wawancara, 3 Agustus 2006). Cerita yang dikisahkan tidak menceritakan cerita yang dianggap keramat, melainkan hanya lakon-lakon biasa yang tidak berhubungan dengan konteks ruatan.[5] Cerita-cerita untuk hiburan barangkali cerita yang dikisahkan tergolong pada jenis cerita sempalan atau cerita roman yang tidak dianggap memiliki nilai keramat.
[1] Wawancara …
[2] Daftar sukerta dicantumkan dalam Lampiran.
[3] Salah satu permintaan tersebut, misalnya berupa penyediaan sesajen yang harus disediakan apabila akan mempertunjukkan pantun. Penyediaan sesajen tersebut sudah menjadi kewajiban untuk dilaksanakan dan disediakan, apabila tidak dipenuhi dianggap dapat menimbulakan keadaan yang tidak diiginkan.
[4] Proses sosial adalah cara-cara berhubungan yang dapat dilihat orang perorangan dan kelompok. Kelompok manusia saling bertemu dan menentukan sistem, serta bentuk-bentuk hubungan tersebut. Proses sosial diartikan sebagai pengaruh timbal balik bagi kehidupan bersama.
[5] Dalam konteks ruatan cerita yang dikisahkan merupakan pemaknaan cerita yang diharapkan menjelma pada orang yang diruat.

Tarawangsa

Musik Ritual Tarawangsa
Peningkatan konsentrasi Menuju Alam Bawah Sadar
Oleh Aji Permana Sudjamza, S. Sn



Intisari

Tarawangsa merupakan salah satu jenis kesenian yang terdapat di Jawa Barat. Kesenian ini digunakan untuk prosesi ritual yang berkaitan dengan kepercayaan masyarakat pendukungnya. Kesenian tarawangsa dapat dikategorikan sebagai musik ritual, karena adanya ruang sakral yang dibentuk oleh keyakinan yang dianut masyarakat. Yang menarik untuk dikaji adalah ketika musik ini digunakan untuk iringan tari. Hadirin yang mengikuti prosesi ini dipersilakan untuk menari, mereka mengalami trance (tak sadarkan diri). Sebetulnya secara tidak sadar mereka dipengaruhi oleh musik tarawangsa hingga menuju pada tingkat konsentrasi (pengosongan pikiran). Kemudian, bagaimana hubungan antara musik dengan makhluk gaib? Apakah mereka sama hakekatnya dengan manusia memiliki perasaan, akal, dan kehendak?



Pendahuluan

Di Indonesia kesenian tradisional selalu dikaitkan dengan kepentingan yang erat kaitannya dengan kepercayaan masyarakat dalam melangsungkan kehidupan sosialnya. Kesenian digunakan sebagai media penghubung antara manusia dengan kehidupan lain yang tidak dapat terindera oleh kasat mata atau hubungan manusia dengan Tuhan. Keberadaannya merupakan ungkapan keindahan yang dituangkan melalui karya seni, dalam rangka penghormatan atau rasa syukur pada ‘makhluk halus ‘ – yang tidak tampak - atas keselarasannya dengan kehidupan manusia. ‘Makhluk halus’ yang dimaksud adalah adanya ruh nenek moyang, artinya selain meyakini adanya Tuhan mereka percaya akan adanya alam lain yang ditempati oleh ruh nenek moyang. Hal ini dipengaruhi oleh keyakinan lama mereka, mengingat bahwa pada zaman dahulu masyarakat Indonesia adalah penganut animisme dan dinamisme.[1] Maka kesenian dihubungkan dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan suatu ritus tertentu - menggunakan kesenian yang sudah biasa mereka lakukan dalam kurun waktu yang cukup lama.
Masyarakat Sunda lama meyakini adanya ruh leluhur (karuhun) yang senantiasa bergandengan dengan kehidupan manusia, bahkan pada zaman sekarang pun sebagian masyarakat tradisional masih meyakini hal tersebut. Biasanya mereka mengadakan hubungan dengan alam lain melalui suatu ritus yang menggunakan musik sebagai mediator.
Di daerah Rancakalong Kabupaten Sumedang, terdapat salah satu jenis kesenian yang masih digunakan untuk kepentingan upacara ritual. Kesenian tersebut adalah tarawangsa. Masyarakat Rancakalong masih memegang tradisi adat dalam melangsungkan kehidupan sosialnya. Masyarakat setempat meyakini adanya mahkluk halus yang senantiasa mempengaruhi kehidupan mereka, keberadaanya menduduki tempat yang penting, sehingga menjadi objek penghormatan, doa, sajian, dan sebagainya.
Masyarakat Rancakalong meyakini bahwa keselarasan dengan makhluk halus tersebut membawa dampak yang sangat besar bagi kelangsungan hidupnya. Hasil panen dan keselamatan masyarakat ditunjang oleh mahkluk halus atau ruh nenek moyang mereka. Ruang sakral yang mengitari kehidupan mereka merupakan manifestasi keberadaan spirit (makhluk halus) yang seiring dengan kehidupan sosial mereka.
Masyarakat religius berusaha untuk mengungkapkan keberadaannya untuk tujuan penyadaran diri terhadap kehendak dan kekuasaan gaib (Tuhan,ruh nenek moyang, dewa, dsb.)[2] Untuk kepentingan tersebut masyarakat Rancakalong memanifestasikan dirinya dengan mengadakan upacara ritual. Upacara tersebut dihubungkan dengan hasil bumi--panen padi, mereka menyebutnya ngalaksa sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang telah didapat; rayagungan, dan upacara bubur Suro. Dalam upacara tersebut digelar kesenian tarawangsa sebagai media penghubung antara alam mahkluk halus dengan alam manusia. Musik ritual tarawangsa mengantarkan masyarakat pendukungnya pada keadaan alam bawah sadar hingga trance (tak sadarkan diri), keadaan ini terjadi ketika mereka menari diiringi dengan musik tarawangsa.
Sesuatu yang sangat menarik untuk dikaji ketika musik tarawangsa digunakan untuk upacara ritual, dalam prosesi tersebut masyarakat menari dan mengalami trance (hilang kesadaran). Dengan iringan musik tersebut mereka menuju ruang sakral – transendental, keterbukaan dengan ruang gaib yang tak dapat terindra secara lahiriah. Secara psikologi, musik Tarawangsa mempengaruhi alam pikiran mereka - secara tidak sadar musik Tarawangsa membawa pada alam bawah sadar masyarakat yang meyakininya.
Musik spiritual meningkatkan tingkat samadi pendengar yang meyakininya, kemudian makhluk halus (spirit) yang mendiami lingkungan manusia serta-merta menuju alam manusia, bahkan bergandengan dengan ruh manusia. Apakah musik tarawangsa dihayati oleh mahkluk halus – ruh nenek moyang masyarakat Rancakalong? Belum dapat dibuktikan kebenarannya. Musik tarawangsa hanya sebatas pengantar menuju meditasi--tingkat konsentrasi orang yang mendengarkannya. Musik ritual tarawangsa menjadi sakral karena dibentuk oleh keyakinan dan kesungguhan penghayatnya.
Tulisan ini merupakan peninjauan awal mengenai studi literatur musik ritual tarawangsa. Menawarkan aspek- aspek yang membentuk ruang sakral yang berhubungan dengan kehidupan sosial masyarakat Rancakalong. Dan pengaruh musik tersebut terhadap emosi mereka, mengingat bahwa musik ini dapat menyebabkan hilangnya kesadaran orang yang menari. Prosesi ritual ini dikaitkan dengan adanya makhluk halus yang berada dilingkungan masyarakat Rancakalong, hingga mereka melakukan penghormatan, doa, dsb, dalam rangka penyelarasan antara kehidupan manusia dengan alam lain.


Musik Ritual

Musik ritual dihubungkan dengan sesuatu yang berkaitan dengan upacara keagamaan atau kepercayaan yang diyakini oleh sekelompok orang atau masyarakat dalam rangka penyembahan dan penghormatan terhadap yang gaib. Dalam hal ini musik digunakan sebagai media transceiver menuju alam yang dihuni oleh makhluk halus. Adanya ruang sakral (suci, keramat) yang dibentuk oleh keyakinan yang dianut masyarakat, dan dengan musik manusia mengalami keterbukaan rohani melakukan penyesuaian dengan alam. van Peursen dalam Strategi Kebudayaan menyebutnya sebagai manusia yang transcendental (berdasarkan kerohanian), artinya manusia tidak terkurung (imanen) pada kehidupan dirinya, melainkan luruh terhadap kehendak alam. Menurut E.B Taylor asal mula religi adalah kesadaran manusia akan konsep ruh (Koentjaraningrat, 1998:195).
Pada dasarnya musik ritual dibentuk oleh keyakinan manusia terhadap adanya alam metafisik. Manusia sadar bahwa gerak dalam alam (yaitu hidup) disebabkan oleh suatu kekuatan yang berada di samping tubuh jasmaninya, yakni jiwa yang kemudian disebut ruh. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan masyarakat tradisional bahwa gerak alam disebabkan oleh adanya ruh. Fenomena alam yang terjadi seperti, gunung meletus, peredaran matahari, timbulnya tumbuh–tumbuhan, dan sebagainya, semuanya disebabkan oleh kekuatan alam. Adanya ruh yang terdapat pada alam dipersonifikasikan sebagai dewa-dewa yang menguasai alam, dan dewa-dewa tersebut dianggap sebagai makhluk halus yang memiliki kehendak, kepribadian, dan akal. Jelaslah bahwa yang gaib itu menduduki tempat terpenting dalam kehidupan manusia, sehingga mereka melakukan penyelarasan dengan makhluk yang tak terlihat itu. Bentuk penyembahan, penghormatan, dan doa dilakukan dengan berbagai versi. Salah satu bentuk penghormatan tersebut menggunakan musik sebagai media penghubung antara alam manusia dengan alam lain yang tak terlihat. Antara musik dan ruh manusia berinterferensi menuju pada ’kesakralan’ yang diyakini dapat menebus dimensi abstrak .[3]
Pada dasarnya musik sakral untuk prosesi ritus dipengaruhi oleh keyakinan yang dianut oleh masyarakat pendukungnya. Musik sakral dapat digunakan sesuai dengan keinginan masyarakatnya, salah satunya musik yang dianggap keramat dapat digunakan untuk pengusir ruh jahat yang dapat memudarkan keteraturan yang sudah dijalin antara alam manusia dan alam gaib atau antara manusia dengan alam semesta. Selain sebagai media upacara syukur terhadap hasil bumi, keselamatan, dsb, musik ritual yang dinggap keramat itu dapat menimbulkan ketentraman batin yang meyakininya. Esensinya musik ritual yang sakral mempengaruhi emosi manusia, hingga menimbulkan kehalusan budi yang mendengarkannya. Tentunya tidak semua orang yang mendengarkan musik ini menghayati betul karismanya, hal ini didasari oleh keyakinan dari setiap individu atau kelompok masyarakat yang menganggap suci atau keramatnya musik tersebut.
Para pakar musik beranggapan bahwa musik yang digunakan untuk kepentingan upacara keagamaan cenderung repetitif, sederhana, dan menggunakan teba nada yang terbatas. Di Indonesia banyak sekali musik yang digunakan untuk prosesi ritus, biasanya musik seperti ini terdapat di kalangan masyarakat tradisional yang masih memegang teguh adat dan kepercayaannya. Misalnya saja kelong sagala di daerah Sulawesi Selatan, gandrung banyuwangi daerah Jawa Timur, Tarawangsa di daerah Jawa Barat, dan masih banyak lagi kesenian lain yang dihubungkan dengan unsur mistis.
Musik Ritual Tarawangsa

Telah disebutkan di muka, bahwa musik ritual terwujud berdasarkan kepercayaan yang dianut masyarakat pendukungnya. Musik yang dianggap sakral itu dapat menyebabkan keterbukaan jagat batin manusia dengan penghuni alam semesta – yang lebih bersifat metafisik. Kesenian tarawangsa misalnya, musik ini digunakan untuk kepentingan upacara-upacara yang berhubungan dengan makhluk halus (spirit), biasanya kesenian ini digunakan untuk pengungkapan rasa syukur atas keberkahan panen padi.
Kesenian tarawangsa hanya dapat ditemukan di beberapa daerah tertentu di Jawa Barat, yaitu di daerah Rancakalong (Sumedang), Cibalong, Cipatujah (Tasikmalaya Selatan), Banjaran (Bandung), dan Kanekes (Banten Selatan). Tarawangsa di daerah Cibalong dan Cipatujah, selain menggunakan dua jenis alat musik tarawangsa dan jentreng, juga dilengkapi dengan dua perangkat calung rantay, suling, juga nyanyian. Alat musik tarawangsa dimainkan dalam laras pelog, sesuai dengan jentrengnya yang distem ke dalam laras pelog. Tarawangsa memiliki dua pengertian; Pertama, sebagai alat musik gesek yang memiliki dua dawai yang terbuat dari kawat baja atau besi; kedua, merupakan nama dari salah satu jenis musik tradisional Sunda. Tarawangsa merupakan sebuah ensambel kecil yang terdiri dari sebuah tarawangsa dan sebuah alat petik tujuh dawai yang menyerupai kacapi, yang disebut jentreng.
Tarawangsa di daerah Rancakalong Kabupaten Sumedang jauh lebih banyak jumlah lagunya apabila dibandingkan dengan tarawangsa yang berada di Banjaran dan Cibalong. Tarawangsa di Rancakalong terdiri dari dua kelompok lagu, yakni lagu-lagu pokok dan lagu-­lagu pilihan atau lagu-lagu tambahan, yang semua berlaraskan pelog. Lagu pokok terdiri dari lagu Pangemat/pangambat, ‘Pangapungan’, ‘Pamapag’, ‘Panganginan’, ‘Panimang’, ‘Lalayaan’, dan ‘Bangbalikan’. Ketujuh lagu tersebut dianggap sebagai lagu pokok, karena merupakan kelompok lagu yang mula-mula diciptakan dan biasa digunakan secara sakral untuk mengundang Dewi Sri.[4] Lagu- lagu tersebut digunakan untuk upacara ritual dalam rangka pengungkapan rasa syukur atas keberkahan hasil panen. Konon dengan melantunkan lagu tersebut dapat menghadirkan Dewi Sri atau Sri Pohaci (dalam mitologi Sunda Nyai Sri Pohaci, dewi pangan yang mengusai hasil bumi--padi), selain itu musik tarawangsa disajikan pada upacara Ngalaksa, Rayagungan, Bubur Suro, dan upacara lainnya yang berhubungan dengan kepercayaan mereka.
Tarawangsa biasa disajikan berkaitan dengan upacara padi, misalnya dalam ngalaksa, yang berfungsi sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang melimpah. Tarawangsa adalah prosesi yang lebih bersifat batiniah. Tarawangsa mengandung arti menerawang pada yang Esa. Melalui tarawangsa, para penari diajak menyatukan diri hingga dalam kondisi hening dan terbawa alam transedental--roh-roh gaib datang untuk menyatu dalam kekhidmatan mistis suara rebab dan jentreng atau kecapi. Konon itulah yang dalam konsep religi kuno Sumedang disebut proses penyatuan antara dunia gaib dengan jagat batin manusia. Penyatuan tersebut mengundang ruh atau makhluk halus datang pada saat prosesi, tak heran apabila orang yang menari mengalami trance (tak sadarkan diri). Pada saat itu terjadi mediumisasi, artinya ruh atau makhluk halus tersebut berinterferensi dengan ruh manusia, atau barangkali yang gaib itu menguasai alam bawah sadar penari. Keadaan itu merupakan manifestasi yang gaib dalam mengikuti prosesi ritual, artinya ia (makhluk halus) turut serta dalam penghormatan itu dengan cara merasuki penari, hingga penari kerasukan mahkluk gaib.



Pengantar Menuju Tingkat Konsentrasi

Musik bersifat afektif (emosional), artinya terjadi komunikasi perasaan antara penghayat dan pelaku. Dalam konteks ini, musik ritual sangat mempengaruhi tingkat emosi seseorang. Ketika seseorang mendengarkan musik yang dinggap sakral, ia akan merasakan vibrasi musik tersebut pada suasana hatinya. Secara tidak langsung musik merangsang otak untuk merespon frekuensi yang diserap oleh telinga. Pada tahap awal penangkapan gelombang ini disebut sensasi. Setelah menerima frekuensi (baca: musik) tersebut, secara emosional gelombang frekuensi itu mengajak untuk mengekspresikan apa yang telah diterima oleh otak. Pada tahap selanjutnya tubuh merespon rangsangan yang ditimbulkan oleh gelombang frekuensi tadi, hal ini disebut sebagai model pikiran sehat (Djohan, 2005 : 43).
Ketika seseorang mendengarkan musik keras, misalnya jenis musik Rock, Hip Hop, Blues, dsb, jenis musik tersebut cenderung menggunakan irama, tempo, dan ritme yang relatif cepat. Secara tidak sadar orang yang mendengarkan musik tersebut terpacu untuk menggerakkan tubuhnya - psikomotorik. Pengaruh tersebut secara tidak langsung membentuk tingkah laku dan merupakan pencerminan gaya hidup seseorang. Musik yang cenderung keras (loud), seperti jenis musik Heavy Metal, dapat mempercepat detak jantung. Misalnya, ketika seseorang mengendarai kendaraan (mobil, motor, speed boat, dsb.) sambil mendengarkan musik tersebut, maka secara tidak sadar dapat memacu adrenalin,[5] sehingga kecepatan mengendarai kendaraan akan bertambah. Hal inipun dapat meningkatkan tingkat konsentrasi pengendara. Lain halnya, ketika seseorang mendengarkan musik lembut (soft)- musik klasik, instrumentalia lembut, dsb. Musik jenis ini menawarkan kehalusan emosi yang mendengarkannya.
Kembali pada pokok bahasan mengenai musik ritual tarawangsa, pada dasarnya mempunyai kesamaan dengan contoh kasus di atas. Hadirin yang menari pada saat prosesi ritual dengan tarawangsa sebagai pengiringnya, mereka dipengaruhi oleh alunan musik tersebut dan kemudian larut dalam penghayatan musikal. Keadaan tersebut menimbulkan efek yang luar biasa bagi penari. Vibrasi musik yang dihasilkan tarawangsa mempengaruhi alam bawah sadar, adanya ajakan pengalihan pemuasan keinginan naluri -- persuasi subliminal. Ketika mereka mendengarkan iringan tarawangsa, saraf motoriknya bergerak dan spontan mereka menari. Mereka menghayati betul karisma musik yang ditawarkan, akhirnya mereka terhanyut pada keadaan ekstase.
Menurut Barbara Crowe dalam Djohan (2005:229), mengatakan bahwa musik dan irama menghasilkan efek penyembuhan, karena dapat menenangkan aktivitas yang berlebihan dari otak kiri. Ia menyebutkan bahwa suara repetitif yang keras mengirim sinyal konstan kepada korteks (lapisan zat kelabu atau kulit pada permukaan otak kecil) serta menutup masukan dari indra yang lain seperti pandangan, sentuhan, dan bau. Barangkali ini yang disebut tingkat keheningan pikiran atau konsentrasi, di mana indra yang lain ditutup, kemudian menuju pada alam bawah sadar.
Hal ini cukup beralasan ketika musik tarawangsa disajikan dalam upacara ritual. Para penari menghayati alunan melodi gesekan alat musik tarawangsa. Dalam komposisi musiknya, yang lebih dominan adalah melodi tarawangsa. Jentreng berfungsi sebagai pengiring alur lagu dan sebagai patokan atau pijakan melodi. Terdapat pengulangan yang berkesinambungan dalam setiap periodenya, yang terdiri dari beberapa frase.
Ciri khas dari musik tarawangsa adalah alur melodi tarawangsa, selain itu petikan jentreng selalu menggunakan teknik tengkepan. Barangkali domain gesekan tarawangsa itulah yang mempengaruhi alam bawah sadar penari hingga mengalami trance. Karakteristik musik tarawangsa memang mengundang pendengarnya untuk ngigel atau menari. Hal ini dapat dirasakan dari petikan jentreng yang menggunakan tempo sedang dan petikan-petikan yang seakan mengajak menari mengikuti alunannnya. Barangkali hal tersebut dapat dirasakan oleh orang-orang tertentu yang mengenal betul akan nilai yang terkandung didalamnya. Motif pengulangan yang terdapat pada komposisi musiknya, berdasarkan pada cita rasa sosio masyarakat setempat -- barangkali pengulangan di sini dilakukan tanpa disadari.
Proses penyatuan antara dunia gaib dan jagat batin manusia tentunya memerlukan tingkat konsentrasi tinggi untuk menembusnya. Menuju tingkat konsentrasi itu mereka menggunakan musik tarawangsa sebagai meditasi ke arah heningnya alam pikiran. Ternyata untuk menuju tingkat konsentrasi itu, seorang penari mempunyai selera dalam memilih lagu. Apabila lagu yang dibawakan tarawangsa sesuai dengan seleranya, maka akan semakin cepatlah menuju pada keheningan alam pikiran dan kemudian ia tak sadarkan diri.
Pada dasarnya musik tarawangsa ditujukan untuk manusia menuju pada tingkat konsentrasi tinggi. Adapun mereka menyebutnya sebagai pengundang makhluk halus, itu semua hanya suatu proses menuju transenden. Kita belum mengenal betul hakekat makhluk halus yang sesungguhnya, apakah mereka juga sebagai makhluk yang mempunyai keinginan, pikiran, dan rasa laiknya manusia? Hal itu belum dapat diketahui dengan pasti, karena sesuatu yang tidak terwujud (tampak) sangat sutlit diketahui keberadannya. Adapun yang menyebabkan mereka mengalami trance saat menari, adalah aspek keyakinan penduduk setempat. Sedangkan tingkat konsentrasi untuk menuju pada interferensi antara manusia dengan ruh halus disebabkan oleh musik tarawangsa yang dapat meningkatkan keheningan alam pikiran.



Penutup

Pada dasarnya musik sakral (suci, keramat) yang digunakan untuk upacara yang berhubungan dengan keyakinan, dapat mengantarkan pendengarnya untuk menuju pada tingkat konsentrasi yang lebih tinggi. Ketika seorang penari mendengarkan musik tarawangsa, dan saat ia menghayati betul alunan tarawangsa. Secara tidak disadari musik tersebut bekerja mempengaruhi alam bawah sadar sang penari. Gelombang frekuensi yang dihasilkan dari keutuhan tarawangsa yang didengar oleh penari, dan secara tidak disadari emosi mereka berubah setelah mendengarkan alunannya. Kemudian gerak tubuh tetap merespon untuk melakukan gerakannya, walaupun mereka dalam keadaan trance.
Pada dasarnya musik memiliki hubungan timbal balik dengan kebutuhan manusia, apabila musik diciptakan memberikan manfaat bagi kehidupan manusia maka tercapailah esensi musik yang sesungguhnya. Tetapi apabila musik tidak memberikan apa–apa bagi kehidupan manusia, maka musik tidak bermanfaat, karena tidak dapat menentramkan batin, kehalusan budi yang mendengarkannya.
[1] Animism yaitu kepercayaan yang berdasarkan atas keberadaan ruh yang terdapat di lingkungan manusia, sehingga dilakukan berbagai kegiatan keagamaan guna memuja ruh-ruh tersebut. Dinamism adalahkepercayaan terhadap kekuatan sakti yang ada pada benda-benda atau yang dianggap keramat mempunyai kekuatan sakti, sehingga dilakukan kegiatan keagamaan yang berpedoman pada kepercayaan itu.
[2] Menurut Frazer religi adalah suatu sistem perbuatan untuk mencapai maksud dengan cara menyadarkan diri terhadap kehendak dan kuasa makhluk-makhluk halus yang menghuni alam semesta ini. Dalam Koentjaraningrat.Pengantar Antropologi : Pokok-Pokok Etnografi.Jakarta .1998. Hal 197
[3] Istilah ini diartikan alam lain yang tak dapat terindra oleh pancaindra manusia. Keberadaan alam ini diyakini oleh sebagaian manusia, adanya alam ruh, nenek moyang, dewa, dsb. yang tersekat oleh perbedaan wujud antara materi dan energi.
[4] Lihat situs www.westjava-Indonesia.com
[5] Hormon yang diproduksi anak ginjal, hormon ini juga dikenal sebagai hormon epinefina. Khasiatnya adalah memacu jantung, meninggikan tekanan darah, mengerutkan pembuluh darah di kulit, melebarkan pupil mata, dan meningkatkan kewaspadaan.