Monday, 31 August 2009

Goong Renteng

SISTEM PEWARISAN GOONG RENTENG MBAH BANDONG

Oleh Santi Nurliah, S. Sn

Istilah ‘goong renteng’ merupakan perpaduan dari kata ‘goong’ dan ‘renteng’. Kata ‘goong’ merupakan istilah kuno dari bahasa Sunda yang berarti gamelan, sedangkan kata ‘renteng’ berkaitan dengan penempatan pencon-pencon kolenang atau bonang yang diletakkan secara berderet atau ngarenteng. Jadi secara harfiah goong renteng adalah goong yang diletakan atau disusun secara berderet.
Menurut Jaap Kunst, goong renteng dapat ditemukan di daerah Sumedang, Cilleunyi, Lebakwangi, Kuningan, Keraton Kanoman Cirebon, Majalengka, Indramayu, dan Tegalan.
Goong renteng memiliki laras salendrodan pelog. Namun di Desa Lebakwangi daerah Bandung, berdasarkan pengamatan langsung, gamelan ini memiliki yang namanya laras bandong. Disebut demikian karena banyak para ahli mengatakan bahwa gamelan ini tidak ada laras yang pas, artinya tidak menuju ke salendro atau pelog, sehingga masyarakat seuwu-siwi Batukarut menyebutnya laras bandong.
Fungsi goong renteng yang sebenarnya dalam kebudayaan Sunda pada masyarakat dulu belum dapat diketahui secara pasti. Kita hanya bisa mengatakan berdasarkan cerita serta fungsi yang masih berlangsung pada beberapa kelompok goong renteng sekarang. Goong renteng ditabuh setelah perangkat gamelan itu dibersihkan, misalnya goong renteng gamelan Embah Bandong digunakan untuk memeriahkan acara Muludan dan acara ngebakan atau memandikan benda pusaka pada setiap tanggal 12 Mulud. Penabuhan ini bagi masyarakat sekaligus merupakan suatu fungsi bagaimana pusaka yang berusia ratusan tahun ini masih bisa mengeluarkan bunyi, disamping adanya keanehan lain yang berbau mistik (lihat situs http:// www. West Java- Indonesia.com/ 2004:3).
Berbicara tentang mistik tentunya ada kaitannya dari makna goong renteng itu sendiri dengan hal yang sifatnya transendental. Seperti halnya sebelum pertunjukan goong renteng harus ada sesaji yang disebut rujak 7 rupa, rinciannya adalah sebagai berikut:
Endog hayam kampong, serutu, rujak warna tujuh, dawegan, lisah keletik, bajigur, susu, sirop, bangkerok ketn, surabi, kelepon, bubur beureum, bubur bodas, cau kapas kenging meuleum, gula batu, cau emas, roti, opak, ranginang, wajit, angling, apel, anggur, jeruk, pais oncom sareng teri, pais oncom sareng peda, jeroan hayam dipais, bakakak hayam, rakocak, cau kapas atah, pais tipung kenging ngagulaan, sangu pera, rencang sangu tumis, daging, dll.
Ditambah lagi dengan hanjuang, seureuh tangkayan dina kendi dicaian, cau ambon saturuy digantungkeun, parupuyan, bako tampang, bako mole, daun kawung, rujak roti, kopi pait, kopi manis (laporan penelitian, Abun somawijaya, dkk.1994:51-53).
Seluruh sesaji tersebut memiliki makna masing-masing. Fungsinya merupakan penghormatan kepada para leluhur yang kaitannya dengan gamelan goong renteng milik Embah Bandong.

Gamelan Embah Bandong dan Masyarakat

Gamelan Embah Bandong merupakan milik masyarakat Lebakwangi; Batu Karut Banjaran Kabupaten Bandung yang sekarang keberadaanya sudah mencapai 11 generasi. Ini terbukti adanya juru kunci yang mengelola gamelan Embah Bandong ini diantaranya adalah:
Ibu Ariyem, Uyut Lerget, Aki Suhadi, Embah Manoh, Aki Madisun, Bapak Oyo, Mang Sukarya, Aki Enca, Aki Endan, S. Enggin W.S.
Kesebelas generasi tersebut masih dalam lingkungan keluarga yang tugasnya sama sejak dulu, yaitu mengelola keberadaan gamelan Embah Bandong, termasuk kekayaan situs rumah adat. Rumah adat ini ada dua.Yang pertama adalah bumi alit adalah sebuah rumah adat Sunda dengan atap julang ngapak. Sedangkan yang kedua adalah sebuah saung yang berlantaikan palupuh yang menjadi tempat ditabuhnya goong renteng.
Menurut H. Uko Rukanda, seorang pupuhu atau sesepuh di sana, bumi alit dikeramatkan karena didalamya tersimpan sejumlah pusaka sunda peninggalan nenek moyang terdahulu yang selalu dilestarikan keberadaanya. Ada lima benda pusaka Sunda sejenis alat perang yang tersimpan di dalamnya, yaitu kujang, keris, tumbak, pisau kecil, dan gobang. Benda pusaka ini sebagai simbol ilmu yang dipegang nenek moyang zaman dahulu.
Benda-benda pusaka tersebut dibersihkan setahun sekali, yaitu pada saat hari Maulid Nabi Muhammad saw tanggal 12 Maulid, termasuk goong renteng. Acara tradisi Islam Muludan itu terbuka untuk masyarakat umum tanpa dipungut bayaran. Syaratnya setiap rombongan harus membawa tumpeng dan bakakak ayam untuk konsumsi mereka sendiri. Upacara adatnya disajikan untuk menghormati tradisi nenek moyang terdahulu. Semua pengunjung status dan derajatnya sama dalam upacara itu, mereka duduk bersila di tanah lapang sambil memuji asma-Nya (lihat copy right 2001-2002 Galura.com.All rights reserved email: reduksi saron).
Dari uraian tersebut jelas bahwa keberadaan gamelan Embah Bandong sangat erat hubunganya dengan masyarakat desa Lebakwangi ; Barukarut. Warga dua desa inilah yang menjadi seuweu-siwi atau anak cucu keturunan disana.

Pewarisan Kebudayaan

Sebelum membicarakan tentang pewarisan, ada suatu pernyataan bahwa kesenian adalah salah satu unsur budaya yang tidak bisa dipisahkan dari dengan masyarakat pendukungnya. Manusia dan kebudayaan merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan, dan makhluk manusia merupakan pendukung kebudayaan. Sekalipun makhluk manusia akan mati, tetapi kebudayaan yang dimilikinya akan diwariskan untuk keturunannya. Pewarisan kebudayaan makhluk manusia tidak hanya terjadi secara vertikal atau anak cucu mereka, melainkan dapat pula dilakukan secara horizontal atau manusia satu dapat belajar kebudayaan dari manusia lainnya (Hari Poerwanto, 2000: 87-88).
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan juga bahwa pewarisan kebudayaan bisa dilakukan secara horizontal, manusia satu dapat belajar kebudayaan dari manusia lainnya. Hal ini terjadi pada pewarisan memainkan gamelan goong renteng yang berada di Desa Lebakwangi – Batukarut Banjaran Kabupaten Bandung.
Pewarisan berdasarkan kamus bahasa Indonesia berasal dari kata ‘waris’, yang artinya orang yang berhak menerima harta pusaka dari orang yang telah meninggal. Jadi bila dikaitkan dengan pewarisan gamelan goong renteng, bahwa gamelan goong renteng bisa diwariskan kepada orang yang berhak menerimanya. Namun jangkauan artinya lebih luas bila tidak dibatasi apa yang akan diwariskan melalui gamelan goong renteng.
Sesuai dengan uraian tersebut, penulis batasi pada sisi pewarisan keterampilan cara memainkan gamelan goong renteng yang berada di Desa Lebakwangi ; Batukarut Banjaran Kabupaten Bandung. Yang penulis ketahui berdasarkan pengamatan terdapat satu bentuk pewarisan yaitu sistem pewarisan berdasarkan keturunan.

Sistem pewarisan berdasarkan keturunan

Sistem pewarisan berdasarkan keturunan maksudnya adalah cara pewarisan turun temurun dalam sistem kelompok kerabat kekeluargaan. Hal ini tercermin dalam sistem pengelolaan gamelan Embah Bandong salah satu unsur pengelola yang disebut juru kunci. Pengelolaanya berdasarkan informasi sudah mencapai sebelas generasi yang sekarang dipegang oleh juru kunci yang bernama S. Enggin dalam organisasi yang dinamakan Sasaka Waruga Pusaka.
Dalam keterampilan memainkan gamelan ada cara belajar khusus dari orang yang bisa, yaitu dengan cara lisan. Agar hasil belajarnya baik, diulang beberapa kali sampai si pemain atau nayaga bias.
Sebagai contoh pada waktu penelitian yang lalu. Pemain dari gamelan ini terdiri dari 6 orang sesuai dengan jumlah waditra yang ada, yaitu: 1 orang pemain saron, 1 orang pemain rincik, 2 orang pemain bonang, 1 orang pemain beri, 1 orang pemain kecrek dan 1 orang pemain goong. Setiap waditra memiliki fungsinya masing-masing, di antaranya adalah:

1. bonang berfungsi sebagai pembawa melodi
2. saron berfungsi sebagai dinamisator dalam memunculkan aksentuasi dari variasi ritme
3. kecrek berfungsi sebagai penjaga ritmis
4. beri berfungsi sebagai pemberi aksen atau sebagai penjaga ritmis
5. goong berfungsi sebagai pembuka, kenongan, dan akhir kalimat lagu

Semua waditra di atas dimainkan oleh satu grup pemain gamelan goong renteng Embah Bandong. Dilakukan secara berulang-ulang untuk menghasilkan tabuhan yang baik. Sudah menjadi kewajiban bagi seorang yang ahli dalam memainkan gamelan ini untuk memberi tahu kepada orang yang belum bisa menguasai cara menabuh dengan baik, karena hal ini adalah salah satu cara untuk menurunkan warisan dari leluhur kepada generasi selanjutnya guna menjaga pelestarian.

a. Usia Belajar
Kalau berbicara tentang usia sangat sulit untuk menentukan harus dimulai dari usia berapa tahun orang untuk belajar gamelan ini. Berdasarkan informasi belajar menabuh gamelan ini tidak dibatasi dari usia, juga tidak hanya untuk kaum laki-laki, tetapi perempuan juga diperbolehkan, asal ada keinginan untuk mempelajarinya. Namun berdasarkan pengamatan langsung, pemain gamelan goong rentang semuanya kaum laki-laki dan rata-rata usianya kira-kira 30 tahun ke atas.
Pernyataan tersebut membuktikan bahwa gamelan Embah Bandong ini adalah milik warga setempat yang keberadaanya terbuka untuk warga seuweu- siwi Batu Karut dalam pemeliharaanya baik perempuan maupun laki-laki.

b. Metode Pengajaran
Metode pengajaran tidak secara resmi seperi halnya di sekolah-sekolah dengan menggunakan metode imitatif langsung yang dilengkapi dan dipraktikkan dengan alat peraga teknologi modern. Gamelan Embah Bandong dipelajari secara tradisional atau secara lisan dengan sistem melihat dan mendengar. Kegiatan ini dilakukan secara turun temurun dari dahulu.
Orang tua dulu selalu mewariskan kebiasaanya dengan cara lisan, ini terbukti berdasarkan ilmu psikologi, bahwa orang-orang dulu daya ingatannya sangat kuat. Daya ingatan ini digolongkan menjadi dua, yaitu
1. daya ingatan mekanis, artinya kekuatan ingatan itu hanya untuk kesan-kesan yang diperoleh dari pengindraan
2. daya ingatan logis, artinya daya ingatan itu untuk tanggapan-tanggapan yang mengandung pengertian.
Berdasarkan uraian tersebut terbukti bahwa pewarisan kepandaian memainkan gamelan ini dengan cara yang sangat sederhana atau cara tradisional orang dahulu, yaitu cara lisan.