Rasa estetis adalah salah satu anugrah terbesar yang diberikan Allah SWT. Sensasi terbesar ketika kita melihat keindahan-keindahan yang diciptakan-Nya, lantas manusia mulai meniru sang Maha Kreator. Kebutuhan estetis manusia yang integratif menjadikan manusia itu memiliki rasa kagum terhadap kreasi individu dan kelompok. "seni untuk seni", keberadaannya untuk dihayati, dan merubah kehalusan budi pencipta dan penghayatnya.
Monday, 30 November 2009
Kisah Nabi Muhammd SAW
MUHAMMAD telah meninggalkan warisan rohani yang agung, yang telah menaungi dunia dan memberi arah kepada kebudayaan dunia selama dalam beberapa abad yang lalu. Ia akan terus demikian sampai Tuhan menyempurnakan cahayaNya ke seluruh dunia. Warisan yang telah memberi pengaruh besar pada masa lampau itu, dan akan demikian, bahkan lebih lagi pada masa yang akan datang, ialah karena ia telah membawa agama yang benar dan meletakkan dasar kebudayaan satu-satunya yang akan menjamin kebahagiaan dunia ini. Agama dan kebudayaan yang telah dibawa Muhammad kepada umat manusia melalui wahyu Tuhan itu, sudah begitu berpadu sehingga tidak dapat lagi terpisahkan.
Kalau pun kebudayaan Islam ini didasarkan kepada metoda-metoda ilmu pengetahuan dan kemampuan rasio, - dan dalam hal ini sama seperti yang menjadi pegangan kebudayaan Barat masa kita sekarang, dan kalau pun sebagai agama Islam berpegang pada pemikiran yang subyektif dan pada pemikiran metafisika namun hubungan antara ketentuan-ketentuan agama dengan dasar kebudayaan itu erat sekali. Soalnya ialah karena cara pemikiran yang metafisik dan perasaan yang subyektif di satu pihak, dengan kaidah-kaidah logika dan kemampuan ilmu pengetahuan di pihak lain oleh Islam dipersatukan dengan satu ikatan, yang mau tidak mau memang perlu dicari sampai dapat ditemukan, untuk kemudian tetap menjadi orang Islam dengan iman yang kuat pula. Dari segi ini kebudayaan Islam berbeda sekali dengan kebudayaan Barat yang sekarang menguasai dunia, juga dalam melukiskan hidup dan dasar yang menjadi landasannya berbeda. Perbedaan kedua kebudayaan ini, antara yang satu dengan yang lain sebenarnya prinsip sekali, yang sampai menyebabkan dasar keduanya itu satu sama lain saling bertolak belakang.
Doenload lengkap di sini
Kalau pun kebudayaan Islam ini didasarkan kepada metoda-metoda ilmu pengetahuan dan kemampuan rasio, - dan dalam hal ini sama seperti yang menjadi pegangan kebudayaan Barat masa kita sekarang, dan kalau pun sebagai agama Islam berpegang pada pemikiran yang subyektif dan pada pemikiran metafisika namun hubungan antara ketentuan-ketentuan agama dengan dasar kebudayaan itu erat sekali. Soalnya ialah karena cara pemikiran yang metafisik dan perasaan yang subyektif di satu pihak, dengan kaidah-kaidah logika dan kemampuan ilmu pengetahuan di pihak lain oleh Islam dipersatukan dengan satu ikatan, yang mau tidak mau memang perlu dicari sampai dapat ditemukan, untuk kemudian tetap menjadi orang Islam dengan iman yang kuat pula. Dari segi ini kebudayaan Islam berbeda sekali dengan kebudayaan Barat yang sekarang menguasai dunia, juga dalam melukiskan hidup dan dasar yang menjadi landasannya berbeda. Perbedaan kedua kebudayaan ini, antara yang satu dengan yang lain sebenarnya prinsip sekali, yang sampai menyebabkan dasar keduanya itu satu sama lain saling bertolak belakang.
Doenload lengkap di sini
Sunday, 18 October 2009
Kamus Indonesia - Sunda, Sunda - Indonesia
Program kamus Indonesia Sunda dan Sunda Indonesia ini sangat membantu untuk pembelajaran bahasa sunda. Walaupun kumpulan kosa katanya kurang lengkap, kamus ini sangat bermanfaat untuk digunakan. Dengan Fitur yang sederhana, kamus dengan versi yang berbeda ini memudahkan anda untuk melakukan pencarian kata.
Silahkan Download Gratis!
Kamus Indonesia - Sunda V.1.0
Kamus Sunda - Indonesia V.2,0
Silahkan Download Gratis!
Kamus Indonesia - Sunda V.1.0
Kamus Sunda - Indonesia V.2,0
Sunday, 27 September 2009
Unicode Aksara Sunda
Dewasa ini aksara sunda sudah jarang digunakan, bahkan hampir sebagian masyarakat Sunda sekarang tidak mengenal aksara Sunda. Ebook ini sangat membantu masyarakat Sunda yang ingin mempelajari aksara Sunda, sekaligus dapat digunakan pada komputer dalam format TTF.
Monday, 31 August 2009
Goong Renteng
SISTEM PEWARISAN GOONG RENTENG MBAH BANDONG
Oleh Santi Nurliah, S. Sn
Istilah ‘goong renteng’ merupakan perpaduan dari kata ‘goong’ dan ‘renteng’. Kata ‘goong’ merupakan istilah kuno dari bahasa Sunda yang berarti gamelan, sedangkan kata ‘renteng’ berkaitan dengan penempatan pencon-pencon kolenang atau bonang yang diletakkan secara berderet atau ngarenteng. Jadi secara harfiah goong renteng adalah goong yang diletakan atau disusun secara berderet.
Menurut Jaap Kunst, goong renteng dapat ditemukan di daerah Sumedang, Cilleunyi, Lebakwangi, Kuningan, Keraton Kanoman Cirebon, Majalengka, Indramayu, dan Tegalan.
Goong renteng memiliki laras salendrodan pelog. Namun di Desa Lebakwangi daerah Bandung, berdasarkan pengamatan langsung, gamelan ini memiliki yang namanya laras bandong. Disebut demikian karena banyak para ahli mengatakan bahwa gamelan ini tidak ada laras yang pas, artinya tidak menuju ke salendro atau pelog, sehingga masyarakat seuwu-siwi Batukarut menyebutnya laras bandong.
Fungsi goong renteng yang sebenarnya dalam kebudayaan Sunda pada masyarakat dulu belum dapat diketahui secara pasti. Kita hanya bisa mengatakan berdasarkan cerita serta fungsi yang masih berlangsung pada beberapa kelompok goong renteng sekarang. Goong renteng ditabuh setelah perangkat gamelan itu dibersihkan, misalnya goong renteng gamelan Embah Bandong digunakan untuk memeriahkan acara Muludan dan acara ngebakan atau memandikan benda pusaka pada setiap tanggal 12 Mulud. Penabuhan ini bagi masyarakat sekaligus merupakan suatu fungsi bagaimana pusaka yang berusia ratusan tahun ini masih bisa mengeluarkan bunyi, disamping adanya keanehan lain yang berbau mistik (lihat situs http:// www. West Java- Indonesia.com/ 2004:3).
Berbicara tentang mistik tentunya ada kaitannya dari makna goong renteng itu sendiri dengan hal yang sifatnya transendental. Seperti halnya sebelum pertunjukan goong renteng harus ada sesaji yang disebut rujak 7 rupa, rinciannya adalah sebagai berikut:
Endog hayam kampong, serutu, rujak warna tujuh, dawegan, lisah keletik, bajigur, susu, sirop, bangkerok ketn, surabi, kelepon, bubur beureum, bubur bodas, cau kapas kenging meuleum, gula batu, cau emas, roti, opak, ranginang, wajit, angling, apel, anggur, jeruk, pais oncom sareng teri, pais oncom sareng peda, jeroan hayam dipais, bakakak hayam, rakocak, cau kapas atah, pais tipung kenging ngagulaan, sangu pera, rencang sangu tumis, daging, dll.
Ditambah lagi dengan hanjuang, seureuh tangkayan dina kendi dicaian, cau ambon saturuy digantungkeun, parupuyan, bako tampang, bako mole, daun kawung, rujak roti, kopi pait, kopi manis (laporan penelitian, Abun somawijaya, dkk.1994:51-53).
Seluruh sesaji tersebut memiliki makna masing-masing. Fungsinya merupakan penghormatan kepada para leluhur yang kaitannya dengan gamelan goong renteng milik Embah Bandong.
Gamelan Embah Bandong dan Masyarakat
Gamelan Embah Bandong merupakan milik masyarakat Lebakwangi; Batu Karut Banjaran Kabupaten Bandung yang sekarang keberadaanya sudah mencapai 11 generasi. Ini terbukti adanya juru kunci yang mengelola gamelan Embah Bandong ini diantaranya adalah:
Ibu Ariyem, Uyut Lerget, Aki Suhadi, Embah Manoh, Aki Madisun, Bapak Oyo, Mang Sukarya, Aki Enca, Aki Endan, S. Enggin W.S.
Kesebelas generasi tersebut masih dalam lingkungan keluarga yang tugasnya sama sejak dulu, yaitu mengelola keberadaan gamelan Embah Bandong, termasuk kekayaan situs rumah adat. Rumah adat ini ada dua.Yang pertama adalah bumi alit adalah sebuah rumah adat Sunda dengan atap julang ngapak. Sedangkan yang kedua adalah sebuah saung yang berlantaikan palupuh yang menjadi tempat ditabuhnya goong renteng.
Menurut H. Uko Rukanda, seorang pupuhu atau sesepuh di sana, bumi alit dikeramatkan karena didalamya tersimpan sejumlah pusaka sunda peninggalan nenek moyang terdahulu yang selalu dilestarikan keberadaanya. Ada lima benda pusaka Sunda sejenis alat perang yang tersimpan di dalamnya, yaitu kujang, keris, tumbak, pisau kecil, dan gobang. Benda pusaka ini sebagai simbol ilmu yang dipegang nenek moyang zaman dahulu.
Benda-benda pusaka tersebut dibersihkan setahun sekali, yaitu pada saat hari Maulid Nabi Muhammad saw tanggal 12 Maulid, termasuk goong renteng. Acara tradisi Islam Muludan itu terbuka untuk masyarakat umum tanpa dipungut bayaran. Syaratnya setiap rombongan harus membawa tumpeng dan bakakak ayam untuk konsumsi mereka sendiri. Upacara adatnya disajikan untuk menghormati tradisi nenek moyang terdahulu. Semua pengunjung status dan derajatnya sama dalam upacara itu, mereka duduk bersila di tanah lapang sambil memuji asma-Nya (lihat copy right 2001-2002 Galura.com.All rights reserved email: reduksi saron).
Dari uraian tersebut jelas bahwa keberadaan gamelan Embah Bandong sangat erat hubunganya dengan masyarakat desa Lebakwangi ; Barukarut. Warga dua desa inilah yang menjadi seuweu-siwi atau anak cucu keturunan disana.
Pewarisan Kebudayaan
Sebelum membicarakan tentang pewarisan, ada suatu pernyataan bahwa kesenian adalah salah satu unsur budaya yang tidak bisa dipisahkan dari dengan masyarakat pendukungnya. Manusia dan kebudayaan merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan, dan makhluk manusia merupakan pendukung kebudayaan. Sekalipun makhluk manusia akan mati, tetapi kebudayaan yang dimilikinya akan diwariskan untuk keturunannya. Pewarisan kebudayaan makhluk manusia tidak hanya terjadi secara vertikal atau anak cucu mereka, melainkan dapat pula dilakukan secara horizontal atau manusia satu dapat belajar kebudayaan dari manusia lainnya (Hari Poerwanto, 2000: 87-88).
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan juga bahwa pewarisan kebudayaan bisa dilakukan secara horizontal, manusia satu dapat belajar kebudayaan dari manusia lainnya. Hal ini terjadi pada pewarisan memainkan gamelan goong renteng yang berada di Desa Lebakwangi – Batukarut Banjaran Kabupaten Bandung.
Pewarisan berdasarkan kamus bahasa Indonesia berasal dari kata ‘waris’, yang artinya orang yang berhak menerima harta pusaka dari orang yang telah meninggal. Jadi bila dikaitkan dengan pewarisan gamelan goong renteng, bahwa gamelan goong renteng bisa diwariskan kepada orang yang berhak menerimanya. Namun jangkauan artinya lebih luas bila tidak dibatasi apa yang akan diwariskan melalui gamelan goong renteng.
Sesuai dengan uraian tersebut, penulis batasi pada sisi pewarisan keterampilan cara memainkan gamelan goong renteng yang berada di Desa Lebakwangi ; Batukarut Banjaran Kabupaten Bandung. Yang penulis ketahui berdasarkan pengamatan terdapat satu bentuk pewarisan yaitu sistem pewarisan berdasarkan keturunan.
Sistem pewarisan berdasarkan keturunan
Sistem pewarisan berdasarkan keturunan maksudnya adalah cara pewarisan turun temurun dalam sistem kelompok kerabat kekeluargaan. Hal ini tercermin dalam sistem pengelolaan gamelan Embah Bandong salah satu unsur pengelola yang disebut juru kunci. Pengelolaanya berdasarkan informasi sudah mencapai sebelas generasi yang sekarang dipegang oleh juru kunci yang bernama S. Enggin dalam organisasi yang dinamakan Sasaka Waruga Pusaka.
Dalam keterampilan memainkan gamelan ada cara belajar khusus dari orang yang bisa, yaitu dengan cara lisan. Agar hasil belajarnya baik, diulang beberapa kali sampai si pemain atau nayaga bias.
Sebagai contoh pada waktu penelitian yang lalu. Pemain dari gamelan ini terdiri dari 6 orang sesuai dengan jumlah waditra yang ada, yaitu: 1 orang pemain saron, 1 orang pemain rincik, 2 orang pemain bonang, 1 orang pemain beri, 1 orang pemain kecrek dan 1 orang pemain goong. Setiap waditra memiliki fungsinya masing-masing, di antaranya adalah:
1. bonang berfungsi sebagai pembawa melodi
2. saron berfungsi sebagai dinamisator dalam memunculkan aksentuasi dari variasi ritme
3. kecrek berfungsi sebagai penjaga ritmis
4. beri berfungsi sebagai pemberi aksen atau sebagai penjaga ritmis
5. goong berfungsi sebagai pembuka, kenongan, dan akhir kalimat lagu
Semua waditra di atas dimainkan oleh satu grup pemain gamelan goong renteng Embah Bandong. Dilakukan secara berulang-ulang untuk menghasilkan tabuhan yang baik. Sudah menjadi kewajiban bagi seorang yang ahli dalam memainkan gamelan ini untuk memberi tahu kepada orang yang belum bisa menguasai cara menabuh dengan baik, karena hal ini adalah salah satu cara untuk menurunkan warisan dari leluhur kepada generasi selanjutnya guna menjaga pelestarian.
a. Usia Belajar
Kalau berbicara tentang usia sangat sulit untuk menentukan harus dimulai dari usia berapa tahun orang untuk belajar gamelan ini. Berdasarkan informasi belajar menabuh gamelan ini tidak dibatasi dari usia, juga tidak hanya untuk kaum laki-laki, tetapi perempuan juga diperbolehkan, asal ada keinginan untuk mempelajarinya. Namun berdasarkan pengamatan langsung, pemain gamelan goong rentang semuanya kaum laki-laki dan rata-rata usianya kira-kira 30 tahun ke atas.
Pernyataan tersebut membuktikan bahwa gamelan Embah Bandong ini adalah milik warga setempat yang keberadaanya terbuka untuk warga seuweu- siwi Batu Karut dalam pemeliharaanya baik perempuan maupun laki-laki.
b. Metode Pengajaran
Metode pengajaran tidak secara resmi seperi halnya di sekolah-sekolah dengan menggunakan metode imitatif langsung yang dilengkapi dan dipraktikkan dengan alat peraga teknologi modern. Gamelan Embah Bandong dipelajari secara tradisional atau secara lisan dengan sistem melihat dan mendengar. Kegiatan ini dilakukan secara turun temurun dari dahulu.
Orang tua dulu selalu mewariskan kebiasaanya dengan cara lisan, ini terbukti berdasarkan ilmu psikologi, bahwa orang-orang dulu daya ingatannya sangat kuat. Daya ingatan ini digolongkan menjadi dua, yaitu
1. daya ingatan mekanis, artinya kekuatan ingatan itu hanya untuk kesan-kesan yang diperoleh dari pengindraan
2. daya ingatan logis, artinya daya ingatan itu untuk tanggapan-tanggapan yang mengandung pengertian.
Berdasarkan uraian tersebut terbukti bahwa pewarisan kepandaian memainkan gamelan ini dengan cara yang sangat sederhana atau cara tradisional orang dahulu, yaitu cara lisan.
Oleh Santi Nurliah, S. Sn
Istilah ‘goong renteng’ merupakan perpaduan dari kata ‘goong’ dan ‘renteng’. Kata ‘goong’ merupakan istilah kuno dari bahasa Sunda yang berarti gamelan, sedangkan kata ‘renteng’ berkaitan dengan penempatan pencon-pencon kolenang atau bonang yang diletakkan secara berderet atau ngarenteng. Jadi secara harfiah goong renteng adalah goong yang diletakan atau disusun secara berderet.
Menurut Jaap Kunst, goong renteng dapat ditemukan di daerah Sumedang, Cilleunyi, Lebakwangi, Kuningan, Keraton Kanoman Cirebon, Majalengka, Indramayu, dan Tegalan.
Goong renteng memiliki laras salendrodan pelog. Namun di Desa Lebakwangi daerah Bandung, berdasarkan pengamatan langsung, gamelan ini memiliki yang namanya laras bandong. Disebut demikian karena banyak para ahli mengatakan bahwa gamelan ini tidak ada laras yang pas, artinya tidak menuju ke salendro atau pelog, sehingga masyarakat seuwu-siwi Batukarut menyebutnya laras bandong.
Fungsi goong renteng yang sebenarnya dalam kebudayaan Sunda pada masyarakat dulu belum dapat diketahui secara pasti. Kita hanya bisa mengatakan berdasarkan cerita serta fungsi yang masih berlangsung pada beberapa kelompok goong renteng sekarang. Goong renteng ditabuh setelah perangkat gamelan itu dibersihkan, misalnya goong renteng gamelan Embah Bandong digunakan untuk memeriahkan acara Muludan dan acara ngebakan atau memandikan benda pusaka pada setiap tanggal 12 Mulud. Penabuhan ini bagi masyarakat sekaligus merupakan suatu fungsi bagaimana pusaka yang berusia ratusan tahun ini masih bisa mengeluarkan bunyi, disamping adanya keanehan lain yang berbau mistik (lihat situs http:// www. West Java- Indonesia.com/ 2004:3).
Berbicara tentang mistik tentunya ada kaitannya dari makna goong renteng itu sendiri dengan hal yang sifatnya transendental. Seperti halnya sebelum pertunjukan goong renteng harus ada sesaji yang disebut rujak 7 rupa, rinciannya adalah sebagai berikut:
Endog hayam kampong, serutu, rujak warna tujuh, dawegan, lisah keletik, bajigur, susu, sirop, bangkerok ketn, surabi, kelepon, bubur beureum, bubur bodas, cau kapas kenging meuleum, gula batu, cau emas, roti, opak, ranginang, wajit, angling, apel, anggur, jeruk, pais oncom sareng teri, pais oncom sareng peda, jeroan hayam dipais, bakakak hayam, rakocak, cau kapas atah, pais tipung kenging ngagulaan, sangu pera, rencang sangu tumis, daging, dll.
Ditambah lagi dengan hanjuang, seureuh tangkayan dina kendi dicaian, cau ambon saturuy digantungkeun, parupuyan, bako tampang, bako mole, daun kawung, rujak roti, kopi pait, kopi manis (laporan penelitian, Abun somawijaya, dkk.1994:51-53).
Seluruh sesaji tersebut memiliki makna masing-masing. Fungsinya merupakan penghormatan kepada para leluhur yang kaitannya dengan gamelan goong renteng milik Embah Bandong.
Gamelan Embah Bandong dan Masyarakat
Gamelan Embah Bandong merupakan milik masyarakat Lebakwangi; Batu Karut Banjaran Kabupaten Bandung yang sekarang keberadaanya sudah mencapai 11 generasi. Ini terbukti adanya juru kunci yang mengelola gamelan Embah Bandong ini diantaranya adalah:
Ibu Ariyem, Uyut Lerget, Aki Suhadi, Embah Manoh, Aki Madisun, Bapak Oyo, Mang Sukarya, Aki Enca, Aki Endan, S. Enggin W.S.
Kesebelas generasi tersebut masih dalam lingkungan keluarga yang tugasnya sama sejak dulu, yaitu mengelola keberadaan gamelan Embah Bandong, termasuk kekayaan situs rumah adat. Rumah adat ini ada dua.Yang pertama adalah bumi alit adalah sebuah rumah adat Sunda dengan atap julang ngapak. Sedangkan yang kedua adalah sebuah saung yang berlantaikan palupuh yang menjadi tempat ditabuhnya goong renteng.
Menurut H. Uko Rukanda, seorang pupuhu atau sesepuh di sana, bumi alit dikeramatkan karena didalamya tersimpan sejumlah pusaka sunda peninggalan nenek moyang terdahulu yang selalu dilestarikan keberadaanya. Ada lima benda pusaka Sunda sejenis alat perang yang tersimpan di dalamnya, yaitu kujang, keris, tumbak, pisau kecil, dan gobang. Benda pusaka ini sebagai simbol ilmu yang dipegang nenek moyang zaman dahulu.
Benda-benda pusaka tersebut dibersihkan setahun sekali, yaitu pada saat hari Maulid Nabi Muhammad saw tanggal 12 Maulid, termasuk goong renteng. Acara tradisi Islam Muludan itu terbuka untuk masyarakat umum tanpa dipungut bayaran. Syaratnya setiap rombongan harus membawa tumpeng dan bakakak ayam untuk konsumsi mereka sendiri. Upacara adatnya disajikan untuk menghormati tradisi nenek moyang terdahulu. Semua pengunjung status dan derajatnya sama dalam upacara itu, mereka duduk bersila di tanah lapang sambil memuji asma-Nya (lihat copy right 2001-2002 Galura.com.All rights reserved email: reduksi saron).
Dari uraian tersebut jelas bahwa keberadaan gamelan Embah Bandong sangat erat hubunganya dengan masyarakat desa Lebakwangi ; Barukarut. Warga dua desa inilah yang menjadi seuweu-siwi atau anak cucu keturunan disana.
Pewarisan Kebudayaan
Sebelum membicarakan tentang pewarisan, ada suatu pernyataan bahwa kesenian adalah salah satu unsur budaya yang tidak bisa dipisahkan dari dengan masyarakat pendukungnya. Manusia dan kebudayaan merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan, dan makhluk manusia merupakan pendukung kebudayaan. Sekalipun makhluk manusia akan mati, tetapi kebudayaan yang dimilikinya akan diwariskan untuk keturunannya. Pewarisan kebudayaan makhluk manusia tidak hanya terjadi secara vertikal atau anak cucu mereka, melainkan dapat pula dilakukan secara horizontal atau manusia satu dapat belajar kebudayaan dari manusia lainnya (Hari Poerwanto, 2000: 87-88).
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan juga bahwa pewarisan kebudayaan bisa dilakukan secara horizontal, manusia satu dapat belajar kebudayaan dari manusia lainnya. Hal ini terjadi pada pewarisan memainkan gamelan goong renteng yang berada di Desa Lebakwangi – Batukarut Banjaran Kabupaten Bandung.
Pewarisan berdasarkan kamus bahasa Indonesia berasal dari kata ‘waris’, yang artinya orang yang berhak menerima harta pusaka dari orang yang telah meninggal. Jadi bila dikaitkan dengan pewarisan gamelan goong renteng, bahwa gamelan goong renteng bisa diwariskan kepada orang yang berhak menerimanya. Namun jangkauan artinya lebih luas bila tidak dibatasi apa yang akan diwariskan melalui gamelan goong renteng.
Sesuai dengan uraian tersebut, penulis batasi pada sisi pewarisan keterampilan cara memainkan gamelan goong renteng yang berada di Desa Lebakwangi ; Batukarut Banjaran Kabupaten Bandung. Yang penulis ketahui berdasarkan pengamatan terdapat satu bentuk pewarisan yaitu sistem pewarisan berdasarkan keturunan.
Sistem pewarisan berdasarkan keturunan
Sistem pewarisan berdasarkan keturunan maksudnya adalah cara pewarisan turun temurun dalam sistem kelompok kerabat kekeluargaan. Hal ini tercermin dalam sistem pengelolaan gamelan Embah Bandong salah satu unsur pengelola yang disebut juru kunci. Pengelolaanya berdasarkan informasi sudah mencapai sebelas generasi yang sekarang dipegang oleh juru kunci yang bernama S. Enggin dalam organisasi yang dinamakan Sasaka Waruga Pusaka.
Dalam keterampilan memainkan gamelan ada cara belajar khusus dari orang yang bisa, yaitu dengan cara lisan. Agar hasil belajarnya baik, diulang beberapa kali sampai si pemain atau nayaga bias.
Sebagai contoh pada waktu penelitian yang lalu. Pemain dari gamelan ini terdiri dari 6 orang sesuai dengan jumlah waditra yang ada, yaitu: 1 orang pemain saron, 1 orang pemain rincik, 2 orang pemain bonang, 1 orang pemain beri, 1 orang pemain kecrek dan 1 orang pemain goong. Setiap waditra memiliki fungsinya masing-masing, di antaranya adalah:
1. bonang berfungsi sebagai pembawa melodi
2. saron berfungsi sebagai dinamisator dalam memunculkan aksentuasi dari variasi ritme
3. kecrek berfungsi sebagai penjaga ritmis
4. beri berfungsi sebagai pemberi aksen atau sebagai penjaga ritmis
5. goong berfungsi sebagai pembuka, kenongan, dan akhir kalimat lagu
Semua waditra di atas dimainkan oleh satu grup pemain gamelan goong renteng Embah Bandong. Dilakukan secara berulang-ulang untuk menghasilkan tabuhan yang baik. Sudah menjadi kewajiban bagi seorang yang ahli dalam memainkan gamelan ini untuk memberi tahu kepada orang yang belum bisa menguasai cara menabuh dengan baik, karena hal ini adalah salah satu cara untuk menurunkan warisan dari leluhur kepada generasi selanjutnya guna menjaga pelestarian.
a. Usia Belajar
Kalau berbicara tentang usia sangat sulit untuk menentukan harus dimulai dari usia berapa tahun orang untuk belajar gamelan ini. Berdasarkan informasi belajar menabuh gamelan ini tidak dibatasi dari usia, juga tidak hanya untuk kaum laki-laki, tetapi perempuan juga diperbolehkan, asal ada keinginan untuk mempelajarinya. Namun berdasarkan pengamatan langsung, pemain gamelan goong rentang semuanya kaum laki-laki dan rata-rata usianya kira-kira 30 tahun ke atas.
Pernyataan tersebut membuktikan bahwa gamelan Embah Bandong ini adalah milik warga setempat yang keberadaanya terbuka untuk warga seuweu- siwi Batu Karut dalam pemeliharaanya baik perempuan maupun laki-laki.
b. Metode Pengajaran
Metode pengajaran tidak secara resmi seperi halnya di sekolah-sekolah dengan menggunakan metode imitatif langsung yang dilengkapi dan dipraktikkan dengan alat peraga teknologi modern. Gamelan Embah Bandong dipelajari secara tradisional atau secara lisan dengan sistem melihat dan mendengar. Kegiatan ini dilakukan secara turun temurun dari dahulu.
Orang tua dulu selalu mewariskan kebiasaanya dengan cara lisan, ini terbukti berdasarkan ilmu psikologi, bahwa orang-orang dulu daya ingatannya sangat kuat. Daya ingatan ini digolongkan menjadi dua, yaitu
1. daya ingatan mekanis, artinya kekuatan ingatan itu hanya untuk kesan-kesan yang diperoleh dari pengindraan
2. daya ingatan logis, artinya daya ingatan itu untuk tanggapan-tanggapan yang mengandung pengertian.
Berdasarkan uraian tersebut terbukti bahwa pewarisan kepandaian memainkan gamelan ini dengan cara yang sangat sederhana atau cara tradisional orang dahulu, yaitu cara lisan.
Monday, 11 May 2009
Kelong Sagala
When studying in particular field, we sometimes come across a phenomenon which is on the border of being inside or ourside this particular field. In this case, the field of study is music, and the question is whether or not Kelong Sagala can be categorized as music or not. In the Gowa Toraya area, there are frequent epidemics of smallpox, which Gowa community believe are caused by evil spirit. The Gowa culture has kind of magic spell which is used to drive away this disease from the area. This spell is known as Kelong Sagala the text used is in an ancient dialect so that even many of those reciting the incantation do not know its meaning. It is “sung” in unison by a group of male and female adult with a very limited pitch range, and takes place either out in the open with a meditative position, or in the house of a person who has disease. The twiting melody with its limited pitch range and unique tone quality creates a fascinating magical effect. This recording is by elders of the Tinggi Muncung community from Gowa Toraya, performing Kelong Sagala.
(Direktorat Jenderal Kebudayaan Depdikbud Republik Indonesia, 1998, Traditional Music of the Archipelago Volume 1)
Download Kelong Sagala
http://www.4shared.com/file/104613032/b7ec7ec/Track_22.html
(Direktorat Jenderal Kebudayaan Depdikbud Republik Indonesia, 1998, Traditional Music of the Archipelago Volume 1)
Download Kelong Sagala
http://www.4shared.com/file/104613032/b7ec7ec/Track_22.html
Tarawangsa
Tarawangsa is a genre of tradisional music from Sumedang, West Java. This ensamble consist of two musical instrument, the tarawangsa., a bowed stringed instrument and jentreng a plucked stringed instrument. It is purely instrument genre. The sundanese community in Sumedang use this music as part ceremony which honours the rice goddess, Nyi Sri, during the month of Muharam (of Sura). During this ceremony, community cooks bubur sura, a porridge consisting of all the various produce grown in this area. In the evening, there is a performance of Tarawangsa, including musical items which are obligatory part of the ceremony. This performance is accoumpanied by offerings in the form of statue of Nyi Sri, made from the rice plant and other food, including various fruits. After the obligatory numbers have been played, the performance continous with entertainment. This recording is an excerpt of the piece Pangamat played by Supriya (tarawangsa) and Anik (jentreng) from the village of Cihanyir, North Sumedang.
(Direktorat Jenderal Kebudayaan Depdikbud Republik Indonesia, 1998, Traditional Music of the Archipelago Volume 1)
Download Tarawangsa
http://www.4shared.com/file/104612440/1584ffbe/Track_1.html
(Direktorat Jenderal Kebudayaan Depdikbud Republik Indonesia, 1998, Traditional Music of the Archipelago Volume 1)
Download Tarawangsa
http://www.4shared.com/file/104612440/1584ffbe/Track_1.html
Monday, 6 April 2009
Seni Tari
Seni tari memgang peranan penting dalam kegiatan agama Hindu di Bali, terutama saat dilangsungkan upacara keagamaan du pura. Tari Bali dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu: wali (tari pura), balih-balihan (tari hiburan), dan bebali. Tari bebali dipertunjukkan pada upacara keagamaan, tetapi memiliki unsur hiburan dan berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Ada beberapa tari yang pada mulanya merupakan tari pura, namun kini dapat ditampilkan pada masyarakat umum. Misalnya, tari pendet, semula mewrupakan tari sajian untuk para leluhur dan dipentaskan di halaman pura, tetapi kini dapat ditampilkan untuk menyambut tamu.
(Ensiklopedi Populer Anak, 1998)
(Ensiklopedi Populer Anak, 1998)
Musik Gambus
Musik dan alat msuik gambus berasal dari daerah Asia Tengah dan masuk ke Indonesia bersamaan dengan masuknya pengaruh Islam ke daerah Indonesia. dalam perkembangannya, musik gambus diperkaya dengan banyak syair Melayu dan India. kelengkapan alat musiknya pun berkembang dengan menggunakan alat musik seperti organ, gitar, biola, dan lain-lain. walaupun demikian, yang tidak dapat hilang adalah warna nada Timur Tengahnya.
(Ensiklopedi Nasional Indonesia, 1989)
(Ensiklopedi Nasional Indonesia, 1989)
Tuesday, 17 February 2009
Identitas Budaya
Kesenian Tarawangsa:
Identitas Budaya yang Tercermin Pada Masyarakat Rancakalong
Kebudayaan dapat diartikan peradaban yang mengandung pengertian luas, meliputi pemahaman perasaan suatu bangsa yang kompleks. E.B. Taylor (dalam Ilmu Budaya Dasar, 1998:10) mengemukakan kebudayaan meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat (kebiasaan), dan pembawaan lainnya yang diperoleh dari anggota masyarakat.
Para ahli banyak memperbincangkan mengenai definisi kebudayaan dan melahirkan beratus-ratus definisi yang berkenaan dengan kebudayaan. Salah satunya adalah pengertian kebudayaan menurut R Linton dalam bukunya The Cultural Background Of Personality (Harsojo, 1988:92) disebutkan, kebudayaan adalah konfigurasi tingkah laku yang dipelajari dari hasil tingkah laku, yang unsur pembentukannya didukung dan diteruskan oleh anggota masyarakat tertentu.
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kebudayaan adalah hasil budi daya manusia, sehingga kebudayaan dapat dipelajari. Tingkah laku yang dimaksud adalah tingkah laku simbolis manusia yang senantiasa hadir dalam kehidupan. Tingkah laku tersebut tidak bersifat naluri, misalnya cara berjalan, cara makan, minum, dsb., hal tersebut merupakan kebutuhan manusia yang alamiah. Apabila cara berjalan tersebut seperti prajurit atau peragawati yang memerlukan proses belajar, merupakan hasil dari kebudayaan.
Manusia selalu mengungkapkan keberadaannya dengan berbagai cara dalam kehidupan sosialnya. Pengertian kebudayaan dapat pula disebut sebagai “tradisi” yang diartikan sebagai pewarisan atau penurunan norma-norma, adat-istiadat, benda-benda, dan kaidah-kaidah. Tetapi bukan berarti tradisi tidak dapat diubah, justru tradisi dipadukan dengan perbuatan manusia yang lebih bersifat dinamis.
Setiap masyarakat di dunia memiliki kebudayaan yang sesuai dengan karakter dan identitas[1] (Achmad Sadali dalam agus Sachari, 2002:47)yang tidak dapat lepas dari ungkapan budayanya. Hal tersebut tercermin dari konsepsi-konsepsi pemikiran manusia (sistem budaya) dalam menuangkan gagasan untuk memenuhi kebutuhannya yang diimplementasikan dalam aktivitas manusia yang saling berinteraksi dan menghasilkan suatu wujud. Malinownski menyebutkan, kebudayaan di dunia memiliki tujuh unsur, yakni bahasa, sistem teknologi, sistem mata pencaharian, organisasi sosial, religi, dan kesenian. Setiap peradaban masyarakat di dunia memiliki tujuh unsur tersebut dengan kebiasaan, cara, dan penyesuaian terhadap budaya lingkungannya.
Apabila konsep kebudayaan tersebut diterapkan dalam kebudayaan Indonesia, tentunya akan menghasilkan berbagai macam ungkapan budaya dari setiap subkultur Indonesia. Jawa Barat misalnya, terdapat berbagai ungkapan budaya yang sesuai dengan identitas kedaerahannya. Penduduk asli Jawa Barat biasa disebut orang Sunda yang merupakan pembawaan kedaerannya memiliki berbagai adat dan kebiasaan dalam menjalani kehidupannya. Dapat dikatakan kebudayaan Sunda merupakan segenap tindakan dan aktivitas yang mengacu pada olah pikir masyarakatnya, di antaranya mengenai kesenian, ilmu pengetahuan, adat sopan-santun pergaulan, kepandaian menulis, organisasi kenegaraan, dan sebagainya.
Kesenian misalnya, salah satu unsur dari kebudayaan universal yang tercermin dalam kebudayaan Sunda merupakan local genius yang mencerminkan kepribadiannya. Banyak sekali kesenian orang Sunda yang merupakan warisan leluhurnya masih melekat pada hati masyarakat pendukungnya, dalam hal ini orang Sunda atau masyarakat Sunda yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur budayanya. Misalnya, kesenian pantun, beluk, tarawangsa, rengkong, tembang sunda cianjuran, dll., merupakan identitas budaya yang merupakan pengungkapan estetis dari pola pikir masyarakatnya.
Di masyarakat Rancakalong Kabupaten Sumedang terdapat kebiasaan masyarakat yang turun temurun dilakukan sampai saat ini. Tradisi tersebut adalah upacara ngalaksa yang selalu dilakukan setelah panen padi. Upacara tersebut melibatkan seluruh lapisan masyarakat Rancakalong atas keberkahan hasil panen padi dari Yang maha Kuasa. Dalam upacara tersebut digelar kesenian tarawangsa sebagai presentasi estetis dan sebagai medium untuk mengundang ruh leluhur ke alam manusia.
Fenomena tersebut merupakan hasil akal manusia untuk melakukan penghormatan terhadap Tuhan, sekaligus sebagai ungkapan budayanya. Tentunya kebiasaan tersebut dilakukan melalui proses belajar yang dilakukan secara lisan terhadap generasi penerusnya. Tulisan ini membahas seputar kesenian tarawangsa dalam upacara ngalaksa yang merupakan hasil dari kebudayaan yang tercermin dalam identitas budayanya.
Kesenian Tarawangsa
Di daerah Sunda terdapat alat musik gesek yang telah tua keberadaannya, yaitu tarawangsa. Tarawangsa lebih tua keberadaannya daripada rebab, alat gesek yang lain. Naskah kuna Sewaka Darma dari awal abad ke-18 (atau sebelum abad ke-15) telah menyebut nama tarawangsa sebagai nama alat musik. Rebab muncul di tanah Jawa setelah zaman Islam sekitar abad ke-15-16, merupakan adaptasi dari alat gesek bangsa Arab yang dibawa oleh kaum penyebar Islam dari tanah Arab dan India. Setelah kemunculan rebab, tarawangsa biasa pula disebut dengan nama rebab jangkung (rebab tinggi), karena ukuran tarawangsa umumnya lebih tinggi daripada rebab.
Tarawangsa merupakan salah satu jenis kesenian rakyat yang ada di Jawa Barat. Istilah tarawangsa memiliki dua pengertian: Pertama; sebagai alat musik gesek yang memiliki dua dawai yang terbuat dari kawat baja atau besi; kedua, merupakan nama dari salah satu jenis musik tradisional Sunda. Sebagai alat musik gesek, tarawangsa tentu saja dimainkan dengan cara digesek. Akan tetapi yang digesek hanya satu dawai, yakni dawai yang paling dekat kepada pemain; sementara dawai yang satunya lagi dimainkan dengan cara dipetik dengan jari telunjuk tangan kiri. Kedua; sebagai nama salah satu jenis musik, tarawangsa merupakan sebuah ensambel kecil yang terdiri dari sebuah tarawangsa dan sebuah alat petik tujuh dawai yang menyerupai kacapi, yang disebut Jentreng.
Kesenian tarawangsa hanya dapat ditemukan di beberapa daerah tertentu di Jawa Barat, yaitu di daerah Rancakalong (Sumedang), Cibalong, Cipatujah (Tasikmalaya Selatan), Banjaran (Bandung), dan Kanekes (Banten Selatan). Tarawangsa di daerah Cibalong dan Cipatujah, selain digunakan dua jenis alat tersebut di atas, juga dilengkapi dengan dua perangkat calung rantay, suling, juga nyanyian. Alat musik tarawangsa dimainkan dalam laras pelog, sesuai dengan jentrengnya yang distem ke dalam laras pelog
Upacara Ngalaksa
Rancakalong merupakan sebuah desa sekaligus Kota Kecamatan Rancakalong Kab. Sumedang. Sebagian besar penduduknya, sejak masa silam hingga kini, mengandalkan hidup dari bersawah dan bercocok tanam. Karena itu pula, kultur masyarakat daerah ini seakan tetap menyatu dengan alam sekitar. Sistem nilai, tradisi, dan seni budaya, masih cukup melekat di sana.
Di daerah itu masih cukup banyak kebiasaan dari para leluhur, dipertahankan menjadi semacam adat atau tradisi. Selain dapat dilihat dari banyaknya even kesenian dan tradisi yang kini menjadi agenda pariwisata, seperti upacara adat ngalaksa dan rayagungan, beberapa jenis kesenian tradisional masih tetap mewarnai kehidupan warga di sana. Bahkan, desa ini pula memiliki kawasan desa wisata sebagai miniatur kebudayaan masyarakat sekitar, sekaligus sentralisasi budaya setempat untuk dipragmentasikan kepada masyarakat.
Meski kemasannya berbeda, upacara rayagungan dan ngalaksa yang rutin digelar setiap tahun, memiliki makna dan tujuan yang sama, yaitu sebagai pendorong motivasi dan rasa syukur atas hasil panen yang diperoleh masyarakat di sana. Hanya saja, bila tradisi rayagungan yang upacara ritualnya lebih menonjolkan figur para pendekar dan paranormal dan baru digelar ke tiga kali, sedangkan upacara adat ngalaksa sudah ada sejak masih zaman penjajahan Belanda.
Upacara ngalaksa, merupakan upacara ritual sebagai wujud rasa syukur kepada yang Maha Kuasa atas hasil panen yang sudah dilimpahkan kepada masyarakat setempat. Dalam upacara ngalaksa ini, selalu diwarnai berbagai simbol, seperti kesenian rengkong yang berarti mapag ibu pare (padi sunda), kemudian sawen mencerminkan panen, serta jentreng tarawangsa yang artinya ngamumule dimana padi sudah dibawa ke rumah. Ada pula beberapa ikatan kayu bakar yang dipikul untuk pelaksanaan ngalaksa atau mememasak nasi.
Prosesi utama ngalaksa bukan hanya unjuk kekuatan fisik. Prosesi inti justru terjadi di dalam ruangan saat suara mistis jentra Tarawangsa mulai mengalun. Tarawangsa adalah prosesi yang lebih bersifat batiniah. Tarawangsa mengandung arti menerawang pada yang Esa. Melalui Tarawangsa, para penari diajak menyatukan diri hingga dalam kondisi hening dan terbawa alam transedental. Asap dupa yang mengepul semakin tebal, seolah roh-roh gaib datang untuk menyatu dalam kekhidmatan mistis suara rebab dan jentreng atau kecapi. Konon itulah yang dalam konsep religi kuno Sumedang disebut proses penyatuan antara dunia gaib dangan jagat batin manusia.
Orisinalitas dan Identitas
kesenian yang dimiliki merupakan orisinalitas pemilik kesenian tersebut, di mana tertuang nilai estetik sebagai suatu wujud karya budaya. Orisinalitas dibentuk oleh pandangan-pandangan budaya yang dimiliki oleh suatu bangsa. Akhirnya, timbulah identitas yang secara harfiah merupakan ciri khas kedaerahan yang tidak dimiliki oleh suku bangsa manapun atau merupakan tanda pribadi yang sangat pribadi dan tidak dimiliki oleh bangsa manapun.
Kesenian tarawangsa yang digunakan dalam upacara ngalaksa merupakan wujud budaya yang mencerminkan ciri kedaerahannya. Hal tersebut dapat teridentifikasi dari organisasi sosial dan religi masyarakat Rancakalong. Kebiasaan-kebiasaan dalam upacara ngalaksa, seperti menyiapkan sesajen yang terdiri dari aneka makanan dan buah merupakan suatu kebiasaan masyarakat zaman dahulu yang masih terpengaruh oleh keyakinan masyarakat Sunda lama. Selain itu, pencerminan jati diri tersirat dalam masyarakat Rancakalong yang bergotong royong atau bekarjasama untuk mencapai satu tujuan yang sama, yakni untuk mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan hidup.
Keanekaragaman jenis seni budaya yang di miliki Jawa Barat menjadi suatu kebanggaan, bahwa kebudayaan daerahan dapat memperkaya bangsa , bangsa yang besar adalah bangsa yang kaya akan seni budaya yang dimilikinya. kiranya, harus disadari pentingnya pembinaan, pengembangan, dan pelestarian agar keberadaannya tidak hilang dan menjadi identitas bangsa, sekaligus membawa nama daerahnya yang harus dimiliki dan dihargai oleh masyarakatnya.
Penutup
Fenomena tersebut merupakan eksitensi kesenian tradisional yang terkandung nilai-nilai kehidupan tradisi, pandangan hidup, rasa etis dan estetis, serta ungkapan budaya lingkungannya. Hasil kesenian tradisional biasanya diterima sebagai tradisi pewarisan yang dilimpahkan dari angkatan tua kepada angkatan yang muda. Pada dasarnya kesenian tarawangsa memiliki hubungan timbal balik dengan kebutuhan masyarakt rancakalong, apabila kesenian diciptakan memberikan manfaat bagi kehidupan manusia maka tercapailah esensi yang sesungguhnya. Tetapi apabila tidak memberikan apa–apa bagi kehidupan manusia, maka keberadaan kesenian tidak bermanfaat, karena tidak dapat menentramkan batin, kehalusan budi yang menghayatinya.
[1] Identitas adalah tanda dari kepribadian yang tidak dimiliki oleh siapa pun, kepribadian sendiri adalah jumlah seluruh watak sosial seseorang dan kualitas yang memancar dari pribadinya yang merupakan eksistensi kepribadian .
Identitas Budaya yang Tercermin Pada Masyarakat Rancakalong
oleh
Aji Permana Sudjamza, S. Sn
Kebudayaan dapat diartikan peradaban yang mengandung pengertian luas, meliputi pemahaman perasaan suatu bangsa yang kompleks. E.B. Taylor (dalam Ilmu Budaya Dasar, 1998:10) mengemukakan kebudayaan meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat (kebiasaan), dan pembawaan lainnya yang diperoleh dari anggota masyarakat.
Para ahli banyak memperbincangkan mengenai definisi kebudayaan dan melahirkan beratus-ratus definisi yang berkenaan dengan kebudayaan. Salah satunya adalah pengertian kebudayaan menurut R Linton dalam bukunya The Cultural Background Of Personality (Harsojo, 1988:92) disebutkan, kebudayaan adalah konfigurasi tingkah laku yang dipelajari dari hasil tingkah laku, yang unsur pembentukannya didukung dan diteruskan oleh anggota masyarakat tertentu.
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kebudayaan adalah hasil budi daya manusia, sehingga kebudayaan dapat dipelajari. Tingkah laku yang dimaksud adalah tingkah laku simbolis manusia yang senantiasa hadir dalam kehidupan. Tingkah laku tersebut tidak bersifat naluri, misalnya cara berjalan, cara makan, minum, dsb., hal tersebut merupakan kebutuhan manusia yang alamiah. Apabila cara berjalan tersebut seperti prajurit atau peragawati yang memerlukan proses belajar, merupakan hasil dari kebudayaan.
Manusia selalu mengungkapkan keberadaannya dengan berbagai cara dalam kehidupan sosialnya. Pengertian kebudayaan dapat pula disebut sebagai “tradisi” yang diartikan sebagai pewarisan atau penurunan norma-norma, adat-istiadat, benda-benda, dan kaidah-kaidah. Tetapi bukan berarti tradisi tidak dapat diubah, justru tradisi dipadukan dengan perbuatan manusia yang lebih bersifat dinamis.
Setiap masyarakat di dunia memiliki kebudayaan yang sesuai dengan karakter dan identitas[1] (Achmad Sadali dalam agus Sachari, 2002:47)yang tidak dapat lepas dari ungkapan budayanya. Hal tersebut tercermin dari konsepsi-konsepsi pemikiran manusia (sistem budaya) dalam menuangkan gagasan untuk memenuhi kebutuhannya yang diimplementasikan dalam aktivitas manusia yang saling berinteraksi dan menghasilkan suatu wujud. Malinownski menyebutkan, kebudayaan di dunia memiliki tujuh unsur, yakni bahasa, sistem teknologi, sistem mata pencaharian, organisasi sosial, religi, dan kesenian. Setiap peradaban masyarakat di dunia memiliki tujuh unsur tersebut dengan kebiasaan, cara, dan penyesuaian terhadap budaya lingkungannya.
Apabila konsep kebudayaan tersebut diterapkan dalam kebudayaan Indonesia, tentunya akan menghasilkan berbagai macam ungkapan budaya dari setiap subkultur Indonesia. Jawa Barat misalnya, terdapat berbagai ungkapan budaya yang sesuai dengan identitas kedaerahannya. Penduduk asli Jawa Barat biasa disebut orang Sunda yang merupakan pembawaan kedaerannya memiliki berbagai adat dan kebiasaan dalam menjalani kehidupannya. Dapat dikatakan kebudayaan Sunda merupakan segenap tindakan dan aktivitas yang mengacu pada olah pikir masyarakatnya, di antaranya mengenai kesenian, ilmu pengetahuan, adat sopan-santun pergaulan, kepandaian menulis, organisasi kenegaraan, dan sebagainya.
Kesenian misalnya, salah satu unsur dari kebudayaan universal yang tercermin dalam kebudayaan Sunda merupakan local genius yang mencerminkan kepribadiannya. Banyak sekali kesenian orang Sunda yang merupakan warisan leluhurnya masih melekat pada hati masyarakat pendukungnya, dalam hal ini orang Sunda atau masyarakat Sunda yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur budayanya. Misalnya, kesenian pantun, beluk, tarawangsa, rengkong, tembang sunda cianjuran, dll., merupakan identitas budaya yang merupakan pengungkapan estetis dari pola pikir masyarakatnya.
Di masyarakat Rancakalong Kabupaten Sumedang terdapat kebiasaan masyarakat yang turun temurun dilakukan sampai saat ini. Tradisi tersebut adalah upacara ngalaksa yang selalu dilakukan setelah panen padi. Upacara tersebut melibatkan seluruh lapisan masyarakat Rancakalong atas keberkahan hasil panen padi dari Yang maha Kuasa. Dalam upacara tersebut digelar kesenian tarawangsa sebagai presentasi estetis dan sebagai medium untuk mengundang ruh leluhur ke alam manusia.
Fenomena tersebut merupakan hasil akal manusia untuk melakukan penghormatan terhadap Tuhan, sekaligus sebagai ungkapan budayanya. Tentunya kebiasaan tersebut dilakukan melalui proses belajar yang dilakukan secara lisan terhadap generasi penerusnya. Tulisan ini membahas seputar kesenian tarawangsa dalam upacara ngalaksa yang merupakan hasil dari kebudayaan yang tercermin dalam identitas budayanya.
Kesenian Tarawangsa
Di daerah Sunda terdapat alat musik gesek yang telah tua keberadaannya, yaitu tarawangsa. Tarawangsa lebih tua keberadaannya daripada rebab, alat gesek yang lain. Naskah kuna Sewaka Darma dari awal abad ke-18 (atau sebelum abad ke-15) telah menyebut nama tarawangsa sebagai nama alat musik. Rebab muncul di tanah Jawa setelah zaman Islam sekitar abad ke-15-16, merupakan adaptasi dari alat gesek bangsa Arab yang dibawa oleh kaum penyebar Islam dari tanah Arab dan India. Setelah kemunculan rebab, tarawangsa biasa pula disebut dengan nama rebab jangkung (rebab tinggi), karena ukuran tarawangsa umumnya lebih tinggi daripada rebab.
Tarawangsa merupakan salah satu jenis kesenian rakyat yang ada di Jawa Barat. Istilah tarawangsa memiliki dua pengertian: Pertama; sebagai alat musik gesek yang memiliki dua dawai yang terbuat dari kawat baja atau besi; kedua, merupakan nama dari salah satu jenis musik tradisional Sunda. Sebagai alat musik gesek, tarawangsa tentu saja dimainkan dengan cara digesek. Akan tetapi yang digesek hanya satu dawai, yakni dawai yang paling dekat kepada pemain; sementara dawai yang satunya lagi dimainkan dengan cara dipetik dengan jari telunjuk tangan kiri. Kedua; sebagai nama salah satu jenis musik, tarawangsa merupakan sebuah ensambel kecil yang terdiri dari sebuah tarawangsa dan sebuah alat petik tujuh dawai yang menyerupai kacapi, yang disebut Jentreng.
Kesenian tarawangsa hanya dapat ditemukan di beberapa daerah tertentu di Jawa Barat, yaitu di daerah Rancakalong (Sumedang), Cibalong, Cipatujah (Tasikmalaya Selatan), Banjaran (Bandung), dan Kanekes (Banten Selatan). Tarawangsa di daerah Cibalong dan Cipatujah, selain digunakan dua jenis alat tersebut di atas, juga dilengkapi dengan dua perangkat calung rantay, suling, juga nyanyian. Alat musik tarawangsa dimainkan dalam laras pelog, sesuai dengan jentrengnya yang distem ke dalam laras pelog
Upacara Ngalaksa
Rancakalong merupakan sebuah desa sekaligus Kota Kecamatan Rancakalong Kab. Sumedang. Sebagian besar penduduknya, sejak masa silam hingga kini, mengandalkan hidup dari bersawah dan bercocok tanam. Karena itu pula, kultur masyarakat daerah ini seakan tetap menyatu dengan alam sekitar. Sistem nilai, tradisi, dan seni budaya, masih cukup melekat di sana.
Di daerah itu masih cukup banyak kebiasaan dari para leluhur, dipertahankan menjadi semacam adat atau tradisi. Selain dapat dilihat dari banyaknya even kesenian dan tradisi yang kini menjadi agenda pariwisata, seperti upacara adat ngalaksa dan rayagungan, beberapa jenis kesenian tradisional masih tetap mewarnai kehidupan warga di sana. Bahkan, desa ini pula memiliki kawasan desa wisata sebagai miniatur kebudayaan masyarakat sekitar, sekaligus sentralisasi budaya setempat untuk dipragmentasikan kepada masyarakat.
Meski kemasannya berbeda, upacara rayagungan dan ngalaksa yang rutin digelar setiap tahun, memiliki makna dan tujuan yang sama, yaitu sebagai pendorong motivasi dan rasa syukur atas hasil panen yang diperoleh masyarakat di sana. Hanya saja, bila tradisi rayagungan yang upacara ritualnya lebih menonjolkan figur para pendekar dan paranormal dan baru digelar ke tiga kali, sedangkan upacara adat ngalaksa sudah ada sejak masih zaman penjajahan Belanda.
Upacara ngalaksa, merupakan upacara ritual sebagai wujud rasa syukur kepada yang Maha Kuasa atas hasil panen yang sudah dilimpahkan kepada masyarakat setempat. Dalam upacara ngalaksa ini, selalu diwarnai berbagai simbol, seperti kesenian rengkong yang berarti mapag ibu pare (padi sunda), kemudian sawen mencerminkan panen, serta jentreng tarawangsa yang artinya ngamumule dimana padi sudah dibawa ke rumah. Ada pula beberapa ikatan kayu bakar yang dipikul untuk pelaksanaan ngalaksa atau mememasak nasi.
Prosesi utama ngalaksa bukan hanya unjuk kekuatan fisik. Prosesi inti justru terjadi di dalam ruangan saat suara mistis jentra Tarawangsa mulai mengalun. Tarawangsa adalah prosesi yang lebih bersifat batiniah. Tarawangsa mengandung arti menerawang pada yang Esa. Melalui Tarawangsa, para penari diajak menyatukan diri hingga dalam kondisi hening dan terbawa alam transedental. Asap dupa yang mengepul semakin tebal, seolah roh-roh gaib datang untuk menyatu dalam kekhidmatan mistis suara rebab dan jentreng atau kecapi. Konon itulah yang dalam konsep religi kuno Sumedang disebut proses penyatuan antara dunia gaib dangan jagat batin manusia.
Orisinalitas dan Identitas
kesenian yang dimiliki merupakan orisinalitas pemilik kesenian tersebut, di mana tertuang nilai estetik sebagai suatu wujud karya budaya. Orisinalitas dibentuk oleh pandangan-pandangan budaya yang dimiliki oleh suatu bangsa. Akhirnya, timbulah identitas yang secara harfiah merupakan ciri khas kedaerahan yang tidak dimiliki oleh suku bangsa manapun atau merupakan tanda pribadi yang sangat pribadi dan tidak dimiliki oleh bangsa manapun.
Kesenian tarawangsa yang digunakan dalam upacara ngalaksa merupakan wujud budaya yang mencerminkan ciri kedaerahannya. Hal tersebut dapat teridentifikasi dari organisasi sosial dan religi masyarakat Rancakalong. Kebiasaan-kebiasaan dalam upacara ngalaksa, seperti menyiapkan sesajen yang terdiri dari aneka makanan dan buah merupakan suatu kebiasaan masyarakat zaman dahulu yang masih terpengaruh oleh keyakinan masyarakat Sunda lama. Selain itu, pencerminan jati diri tersirat dalam masyarakat Rancakalong yang bergotong royong atau bekarjasama untuk mencapai satu tujuan yang sama, yakni untuk mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan hidup.
Keanekaragaman jenis seni budaya yang di miliki Jawa Barat menjadi suatu kebanggaan, bahwa kebudayaan daerahan dapat memperkaya bangsa , bangsa yang besar adalah bangsa yang kaya akan seni budaya yang dimilikinya. kiranya, harus disadari pentingnya pembinaan, pengembangan, dan pelestarian agar keberadaannya tidak hilang dan menjadi identitas bangsa, sekaligus membawa nama daerahnya yang harus dimiliki dan dihargai oleh masyarakatnya.
Penutup
Fenomena tersebut merupakan eksitensi kesenian tradisional yang terkandung nilai-nilai kehidupan tradisi, pandangan hidup, rasa etis dan estetis, serta ungkapan budaya lingkungannya. Hasil kesenian tradisional biasanya diterima sebagai tradisi pewarisan yang dilimpahkan dari angkatan tua kepada angkatan yang muda. Pada dasarnya kesenian tarawangsa memiliki hubungan timbal balik dengan kebutuhan masyarakt rancakalong, apabila kesenian diciptakan memberikan manfaat bagi kehidupan manusia maka tercapailah esensi yang sesungguhnya. Tetapi apabila tidak memberikan apa–apa bagi kehidupan manusia, maka keberadaan kesenian tidak bermanfaat, karena tidak dapat menentramkan batin, kehalusan budi yang menghayatinya.
[1] Identitas adalah tanda dari kepribadian yang tidak dimiliki oleh siapa pun, kepribadian sendiri adalah jumlah seluruh watak sosial seseorang dan kualitas yang memancar dari pribadinya yang merupakan eksistensi kepribadian .
Tafsir Naskah
"Dag Dig Dug" Karya Putu Wijaya
Oleh
Dina Tri Indiani Yusrina, S. Sn
2.1. Anatomi Naskah
2.1.1. Latar Belakang Naskah
Naskah Dag-Dig-Dug dibuat pada tahun 1973, tepatnya tanggal 27 Oktober. Naskah ini ditulis ketika Putu tinggal dalam masyarakat komunal Ittoen, Yamashina, Kyoto Jepang. Apa yang dituliskan Putu dalam naskah tersebut, terinspirasi dari pengalaman- pengalaman yang ia alami selama 7 bulan menghadapi kehidupan di Ittoen.
Ittoen merupakan sebuah tempat di lereng bukit. Waktu itu hanya beranggotakan 400 orang dan mereka berpakaian hitam-hitam. Ketika Putu datang, masyarakat tersebut sudah merupakan masyarakat generasi kedua atau ketiga. Bagi masyarakat Ittoen, hidup adalah bekerja. Bekerja sama dengan beribadah. Mereka mengatakan diri mereka Budha. Tetapi mereka juga terpengaruh ajaran Gandhi. Mereka, bagi Putu tidak jauh berbeda dengan masyarakat Soeboed, masyarakat kebatinan.
Sebenarnya yang praktis tinggal disana orang tua saja, karena orang muda tidak suka dan tidak betah karena harus bekerja terus dan ritual mereka adalah bekerja. Mereka punya rombongan drama bernama Swaraj yang berkeliling menghibur orang tua dan anak-anak. Setiap pemainnya selalu punya kantong yang berisi palu dan peralatan lainnya. Setelah main, mereka ke belakang untuk menata panggung, bekerja lagi, main lagi.
Di Ittoen segalanya diurus oleh komune. Setiap hari Putu bangun pagi, bekerja, ibadah, makan bersama dan tidur teratur. Sewaktu-waktu Putu dan rombongan masyarakat turun ke dusun Yamashina untuk sukarela membersihkan WC orang. Disana tidak diperbolehkan merokok, hidup harus sederhana, emosi dikekang, orang harus taat, tidak boleh bertanya, perintah harus dijalankan. Bagi mereka semua, pertanyaan sudah dijawab oleh almarhum pemimpin mereka, kini tinggal menjalankan saja.
Sebenarnya Putu ke Jepang untuk mempelajari Kabuki. Salah satu kesenian tradisional khas Jepang. Tetapi ternyata ia diberikan mandat untuk tinggal di Ittoen. Sebulan Putu bekerja di ladang. Kemudian empat bulan dia mengikuti rombongan sandiwara Swaraj pentas berkeliling Jepang. Rutinitasnya adalah naik truk, setiap malam memasang dekor dan melakukan kegiatan teater yang sifatnya fisikal. Putu dilatih secara fisik dan ia merasa tidak mendapat apa-apa dari latihan itu.
Mereka sendiri sebenarnya tidak kuat menjauhi hawa nafsu dan mematikan emosi. Semuanya hanya ada dalam dunia idea. Dari sana Putu kemudian menulis naskah drama Anu dan Dag-Dig-Dug serta sebuah novel yang kemudian ia beri judul “Lho”. Sekembalinya ke tanah air, naskah-naskah itu dirampungkannya
Masyarakat Ittoen adalah penganut sistem kepercayaan yang ada. Ia sedikit menyindir fanatisme masyarakat Ittoen dalam naskahnya. Mereka melepaskan hal-hal yang bersifat keduniawian dan merasa sangat yakin akan kepastian akhirat. Sementara mereka sendiri secara batin tidak menerima dan merasa tersiksa dengan sikap mereka yang dibebani berbagai aturan-aturan kepercayaan yang mereka anut.
Dalam naskah Dag-Dig-Dug, melalui tokoh Suami dan Istri, Putu hendak mengungkapkan fenomena yang terjadi. Tokoh Suami dan Istri bersusah payah mengumpulkan uang hanya untuk membuat prasasti kematian mereka melalui sebuah nisan yang terbuat dari marmer, menginginkan kemewahan dalam tidur panjangnya, sementara mereka tidak pernah tahu kapan kematian akan datang.
2.1.2. Gagasan Zaman
Gagasan zaman yang terkandung dalam naskah Dag-Dig-Dug mendapat pengaruh eksistensialisme. Kehidupan masyarakat Ittoen yang menunjukkan eksistensi mereka dalam bentuk kehidupan spiritual menjadi inspirasi Putu. Bahan-bahan penguburan yang dihadirkan, keinginan untuk mati tokoh utamnya, adalah sebuah simbol bahwa kehidupan yang tokoh utamanya jalani akan kembali pada sebuah titik, yaitu kematian.
2.1.3. Analisa Plot
Plot atau alur cerita merupakan rangkaian peristiwa yang satu sama lain dihubungkan oleh hukum kausalitas (sebab akibat). Peristiwa demi peristiwa saling mengikat, sehingga membangun kausalitas yang tidak dapat dipisahkan, di mana peristiwa pertama menyebabkan terjadinya peristiwa kedua, peristiwa kedua menyebabkan peristiwa ketiga, dan demikian selanjutnya.
Disamping itu, plot selain mengemban fungsi untuk mengungkapkan buah pikiran pengarang dan menarik serta memelihara perhatian pembaca atau penonton, juga mengungkapkan dan mengembangkan watak tokoh-tokoh cerita (Jakob Sumardjo & Saini KM, 1991: 139,144).
a. Uraian Plot
Di sebuah rumah hiduplah sepasang suami-istri bersama seorang pembantunya yang bernama Cokro. Suatu hari sepasang suami-istri itu mendapat kabar bahwa seseorang yang bernama Chairul Umam telah meninggal karena kecelakaan tertabrak motor. Mereka menerima kabar tersebut melalui sepucuk surat, bahwa akan ada utusan yang akan menjelaskan hal tentang kematian Chairul Umam lebih lanjut.
Pagi hari tepat pada waktu yang telah dijanjikan, mereka menunggu. Beberapa saat kemudian datanglah dua orang tamu yang dinantikan. Tamu itu kemudian menceritakan tentang peristiwa yang menimpa Chairul Umam. Setelah berbicara panjang lebar, mereka menyerahkan amplop yang berisi uang asuransi jiwa kecelakaan lalu lintas. Setelah itu kedua tamu itu pun pergi.
Mereka sendiri sebenarnya tidak kenal pada Chairul Umam. Mereka telah berusaha mengingatnya tapi tetap tidak mengenali siapa Chairul Umam yang dimaksud. Setelah dibuka dan dihitung, ternyata uang itu kurang. Keesokan harinya, setelah menimbang-nimbang, akhirnya mereka memutuskan untuk mengembalikan uang tersebut melalui pos yang sebelumnya menambahkan kekurangan uang tersebut dari gaji pensiunan mereka. Alasan pengembaliannya adalah karena pada dasarnya mereka tidak mengenal siapa Chairul Umam.
Hari demi hari, usia mereka pun bertambah tua. Mereka berhasil mengumpulkan uang untuk persiapan penguburan mereka. Istri menginginkan uang simpanan mereka dibagi untuk dibungakan, tetapi tidak disetujui Suami. Mereka pun berdebat. Uang dibagi tetapi pertengkaran berlanjut mengenai siapa yang akan mengerjakan persiapan kematian mereka.
Setelah terjadi diskusi dan perdebatan, akhirnya mereka sepakat untuk mempercayakan pengerjaan persiapan penguburan mereka pada Ibrahim, dan beberapa material bangunan untuk penguburan pun dibeli.
Setelah membeli bahan-bahan bangunan, keinginan suami bertambah. Ia ingin membeli peti mati agar lengkap bahan-bahan penguburan mereka. Istri menolak keras keinginan Suami, dan seperti biasa mereka kembali cekcok. Selang beberapa hari, dua buah peti mati telah siap diruang tamu disamping beberapa marmer yang ditutupi kain.
Mereka kemudian memanggil Tobing, mantan anak kos mereka yang telah berkeluarga. Mereka bermaksud menjual rumah itu pada Tobing dengan sistem kredit tak terikat waktu. Yang jelas kredit tersebut harus sudah dilunasi ketika mereka meninggal.
Namun sampai cicilan rumah itu lunas, suami-istri itu tak kunjung menemui ajalnya. Ibrahim yang dipercayakan mengurus proses pemakaman mereka juga tidak sabar lagi, padahal kedua suami-istri itu sudah sakit-sakitan dan ingin sekali mati.
Suatu malam Suami dalam keadaan sekarat, dan keadaan menjadi tegang. Cokro berdoa mengatasi suasana, sementara Istri terisak-isak disamping peti mati. Suami meminta maaf pada Cokro dan Istrinya. Ia juga berpesan bahwa ia telah menulis surat wasiat yang ia simpan dibawah kasur, tapi ia batal menemui ajalnya. Keesokan harinya keadaan menjadi normal kembali.
Cokro yang sudah tidak tahan mendapat tekanan selama tinggal di rumah itu, suatu waktu dituduh telah membaca surat wasiat milik Suami. Cokro dianggap sebagai pencuri. Dalam kemarahannya Suami mengusir Cokro, tetapi Cokro melawan dan tidak menurutinya. Karena kemarahannya, akhirnya penyakit kedua orang tua itu kambuh dan bertambah parah, sehingga suatu ketika mereka tidak kuasa lagi untuk bangkit. Cokro membantu memasukkan mereka ke dalam peti mati, walaupun ia telah disakiti. Setelah mengucap doa, peti ditutup olehnya. Detak jantung Cokro Dag-dug-dag-dug. Demikian plot naskah Dag-Dig-Dug.
b. Sifat Plot
Sifat plot dalam naskah Dag-Dig-Dug adalah linear plot. dimana suatu kejadian dan konflik tersusun secara berurutan seperti bentangan garis dari A sampai Z. Dimana penonton hanya mendapat pikiran-pikiran berdasarkan percakapan tokoh-tokohnya dari awal sampai akhir.
c. Jenis plot
Jika melihat dari alur ceritanya, jenis plot dalam naskah Dag-Dig-Dug termasuk kedalam plot longgar. Karena dari beberapa peristiwa, terdapat peristiwa yang tidak penting dan tidak mempengaruhi peristiwa lainnya. Sehingga apabila dihilangkan tidak mempengaruhi makna ceritanya.
Plot longgar ialah plot yang yang terbentuk karena adanya sejumlah peristiwa, baik yang penting kedudukannya maupun yang kurang penting. Umpanya sebuah peristiwa yang dianggap kurang penting dalam lakon itu dilepaskan, maka makna dari lakon itu kemungkinan besar tidak akan berkurang.[5]
2.1.4. Struktur Dramatik
Struktur adalah suatu kesatuan dan bagian-bagian yang kalau satu diantara bagian diubah atau dirusak, akan berubah atau rusaklah seluruh struktur itu. Di dalam cerita-cerita konvensional, struktur dramatik yang dipergunakan adalah struktur dramatik Aristoteles (1991:142).
Secara struktural naskah ini dapat disebut sebagai naskah konvensional, karena struktur dramatiknya disajikan secara Aristotelian, dimana peristiwa demi peristiwa dari awal hingga akhir tertata apik satu dengan lainnya yang selalu berkaitan. Fungsinya untuk mengungkap pikiran pengarang dan lebih melibatkan pikiran, perasaan penonton dalam cerita tersebut. Struktur dramatik Aristotelian terdiri dari :
a. Eksposisi
Eksposisi adalah bagian awal atau pembukaan dari suatu karya sastra drama. Sesuai dengan kedudukannya, eksposisi berfungsi sebagai pembuka yang memberikan penjelasan atau keterangan mengenai berbagai hal yang diperlukan untuk dapat memahami peristiwa-peristiwa berikutnya dalam cerita. Keterangan-keterangan itu dapat mengenai tokoh-tokoh cerita, masalah yang timbul, tempat dan waktu ketika cerita terjadi dan sebagainya (1991: 143).
Eksposisi dimulai pada babak I ketika terjadi diskusi antara Suami dan Istri tentang siapa Chairul Umam yang disebutkan dalam surat. Mereka berusaha mengingat tetapi selalu gagal. Tamu datang dan menjelaskan peristiwa yang menimpa Chairul Umam.
b. Rising Action
Dimulai ketika mereka menerima tamu yang mengabarkan tentang kematian Chairul Umam, yang sekaligus memberikan uang asuransi. Peristiwa ini membuat masalah berkembang, dimana konflik-konflik kecil mulai bermunculan. Mereka mengalami kebimbangan antara dikembalikan atau tidaknya uang tersebut.
Rising action semakin menanjak ketika diketahui kalau jumlah uang yang diterima itu ternyata kurang. Karena rasa takut dan kebingungan tentang siapa Chairul Umam menghantui mereka, akhirnya uang tersebut diputuskan untuk dikembalikan dengan menambahkan kekurangannya dari gaji pensiunan mereka.
c. Komplikasi
Komplikasi atau penggawatan merupakan lanjutan dari eksposisi dan peningkatan daripadanya. Di dalam bagian ini, salah seorang tokoh cerita mulai mengambil prakarsa untuk mencapai tujuan tertentu. Akan tetapi hasil dari prakarsa itu tidak pasti. Dengan demikian timbullah kegawatan (1991:143).
Kegawatan ini saling bertubrukan dengan tokoh lainnya setelah masing-masing tokoh menceritakan jati dirinya, sehingga peta konflik antar tokoh semakin tergambar dengan jelas.
Komplikasi dimulai ketika sang suami berniat mempersiapkan segala sesuatunya untuk kematian dan penguburan mereka nanti, sedangkan istri berkehendak lain, yakni agar uang dibungakan terlehih dahulu. Kemudian barulah ditentukan tukang, tetapi hal ini justru semakin memperuncing masalah, karena kedua-duanya memiliki kriteria yang berbeda. Berbagai pertentangan dan perdebatan terjadi antara Suami dan Isteri karena masing-masing ingin memperlihatkan eksistensi ke-aku-annya.
d. Klimaks
Komplikasi disusul klimaks yang merupakan tahapan peristiwa dramatik. Dalam bagian ini pihak-pihak yang berlawanan atau bertentangan, berhadapan untuk melakukan perhitungan terakhir yang menentukan. Didalam bentrokan itu nasib para tokoh cerita ditentukan (1991:143).
Klimaks dimulai ketika Suami mengetahui dari istrinya bahwa buku wasiatnya telah dibaca orang dan menuduh Cokro sebagai pelakunya. Hingga suatu ketika, kemarahan Cokro tidak terbendung lagi. Terjadilah keributan besar antara Cokro dan sepasang suami-istri tersebut yang tidak menghasilkan solusi.
Selain konflik secara fisik, sebenarnya terjadi juga konflik batin dan pikiran mereka masing-masing dengan dirinya yang tidak bisa dipecahkan. Secara individu akhirnya mereka pasrah dan menerima kekalahannya sebagai manusia yang lemah, dan kembali pada sebuah lingkaran kesunyian.
e. Resolusi
Resolusi menyusul klimaks. Dalam bagian ini semua masalah yang ditimbulkan oleh prakarsa tokoh atau tokoh-tokohnya terpecahkan.
Resolusi ditandai dengan berakhirnya pertengkaran tersebut. Kemudian kedua orang tua itu masuk kedalam peti mati, masing-masing bermaksud akan tidur. Suami ketakutan dan membangunkan istrinya tetapi tidak dihiraukan. Suami seakan-akan mengalami keadaan sekarat dan sang istri tetap tidak peduli. Suami memanggil Cokro, dan kemudian Cokro datang membaringkan Suami dengan tenang, menutup peti matinya dan membacakan doa.
Disini eksistensi masing-masing individu yang ambisius sudah mulai terlihat keasliannya. Peristiwa sudah tergambar, tentang apa, siapa, dan bagaimana.
f. Konklusi
Konklusi adalah bagian terakhir sebuah cerita. Dalam bagian ini nasib tokoh-tokoh cerita sudah pasti. (1991 : 144)
Konklusi dalam naskah ini tidak tertulis secara langsung dalam dialog. Kematian adalah sebuah rahasia yang hanya menjadi milik Sang Pencipta. Kita tidak pernah tahu kapan kematian akan menjemput. Manusia tetap terpenjara dalam sangkar kesunyian, kesepian, dan kesendirian dalam hidup. Putu menyerahkan akhir cerita pada penggarap naskahnya. Dengan kata “Dan Seterusnya” pada akhir naskahnya.
2.1.5. Tipe Lakon
Tipe lakon atau disebut genre lakon, jenis lakon atau bentuk lakon. Naskah Dag-Dig-Dug ini adalah berbentuk tragedi komedi, atau yang kita kenal dengan tragic comedi.
Tragedi komedi yaitu bentuk lakon yang dibawakan oleh tokoh-tokoh yang konyol (mengundang tertawaan), tetapi yang bertema tragis dimana akhirnya menyedihkan ( Yoyo&Willy, 1985:37).
Dalam naskah ini, tokoh sentralnya dihadapkan pada permasalahan yang mereka sendiri tidak tahu kebenarannya. Mereka, terutama tokoh Istri sangat mudah mempercayai kabar yang belum jelas yang akhirnya justru merugikan mereka sendiri. Sementara pada orang yang mereka kenal, mereka selalu menaruh kecurigaan yang besar.
Sikap Suami dan Istri menunjukkan kekonyolannya ketika mereka telah mempersiapkan segala keperluan pemakaman. Bahkan sempat sang suami merasa ajalnya sudah datang ketika penyakitnya kumat. Tetapi tidak jadi mati dan malah keadaan fisiknya kembali ke keadaan normal.
Perilaku yang ditunjukkan tokoh Suami dan Istri tadi sangat komedi sekali. Memang bukan komedi rendah yang menimbulkan gelak tawa karena tingkah laku tokohnya yang mengundang kelucuan secara fisik. Tetapi lebih merupakan komedi satir yang mentertawakan tingkah laku kejiwaan seseorang yang secara psikologi mengalami ketidaklaziman atau dengan kata lain mengalami cacat tragis yang disebabkan kurangnya kebijaksanaan dalam menjalani kenyataan, sehingga menimbulkan pola watak absurd.
2.1.6. Model Penokohan
Round character adalah model yang penulis anggap tepat untuk diterapkan pada lakon ini berlandaskan pada konvensi naskah dan pembawaannya yang mengacu pada realisme, yakni mengkarakterisasi tokoh secara sempurna sebagaimana adanya manusia.
Yang dimaksud tokoh yang berbentuk round atau bulat adalah tokoh yang diberikan karakter oleh pengarang secara kompleks dan tidak hanya hitam putih saja. Kebanyakan tokoh-tokoh yang berbentuk round ini terdapat dalam lakon-lakon yang sifatnya realistis (Yoyo&Willy, 1985 : 26-27).
Dengan demikian, aktor memiliki keleluasaan dalam mengembangkan peran yang dimainkannya, namun tetap dalam batas sebuah konvensi pemeranan realisme.
2.2. Potensi Naskah
2.2.1. Kelebihan Naskah
Naskah ini adalah naskah pemenang pertama dalam sayembara naskah lakon yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta yang ke III pada tahun 1974. Sudah barang tentu kualitas naskahnya tidak perlu diragukan lagi.
Ceritanya sangat unik untuk sebuah naskah realis. Memang hanya menceritakan pertentangan antara suami-istri dan orang lain disekitar mereka (Cokro dan Ibrahim) karena kepikunan dan sifat ngeyel yang mereka punya. Tetapi makna yang terkandung didalam dialog-dialognya begitu dalam. Sindiran atau pesan tersembunyi dalam dialog tokoh-tokohnya, sangat cerdas. Bahasa yang digunakan merupakan bahasa keseharian yang logis, sehingga memudahkan dalam pemahaman dialognya.
Dalam naskah ini, pengarangnya memberikan kekuasaan penuh untuk mencoba karakter tokoh didalamnya, tanpa membatasinya dengan gambaran fisiologis. Karena Putu menyembunyikan identitas fisik tokoh-tokohnya. Dalam cover depan naskahnya pun Putu menuliskan: “PARA PEMAIN YANG MEMBAWAKAN NASKAH INI DAPAT SALING BERTUKAR PERAN DARI BABAK KE BABAK TANPA MENYEMBUNYIKAN IDENTITASNYA”. Demikian juga dengan akhir ceritanya, Putu menyerahkan nasib tokoh didalamnya kepada penggarap naskahnya. kita bebas membawakannya sesuai keinginan kita. Tidak ada nama, tidak ada tempat, tidak ada waktu dan tidak ada kata selesai. Karena itu pada setiap naskah Putu selalu membubuhkan kata : “Dan Seterusnya”.
2.2.2. Kekurangan Naskah
Kekurangan dari naskah ini adalah, tidak digambarkan dengan jelas tentang fisiologis tokoh. Sebenarnya tidak dapat juga dikatakan sebuah kekurangan. Banyak pengarang drama yang sengaja tidak menjelaskan gambaran fisik tokohnya. Hal ini kemungkinan dimaksudkan untuk membebaskan interpretasi aktor yang akan memerankannya. Masuk akal memang, karena pembatasan terhadap peran sama juga membunuh kreativitas.
Akhir cerita dan nasib tokoh sentralnya pun diserahkan sepenuhnya kepada penggarap. Dan ini menjadi gaya khas Putu Wijaya dalam setiap karya-karyanya.[6] Selain itu, naskah dan cerita hanya dititik beratkan pada satu wilayah kultur saja, yaitu kultur Jawa. Padahal, bila dilihat pokok permasalahannya, tentang kesunyian, kesendirian, kejenuhan, amarah, emosi, bahagia dan derita dalam hidup. Semua orang juga mengalami hal tersebut. Tetapi apabila identitasnya secara umum, ada kemungkinan setiap penggarapan menjadi baru sesuai dengan zamannya. Bila dilihat, pemikiran-pemikiran semacam ini, yakni tentang keinginan untuk segera mati, justru lebih merebak di zaman sekarang karena frustasi oleh berbagai keadaan hidup, ekonomi, politik, pendidikan, budaya, dll.
2.2.3. Reformulasi Naskah
Naskah Dag-Dig-Dug adalah naskah yang panjang yang apabila dipentaskan akan memakan waktu yang lama. Permasalahan durasi ini menjadi hal yang harus dipikirkan. Jalan yang penulis tempuh dalam mempersingkat pertunjukkan salah satunya dengan mengurangi waktu tampil. Untuk itu penulis mengedit naskahnya kembali, dengan membuang beberapa dialog untuk mengejar durasi waktu yang dipadatkan, tanpa bermaksud menghilangkan esensi dari naskah tersebut.
2.3. Aksentuasi Garap
Dalam membawakan naskah ini, laku aktingnya dibawakan secara realis walaupun bentuk naskahnya surealis. Penulis tidak membuat scenery secara keseluruhan realis, karena yang menajadi absurd hanya pada pola pikir pemainnya saja. Pada beberapa bagian tertentu hanya dibuat simbol-simbol saja. Seperti tidak dihadirkannya pintu dan jendela. Sehingga imajinasi aktor pun dituntut lebih kreatif menyikapi kondisi ini.
[5] Yoyo C. Durachman dan Willy F. Sembung, Pengetahuan Teater. Proyek Pengembangan Institut Kesenian Indonesia Sub Proyek Akademi Seni Tari Indonesia 1985/1986, hal 29.
[6] Lihat kecenderungan pengarang hal 8-9 !.
Oleh
Dina Tri Indiani Yusrina, S. Sn
2.1. Anatomi Naskah
2.1.1. Latar Belakang Naskah
Naskah Dag-Dig-Dug dibuat pada tahun 1973, tepatnya tanggal 27 Oktober. Naskah ini ditulis ketika Putu tinggal dalam masyarakat komunal Ittoen, Yamashina, Kyoto Jepang. Apa yang dituliskan Putu dalam naskah tersebut, terinspirasi dari pengalaman- pengalaman yang ia alami selama 7 bulan menghadapi kehidupan di Ittoen.
Ittoen merupakan sebuah tempat di lereng bukit. Waktu itu hanya beranggotakan 400 orang dan mereka berpakaian hitam-hitam. Ketika Putu datang, masyarakat tersebut sudah merupakan masyarakat generasi kedua atau ketiga. Bagi masyarakat Ittoen, hidup adalah bekerja. Bekerja sama dengan beribadah. Mereka mengatakan diri mereka Budha. Tetapi mereka juga terpengaruh ajaran Gandhi. Mereka, bagi Putu tidak jauh berbeda dengan masyarakat Soeboed, masyarakat kebatinan.
Sebenarnya yang praktis tinggal disana orang tua saja, karena orang muda tidak suka dan tidak betah karena harus bekerja terus dan ritual mereka adalah bekerja. Mereka punya rombongan drama bernama Swaraj yang berkeliling menghibur orang tua dan anak-anak. Setiap pemainnya selalu punya kantong yang berisi palu dan peralatan lainnya. Setelah main, mereka ke belakang untuk menata panggung, bekerja lagi, main lagi.
Di Ittoen segalanya diurus oleh komune. Setiap hari Putu bangun pagi, bekerja, ibadah, makan bersama dan tidur teratur. Sewaktu-waktu Putu dan rombongan masyarakat turun ke dusun Yamashina untuk sukarela membersihkan WC orang. Disana tidak diperbolehkan merokok, hidup harus sederhana, emosi dikekang, orang harus taat, tidak boleh bertanya, perintah harus dijalankan. Bagi mereka semua, pertanyaan sudah dijawab oleh almarhum pemimpin mereka, kini tinggal menjalankan saja.
Sebenarnya Putu ke Jepang untuk mempelajari Kabuki. Salah satu kesenian tradisional khas Jepang. Tetapi ternyata ia diberikan mandat untuk tinggal di Ittoen. Sebulan Putu bekerja di ladang. Kemudian empat bulan dia mengikuti rombongan sandiwara Swaraj pentas berkeliling Jepang. Rutinitasnya adalah naik truk, setiap malam memasang dekor dan melakukan kegiatan teater yang sifatnya fisikal. Putu dilatih secara fisik dan ia merasa tidak mendapat apa-apa dari latihan itu.
Mereka sendiri sebenarnya tidak kuat menjauhi hawa nafsu dan mematikan emosi. Semuanya hanya ada dalam dunia idea. Dari sana Putu kemudian menulis naskah drama Anu dan Dag-Dig-Dug serta sebuah novel yang kemudian ia beri judul “Lho”. Sekembalinya ke tanah air, naskah-naskah itu dirampungkannya
Masyarakat Ittoen adalah penganut sistem kepercayaan yang ada. Ia sedikit menyindir fanatisme masyarakat Ittoen dalam naskahnya. Mereka melepaskan hal-hal yang bersifat keduniawian dan merasa sangat yakin akan kepastian akhirat. Sementara mereka sendiri secara batin tidak menerima dan merasa tersiksa dengan sikap mereka yang dibebani berbagai aturan-aturan kepercayaan yang mereka anut.
Dalam naskah Dag-Dig-Dug, melalui tokoh Suami dan Istri, Putu hendak mengungkapkan fenomena yang terjadi. Tokoh Suami dan Istri bersusah payah mengumpulkan uang hanya untuk membuat prasasti kematian mereka melalui sebuah nisan yang terbuat dari marmer, menginginkan kemewahan dalam tidur panjangnya, sementara mereka tidak pernah tahu kapan kematian akan datang.
2.1.2. Gagasan Zaman
Gagasan zaman yang terkandung dalam naskah Dag-Dig-Dug mendapat pengaruh eksistensialisme. Kehidupan masyarakat Ittoen yang menunjukkan eksistensi mereka dalam bentuk kehidupan spiritual menjadi inspirasi Putu. Bahan-bahan penguburan yang dihadirkan, keinginan untuk mati tokoh utamnya, adalah sebuah simbol bahwa kehidupan yang tokoh utamanya jalani akan kembali pada sebuah titik, yaitu kematian.
2.1.3. Analisa Plot
Plot atau alur cerita merupakan rangkaian peristiwa yang satu sama lain dihubungkan oleh hukum kausalitas (sebab akibat). Peristiwa demi peristiwa saling mengikat, sehingga membangun kausalitas yang tidak dapat dipisahkan, di mana peristiwa pertama menyebabkan terjadinya peristiwa kedua, peristiwa kedua menyebabkan peristiwa ketiga, dan demikian selanjutnya.
Disamping itu, plot selain mengemban fungsi untuk mengungkapkan buah pikiran pengarang dan menarik serta memelihara perhatian pembaca atau penonton, juga mengungkapkan dan mengembangkan watak tokoh-tokoh cerita (Jakob Sumardjo & Saini KM, 1991: 139,144).
a. Uraian Plot
Di sebuah rumah hiduplah sepasang suami-istri bersama seorang pembantunya yang bernama Cokro. Suatu hari sepasang suami-istri itu mendapat kabar bahwa seseorang yang bernama Chairul Umam telah meninggal karena kecelakaan tertabrak motor. Mereka menerima kabar tersebut melalui sepucuk surat, bahwa akan ada utusan yang akan menjelaskan hal tentang kematian Chairul Umam lebih lanjut.
Pagi hari tepat pada waktu yang telah dijanjikan, mereka menunggu. Beberapa saat kemudian datanglah dua orang tamu yang dinantikan. Tamu itu kemudian menceritakan tentang peristiwa yang menimpa Chairul Umam. Setelah berbicara panjang lebar, mereka menyerahkan amplop yang berisi uang asuransi jiwa kecelakaan lalu lintas. Setelah itu kedua tamu itu pun pergi.
Mereka sendiri sebenarnya tidak kenal pada Chairul Umam. Mereka telah berusaha mengingatnya tapi tetap tidak mengenali siapa Chairul Umam yang dimaksud. Setelah dibuka dan dihitung, ternyata uang itu kurang. Keesokan harinya, setelah menimbang-nimbang, akhirnya mereka memutuskan untuk mengembalikan uang tersebut melalui pos yang sebelumnya menambahkan kekurangan uang tersebut dari gaji pensiunan mereka. Alasan pengembaliannya adalah karena pada dasarnya mereka tidak mengenal siapa Chairul Umam.
Hari demi hari, usia mereka pun bertambah tua. Mereka berhasil mengumpulkan uang untuk persiapan penguburan mereka. Istri menginginkan uang simpanan mereka dibagi untuk dibungakan, tetapi tidak disetujui Suami. Mereka pun berdebat. Uang dibagi tetapi pertengkaran berlanjut mengenai siapa yang akan mengerjakan persiapan kematian mereka.
Setelah terjadi diskusi dan perdebatan, akhirnya mereka sepakat untuk mempercayakan pengerjaan persiapan penguburan mereka pada Ibrahim, dan beberapa material bangunan untuk penguburan pun dibeli.
Setelah membeli bahan-bahan bangunan, keinginan suami bertambah. Ia ingin membeli peti mati agar lengkap bahan-bahan penguburan mereka. Istri menolak keras keinginan Suami, dan seperti biasa mereka kembali cekcok. Selang beberapa hari, dua buah peti mati telah siap diruang tamu disamping beberapa marmer yang ditutupi kain.
Mereka kemudian memanggil Tobing, mantan anak kos mereka yang telah berkeluarga. Mereka bermaksud menjual rumah itu pada Tobing dengan sistem kredit tak terikat waktu. Yang jelas kredit tersebut harus sudah dilunasi ketika mereka meninggal.
Namun sampai cicilan rumah itu lunas, suami-istri itu tak kunjung menemui ajalnya. Ibrahim yang dipercayakan mengurus proses pemakaman mereka juga tidak sabar lagi, padahal kedua suami-istri itu sudah sakit-sakitan dan ingin sekali mati.
Suatu malam Suami dalam keadaan sekarat, dan keadaan menjadi tegang. Cokro berdoa mengatasi suasana, sementara Istri terisak-isak disamping peti mati. Suami meminta maaf pada Cokro dan Istrinya. Ia juga berpesan bahwa ia telah menulis surat wasiat yang ia simpan dibawah kasur, tapi ia batal menemui ajalnya. Keesokan harinya keadaan menjadi normal kembali.
Cokro yang sudah tidak tahan mendapat tekanan selama tinggal di rumah itu, suatu waktu dituduh telah membaca surat wasiat milik Suami. Cokro dianggap sebagai pencuri. Dalam kemarahannya Suami mengusir Cokro, tetapi Cokro melawan dan tidak menurutinya. Karena kemarahannya, akhirnya penyakit kedua orang tua itu kambuh dan bertambah parah, sehingga suatu ketika mereka tidak kuasa lagi untuk bangkit. Cokro membantu memasukkan mereka ke dalam peti mati, walaupun ia telah disakiti. Setelah mengucap doa, peti ditutup olehnya. Detak jantung Cokro Dag-dug-dag-dug. Demikian plot naskah Dag-Dig-Dug.
b. Sifat Plot
Sifat plot dalam naskah Dag-Dig-Dug adalah linear plot. dimana suatu kejadian dan konflik tersusun secara berurutan seperti bentangan garis dari A sampai Z. Dimana penonton hanya mendapat pikiran-pikiran berdasarkan percakapan tokoh-tokohnya dari awal sampai akhir.
c. Jenis plot
Jika melihat dari alur ceritanya, jenis plot dalam naskah Dag-Dig-Dug termasuk kedalam plot longgar. Karena dari beberapa peristiwa, terdapat peristiwa yang tidak penting dan tidak mempengaruhi peristiwa lainnya. Sehingga apabila dihilangkan tidak mempengaruhi makna ceritanya.
Plot longgar ialah plot yang yang terbentuk karena adanya sejumlah peristiwa, baik yang penting kedudukannya maupun yang kurang penting. Umpanya sebuah peristiwa yang dianggap kurang penting dalam lakon itu dilepaskan, maka makna dari lakon itu kemungkinan besar tidak akan berkurang.[5]
2.1.4. Struktur Dramatik
Struktur adalah suatu kesatuan dan bagian-bagian yang kalau satu diantara bagian diubah atau dirusak, akan berubah atau rusaklah seluruh struktur itu. Di dalam cerita-cerita konvensional, struktur dramatik yang dipergunakan adalah struktur dramatik Aristoteles (1991:142).
Secara struktural naskah ini dapat disebut sebagai naskah konvensional, karena struktur dramatiknya disajikan secara Aristotelian, dimana peristiwa demi peristiwa dari awal hingga akhir tertata apik satu dengan lainnya yang selalu berkaitan. Fungsinya untuk mengungkap pikiran pengarang dan lebih melibatkan pikiran, perasaan penonton dalam cerita tersebut. Struktur dramatik Aristotelian terdiri dari :
a. Eksposisi
Eksposisi adalah bagian awal atau pembukaan dari suatu karya sastra drama. Sesuai dengan kedudukannya, eksposisi berfungsi sebagai pembuka yang memberikan penjelasan atau keterangan mengenai berbagai hal yang diperlukan untuk dapat memahami peristiwa-peristiwa berikutnya dalam cerita. Keterangan-keterangan itu dapat mengenai tokoh-tokoh cerita, masalah yang timbul, tempat dan waktu ketika cerita terjadi dan sebagainya (1991: 143).
Eksposisi dimulai pada babak I ketika terjadi diskusi antara Suami dan Istri tentang siapa Chairul Umam yang disebutkan dalam surat. Mereka berusaha mengingat tetapi selalu gagal. Tamu datang dan menjelaskan peristiwa yang menimpa Chairul Umam.
b. Rising Action
Dimulai ketika mereka menerima tamu yang mengabarkan tentang kematian Chairul Umam, yang sekaligus memberikan uang asuransi. Peristiwa ini membuat masalah berkembang, dimana konflik-konflik kecil mulai bermunculan. Mereka mengalami kebimbangan antara dikembalikan atau tidaknya uang tersebut.
Rising action semakin menanjak ketika diketahui kalau jumlah uang yang diterima itu ternyata kurang. Karena rasa takut dan kebingungan tentang siapa Chairul Umam menghantui mereka, akhirnya uang tersebut diputuskan untuk dikembalikan dengan menambahkan kekurangannya dari gaji pensiunan mereka.
c. Komplikasi
Komplikasi atau penggawatan merupakan lanjutan dari eksposisi dan peningkatan daripadanya. Di dalam bagian ini, salah seorang tokoh cerita mulai mengambil prakarsa untuk mencapai tujuan tertentu. Akan tetapi hasil dari prakarsa itu tidak pasti. Dengan demikian timbullah kegawatan (1991:143).
Kegawatan ini saling bertubrukan dengan tokoh lainnya setelah masing-masing tokoh menceritakan jati dirinya, sehingga peta konflik antar tokoh semakin tergambar dengan jelas.
Komplikasi dimulai ketika sang suami berniat mempersiapkan segala sesuatunya untuk kematian dan penguburan mereka nanti, sedangkan istri berkehendak lain, yakni agar uang dibungakan terlehih dahulu. Kemudian barulah ditentukan tukang, tetapi hal ini justru semakin memperuncing masalah, karena kedua-duanya memiliki kriteria yang berbeda. Berbagai pertentangan dan perdebatan terjadi antara Suami dan Isteri karena masing-masing ingin memperlihatkan eksistensi ke-aku-annya.
d. Klimaks
Komplikasi disusul klimaks yang merupakan tahapan peristiwa dramatik. Dalam bagian ini pihak-pihak yang berlawanan atau bertentangan, berhadapan untuk melakukan perhitungan terakhir yang menentukan. Didalam bentrokan itu nasib para tokoh cerita ditentukan (1991:143).
Klimaks dimulai ketika Suami mengetahui dari istrinya bahwa buku wasiatnya telah dibaca orang dan menuduh Cokro sebagai pelakunya. Hingga suatu ketika, kemarahan Cokro tidak terbendung lagi. Terjadilah keributan besar antara Cokro dan sepasang suami-istri tersebut yang tidak menghasilkan solusi.
Selain konflik secara fisik, sebenarnya terjadi juga konflik batin dan pikiran mereka masing-masing dengan dirinya yang tidak bisa dipecahkan. Secara individu akhirnya mereka pasrah dan menerima kekalahannya sebagai manusia yang lemah, dan kembali pada sebuah lingkaran kesunyian.
e. Resolusi
Resolusi menyusul klimaks. Dalam bagian ini semua masalah yang ditimbulkan oleh prakarsa tokoh atau tokoh-tokohnya terpecahkan.
Resolusi ditandai dengan berakhirnya pertengkaran tersebut. Kemudian kedua orang tua itu masuk kedalam peti mati, masing-masing bermaksud akan tidur. Suami ketakutan dan membangunkan istrinya tetapi tidak dihiraukan. Suami seakan-akan mengalami keadaan sekarat dan sang istri tetap tidak peduli. Suami memanggil Cokro, dan kemudian Cokro datang membaringkan Suami dengan tenang, menutup peti matinya dan membacakan doa.
Disini eksistensi masing-masing individu yang ambisius sudah mulai terlihat keasliannya. Peristiwa sudah tergambar, tentang apa, siapa, dan bagaimana.
f. Konklusi
Konklusi adalah bagian terakhir sebuah cerita. Dalam bagian ini nasib tokoh-tokoh cerita sudah pasti. (1991 : 144)
Konklusi dalam naskah ini tidak tertulis secara langsung dalam dialog. Kematian adalah sebuah rahasia yang hanya menjadi milik Sang Pencipta. Kita tidak pernah tahu kapan kematian akan menjemput. Manusia tetap terpenjara dalam sangkar kesunyian, kesepian, dan kesendirian dalam hidup. Putu menyerahkan akhir cerita pada penggarap naskahnya. Dengan kata “Dan Seterusnya” pada akhir naskahnya.
2.1.5. Tipe Lakon
Tipe lakon atau disebut genre lakon, jenis lakon atau bentuk lakon. Naskah Dag-Dig-Dug ini adalah berbentuk tragedi komedi, atau yang kita kenal dengan tragic comedi.
Tragedi komedi yaitu bentuk lakon yang dibawakan oleh tokoh-tokoh yang konyol (mengundang tertawaan), tetapi yang bertema tragis dimana akhirnya menyedihkan ( Yoyo&Willy, 1985:37).
Dalam naskah ini, tokoh sentralnya dihadapkan pada permasalahan yang mereka sendiri tidak tahu kebenarannya. Mereka, terutama tokoh Istri sangat mudah mempercayai kabar yang belum jelas yang akhirnya justru merugikan mereka sendiri. Sementara pada orang yang mereka kenal, mereka selalu menaruh kecurigaan yang besar.
Sikap Suami dan Istri menunjukkan kekonyolannya ketika mereka telah mempersiapkan segala keperluan pemakaman. Bahkan sempat sang suami merasa ajalnya sudah datang ketika penyakitnya kumat. Tetapi tidak jadi mati dan malah keadaan fisiknya kembali ke keadaan normal.
Perilaku yang ditunjukkan tokoh Suami dan Istri tadi sangat komedi sekali. Memang bukan komedi rendah yang menimbulkan gelak tawa karena tingkah laku tokohnya yang mengundang kelucuan secara fisik. Tetapi lebih merupakan komedi satir yang mentertawakan tingkah laku kejiwaan seseorang yang secara psikologi mengalami ketidaklaziman atau dengan kata lain mengalami cacat tragis yang disebabkan kurangnya kebijaksanaan dalam menjalani kenyataan, sehingga menimbulkan pola watak absurd.
2.1.6. Model Penokohan
Round character adalah model yang penulis anggap tepat untuk diterapkan pada lakon ini berlandaskan pada konvensi naskah dan pembawaannya yang mengacu pada realisme, yakni mengkarakterisasi tokoh secara sempurna sebagaimana adanya manusia.
Yang dimaksud tokoh yang berbentuk round atau bulat adalah tokoh yang diberikan karakter oleh pengarang secara kompleks dan tidak hanya hitam putih saja. Kebanyakan tokoh-tokoh yang berbentuk round ini terdapat dalam lakon-lakon yang sifatnya realistis (Yoyo&Willy, 1985 : 26-27).
Dengan demikian, aktor memiliki keleluasaan dalam mengembangkan peran yang dimainkannya, namun tetap dalam batas sebuah konvensi pemeranan realisme.
2.2. Potensi Naskah
2.2.1. Kelebihan Naskah
Naskah ini adalah naskah pemenang pertama dalam sayembara naskah lakon yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta yang ke III pada tahun 1974. Sudah barang tentu kualitas naskahnya tidak perlu diragukan lagi.
Ceritanya sangat unik untuk sebuah naskah realis. Memang hanya menceritakan pertentangan antara suami-istri dan orang lain disekitar mereka (Cokro dan Ibrahim) karena kepikunan dan sifat ngeyel yang mereka punya. Tetapi makna yang terkandung didalam dialog-dialognya begitu dalam. Sindiran atau pesan tersembunyi dalam dialog tokoh-tokohnya, sangat cerdas. Bahasa yang digunakan merupakan bahasa keseharian yang logis, sehingga memudahkan dalam pemahaman dialognya.
Dalam naskah ini, pengarangnya memberikan kekuasaan penuh untuk mencoba karakter tokoh didalamnya, tanpa membatasinya dengan gambaran fisiologis. Karena Putu menyembunyikan identitas fisik tokoh-tokohnya. Dalam cover depan naskahnya pun Putu menuliskan: “PARA PEMAIN YANG MEMBAWAKAN NASKAH INI DAPAT SALING BERTUKAR PERAN DARI BABAK KE BABAK TANPA MENYEMBUNYIKAN IDENTITASNYA”. Demikian juga dengan akhir ceritanya, Putu menyerahkan nasib tokoh didalamnya kepada penggarap naskahnya. kita bebas membawakannya sesuai keinginan kita. Tidak ada nama, tidak ada tempat, tidak ada waktu dan tidak ada kata selesai. Karena itu pada setiap naskah Putu selalu membubuhkan kata : “Dan Seterusnya”.
2.2.2. Kekurangan Naskah
Kekurangan dari naskah ini adalah, tidak digambarkan dengan jelas tentang fisiologis tokoh. Sebenarnya tidak dapat juga dikatakan sebuah kekurangan. Banyak pengarang drama yang sengaja tidak menjelaskan gambaran fisik tokohnya. Hal ini kemungkinan dimaksudkan untuk membebaskan interpretasi aktor yang akan memerankannya. Masuk akal memang, karena pembatasan terhadap peran sama juga membunuh kreativitas.
Akhir cerita dan nasib tokoh sentralnya pun diserahkan sepenuhnya kepada penggarap. Dan ini menjadi gaya khas Putu Wijaya dalam setiap karya-karyanya.[6] Selain itu, naskah dan cerita hanya dititik beratkan pada satu wilayah kultur saja, yaitu kultur Jawa. Padahal, bila dilihat pokok permasalahannya, tentang kesunyian, kesendirian, kejenuhan, amarah, emosi, bahagia dan derita dalam hidup. Semua orang juga mengalami hal tersebut. Tetapi apabila identitasnya secara umum, ada kemungkinan setiap penggarapan menjadi baru sesuai dengan zamannya. Bila dilihat, pemikiran-pemikiran semacam ini, yakni tentang keinginan untuk segera mati, justru lebih merebak di zaman sekarang karena frustasi oleh berbagai keadaan hidup, ekonomi, politik, pendidikan, budaya, dll.
2.2.3. Reformulasi Naskah
Naskah Dag-Dig-Dug adalah naskah yang panjang yang apabila dipentaskan akan memakan waktu yang lama. Permasalahan durasi ini menjadi hal yang harus dipikirkan. Jalan yang penulis tempuh dalam mempersingkat pertunjukkan salah satunya dengan mengurangi waktu tampil. Untuk itu penulis mengedit naskahnya kembali, dengan membuang beberapa dialog untuk mengejar durasi waktu yang dipadatkan, tanpa bermaksud menghilangkan esensi dari naskah tersebut.
2.3. Aksentuasi Garap
Dalam membawakan naskah ini, laku aktingnya dibawakan secara realis walaupun bentuk naskahnya surealis. Penulis tidak membuat scenery secara keseluruhan realis, karena yang menajadi absurd hanya pada pola pikir pemainnya saja. Pada beberapa bagian tertentu hanya dibuat simbol-simbol saja. Seperti tidak dihadirkannya pintu dan jendela. Sehingga imajinasi aktor pun dituntut lebih kreatif menyikapi kondisi ini.
[5] Yoyo C. Durachman dan Willy F. Sembung, Pengetahuan Teater. Proyek Pengembangan Institut Kesenian Indonesia Sub Proyek Akademi Seni Tari Indonesia 1985/1986, hal 29.
[6] Lihat kecenderungan pengarang hal 8-9 !.
Ethnomusikologi
Ruang Lingkup Studi Musik
oleh
Aji Permana Sudjamza, S. Sn
Sudah menjadi tuntunan akademis bagi seorang peneliti yang menekuni bidang tertentu, terutama dalam bidang musik yang memiliki pengetahuan sebagai penunjang dalam pengkajian musik. Selain pembekalan praktek sebagai kompetensi dalam bidangnya, kemantapan teori pun seyogyanya setara dengan kemampuan praktisnya. Koentjaraningrat menyebutkan penelitian merupakan segala aktivitas berdasarkan disiplin ilmiah untuk mengumpulkan, mengklasifikasikan, menganalisa, dan menginterpretasikan fakta – fakta seta hubungan – hubungan antara fakta-fakta alam, masyarakat, kelakuan, hasil kelakuan dan rohani manusia guna menemukan prinsip-prinsip pengetahuan dan metoda baru dalam usaha menanggapi hal-hal tersebut (Koentjaraningrat 1973 : 4 ).
Penelitian dalam bidang musik tentunya memerlukan ilmu pengetahuan yang sesuai dengan pokok bahasan yang menjadi sasarannya. Seorang peneliti yang meneliti musik dapat memperdalam ilmu musik atau musikologi sebagai acuan dalam menganalisa musik yang ditelitinya. Tentu saja pembahasan secara musikologis dilakukan apabila musik tersebut dibahas secara sistematis, yang lebih menekankan pada; tangga nada, tonal center, interval, garis melodi atau countour melodi, ornamentasi, meter, dan ritme. Selain itu, pembahasan musik dapat pula dihubungkan dengan kehidupan sosial masyarakat dan kebudayaan musik tersebut. Dengan demikian, pembahasan musik dapat ditempuh secara teks dan konteks.
Berkembangnya ilmu pengetahuan dalam bidang musik seiring dengan laju kebudayaan manusia yang dinamis, maka bertambah pula ketidaktahuan manusia dalam menyingkapi berbagai masalah dalam penelitian musik. Oleh karena itu lahirlah disiplin ilmu etnomusikologi sebagai studi ilmiah musik di dalam kebudayaan (Merriam 1964 : 7). Pada dasarnya musik merupakan salah satu hasil dari kebudayaan manusia. Etnomusikologi mengaitkan hubungan antara musik dan budaya masyarakat, atau dapat dikatakan studi ilmiah terhadap musik tradisional. Hubungan – hubungan tersebut dapat ditemukan dengan disiplin ilmu etnomusikologi, mengingat bahwa etnomusikologi yang interdisipliner - data dan metode yang digunakan meliputi seni, humaniora, ilmu sosial, psikologi, fisika, matematika, maka pembahasan musik secara holistik lebih berinterferensi dengan kebiasaan-kebiasaan, tingkah laku, pandangan hidup, landasan filsafat masyarakat yang memiliki budaya musik.
Tulisan ini membahas etnomusikologi sebagai disiplin ilmu yang dapat mengungkap antara musik dan kebudayaan manusia, oleh karena itu, tidak ada salahnya apabila meninjau kembali disiplin ilmu ini. Isi tulisan ini terfokus pada; pengertian etnomusikologi, peranan dalam musik tradisi, pekerjaan etnomusikolog, manfaat etnomusikologi, dan tanggung jawab dalam kehidupan dan perkembangan musik tradisi.
Pengertian Etnomusikologi
Istilah etnomusikologi diprakarsai oleh Jaap Kunts pada tahun 1950. Awalan ‘etno’ dan ‘musikologi’ untuk menunjukkan bahwa studi ini adalah untuk musik dari berbagai ras di dunia. Namun definisi ini dibatasi, bahwa seni musik barat dan musik populer tidak termasuk studi ini, yang menjadi sasarannya adalah musik pada masyarakat non-literasi yang diajarkan secara lisan melalui tradisinya. Etnomusikologi merupakan salah satu disiplin ilmu yang mempelajari musik dan budayanya. Budaya yang dimaksud adalah budaya musik masyarakat seluruh dunia. Bahasan dalam etnomusikolgi adalah musik tradisional yang berasal dari kebudayaan tinggi dan musik rakyat diseluruh dunia yang lahir dari ekspresi manusia. Etnomusikologi sebagai disiplin ilmu yang multidisipliner[1] memiliki peranan penting dalam mengungkap budaya musik dalam suatu masyarakat. Dalam bahasannya, musik tidak hanya dibahas secara teksual - musik tidak hanya dibahas mengenai aspek musikalnya – namun dibahas pula secara teksual, yakni adanya hubungan musik dengan kehidupan sosial masyarakat yang sesuai dengan budayanya.
Kiranya etnomusikologi sebagai disiplin ilmu dapat dijadikan parameter dalam mengungkap hal – hal yang berkaitan dengan budaya musik. Mengingat bahwa musik merupakan hasil dari budi daya manusia dan salah satu unsur dari kebudayaan universal, maka rerlevansi musik dengan masyarakat pendukungnya sangat menunjang untuk pengungkapan budayanya. Dalam hal ini dipelajari juga asal – usul musik, fenomena asal musik, kebudayaan dan tingkah laku atau kebiasaan orang – orang yang bermain musik dalam suatu suku bangsa.
Cakupan Bahasan
Dari pengertian dan ruang lingkup studi etnomusikologi di atas, maka untuk mempermudah penelitian musik terdapat kategorisasi sebagai kerangka pembahasan musik. Kategorisasi tersebut dapat dilihat bagan dibawah ini.
KATEGORISASI
Kategori A
Musikal
· Sistim Nada
· Struktur Musikal
· Orkestrasi
· Interpretasi Musikal
Kategori B
Instrumen
· Organologi
· Sistim Laras
· Ensambelisasi
· Cara Memainkan
Kategori C
Pendukung
· Pemain
· Apresiator
· Pembuat
Kategori D
Fungsi
· Ritual
· Pseudo Ritual
· Profan
· Presentasi Estetik
Dari bagan tersebut dapat dilihat bahwa pembahasan musik dapat ditinjau dari berbagai aspek. Ke empat kategori tersebut merupakan salah satu alaternatif dalam pembahasan musik yang menyeluruh. Setiap data atau metode yang berasal dari disiplin atau sumber apapun dapat digunakan apabila hal itu dapat membantu mengembangkan penelitian musik. Ini adalah ciri – ciri dalam etnomusikologi sebagai disiplin ilmu.
Peranan Etnomusikologi dalam Musik Tradisi
Telah disebutkan di muka bahwa ruang lungkup studi etnomusikologi adalah musik tradisional non literasi, musik kebudayaan tinggi, dan musik rakyat. Sebelum membahas lebih jauh mengenai peranan etnomuiskologi dalam musik tradisi, alangkah lebihbaiknya apabila mengetahui peengertian musik tradisional. Musik tradisional adalah suatu bentuk seni yang bersumber dan berakar serta telah dirasakan sebagai milik sendiri oleh masyrakat lingkungannya, pengolahannya didasarkan atas cita-cita masyarakat pendukungnya. Cita-cita rasa di sini mempunyai pengertian yang luas, termasuk ‘nilai kehidupan tradisi’, pandangan hidup, pendekatan filsafat,rasa etis dan estetis serta ungkapan budaya lingkungan. Hasil kesenian tradisional biasanya diterima sebagai tradisi pewarisan yang dilimpahkan dari angkatan tua kepada angkatan yang muda (Jeniffer Lindsay 1981 : 112).
Etnomusikologi dalam mengungkap musik tidak hanya musikalitas yang dibahasnya, juga hubungan antara masyarakat dan budayanya. Tentu saja peranannya dalam musik tradisi adalah sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari musik dan memberikan kontribusi berupa data tertulis dari musik yang ditelitinya. Musik – musik yang non-literasi, akhirnya memiliki catatan untuk diinformasikan pada masyarakat luas. Etnomusikologi sebagai disiplin ilmu akhirnya perlu mendeskripsikan musik yang dipelajarinya, sehingga peranan etnomusikologi dalam mempelajari musik dengan tujuan mengangkat harkat dan martabat musik di seluruh dunia dapat terwujud.
Kiranya adanya disiplin ilmu etnomusikologi keberadaan suatu bangsa yang kaya akan budaya akan terangkat. Kemajuan suatu bangsa dapat terlihat dari kebudayaannya, apabila kebudayaan yang dinamis itu mengalami perubahan yang menurun dan tidak menuju pada perubahan yang lebih baik, maka dapat diukurlah pola pikir masyarakatnya. Dalam hal ini musik yang menjadi pokok bahasan, budaya musik dari masyarakat akan tercermin melalui kebiasaan – kebiasaan dalam menjalani kehidupannya.
Etnomusikolog
Etnomusikolog adalah orang yang mempelajari etnomusikologi, pekerjaanya adalah meneliti musik dan mendokumentasikannya, transkripsi dan analisis akustika, klasifikasi, sistematika, analisis, dimensi kesejarahan, dan etika. Minat para etnomuikolog yang dapat dikatakan kategori baru adalah perubahan atau akulturasi yang sering diteliti melalui pendekatan sosiologis atau pendekatan historis. Dalam pendekatan ini seorang etnomusikolog setidaknya menguasai disiplin ilmu antropologi. Awalnya para etnomusikolog memliki latar belakang pendidikan yang berbeda, hingga setelah mereka mendalami budaya masyarakat yang diteliti, secara langsung mereka mempelajari budaya musik.
Tokoh – tokoh yang mengabdikan hidupnya terhadap problema – problema dalam analisis musik adalah sarjana yang belajar di bidang ilmu alam. Carl Stumpf, seorang filsuf yang berusaha melihat fakta – fakta melalui eksperimen –eksperimennya seperti yang dilakukan oleh para ahli pengetahuan alam. Hornbostel sebelumnya adalah ahli kimia. Antropolog Frans Boas pada mulanya adalah sarjana ilmu fisika dan geografi. Pandangan dan pemikiran dari generasi ini mewarisi dan mewarnai disiplin ilmu etnomusikologi.
Pekerjaan etnomusikolog yaitu meneliti musik, penelitian itu bisa dilakukan melalui berbagai pendekatan pada masyarakat, biasanya mereka melakukan penelitian lapangan dan laboratorium. Untuk lebih mengetahui kebudayaan masyarakat dan tentu saja musik yang ditelitinya mereka melakukan patisipant observer atau penelitian berperan serta, para etnomusikolog berbaur dengan masyarakat dengan waktu yang lama dengan tujuan agar ia mengetahui kebudayaan mereka dan menjadi bagian dari masyarakat.
Tanggung Jawab dalam Kehidupan dan Perkembangan Musik Tradisi
Pada dasarnya etnomusikologi memiliki tujuan untuk melestarikan budaya musik, melindungi, dan mengangkat harkat dan martabat musik di seluruh dunia. Seni tradisional memerlukan “pengawetan” dan diadakan pengamatan sebagai upaya dokumentasi tertulis. Selain mempelajari musik dari berbagai budaya, melalui etnomusikologi kebudayaan suatu suku bangsa dapat terangkat, dan menjadi suatu kebanggaan bagi suatu bangsa apabila kebudayaan - termasuk unsur kesenian (musik) – menduduki puncak – puncak budayanya melalui pendekatan etnomusikologi.
Apabila hasil pengamatan tersebut tidak memberikan apa-apa bagi kehidupan musik tradisional, dan hanya mementingkan sudut keilmiahan, kiranya manfaat dari pengamatan tersebut kurang memenuhi syarat. Salah satu contoh, musik – musik rakyat yang tumbuh dilingkungan masyarakat. Mereka hidup melalui kesenian, tetapi penghargaan dari masyarakat relatif kurang. Kiranya kurang tepat apabila seorang peneliti mengangkat kesenian rakyat yang keberadaannya dimasyarakat mengalami alienasi, sedangkan ia mempelajari hanya untuk kepentingan studi ilmiah. Setelah ia mendapat data lengkap, selanjutnya tidak ada kontribusi apapun untuk kepentingan kehidupan seni tradisi.
Perkembangan musik tradisi yang seiring dengan perubahan masa sangat terkait dengan perubahan masyarakat dalam suatu budaya. Etnomusikologi menjembatani hal tersebut agar tetap pada lajurnya. Melestarikan berarti menjaga nilai – nilai dan pandangan hidup tradisional.
[1] Cabang ilmu dalam etnomusikologi, yaitu Antropologi, sosiologi, psikologi, fisika, matematika. cabang – cabang ilmu tersebut dapat membantu dalam pengkajian musik – musik etnis seluruh dunia yang dapat disesuaikan dengan pendekatan yang digunakan.
oleh
Aji Permana Sudjamza, S. Sn
Sudah menjadi tuntunan akademis bagi seorang peneliti yang menekuni bidang tertentu, terutama dalam bidang musik yang memiliki pengetahuan sebagai penunjang dalam pengkajian musik. Selain pembekalan praktek sebagai kompetensi dalam bidangnya, kemantapan teori pun seyogyanya setara dengan kemampuan praktisnya. Koentjaraningrat menyebutkan penelitian merupakan segala aktivitas berdasarkan disiplin ilmiah untuk mengumpulkan, mengklasifikasikan, menganalisa, dan menginterpretasikan fakta – fakta seta hubungan – hubungan antara fakta-fakta alam, masyarakat, kelakuan, hasil kelakuan dan rohani manusia guna menemukan prinsip-prinsip pengetahuan dan metoda baru dalam usaha menanggapi hal-hal tersebut (Koentjaraningrat 1973 : 4 ).
Penelitian dalam bidang musik tentunya memerlukan ilmu pengetahuan yang sesuai dengan pokok bahasan yang menjadi sasarannya. Seorang peneliti yang meneliti musik dapat memperdalam ilmu musik atau musikologi sebagai acuan dalam menganalisa musik yang ditelitinya. Tentu saja pembahasan secara musikologis dilakukan apabila musik tersebut dibahas secara sistematis, yang lebih menekankan pada; tangga nada, tonal center, interval, garis melodi atau countour melodi, ornamentasi, meter, dan ritme. Selain itu, pembahasan musik dapat pula dihubungkan dengan kehidupan sosial masyarakat dan kebudayaan musik tersebut. Dengan demikian, pembahasan musik dapat ditempuh secara teks dan konteks.
Berkembangnya ilmu pengetahuan dalam bidang musik seiring dengan laju kebudayaan manusia yang dinamis, maka bertambah pula ketidaktahuan manusia dalam menyingkapi berbagai masalah dalam penelitian musik. Oleh karena itu lahirlah disiplin ilmu etnomusikologi sebagai studi ilmiah musik di dalam kebudayaan (Merriam 1964 : 7). Pada dasarnya musik merupakan salah satu hasil dari kebudayaan manusia. Etnomusikologi mengaitkan hubungan antara musik dan budaya masyarakat, atau dapat dikatakan studi ilmiah terhadap musik tradisional. Hubungan – hubungan tersebut dapat ditemukan dengan disiplin ilmu etnomusikologi, mengingat bahwa etnomusikologi yang interdisipliner - data dan metode yang digunakan meliputi seni, humaniora, ilmu sosial, psikologi, fisika, matematika, maka pembahasan musik secara holistik lebih berinterferensi dengan kebiasaan-kebiasaan, tingkah laku, pandangan hidup, landasan filsafat masyarakat yang memiliki budaya musik.
Tulisan ini membahas etnomusikologi sebagai disiplin ilmu yang dapat mengungkap antara musik dan kebudayaan manusia, oleh karena itu, tidak ada salahnya apabila meninjau kembali disiplin ilmu ini. Isi tulisan ini terfokus pada; pengertian etnomusikologi, peranan dalam musik tradisi, pekerjaan etnomusikolog, manfaat etnomusikologi, dan tanggung jawab dalam kehidupan dan perkembangan musik tradisi.
Pengertian Etnomusikologi
Istilah etnomusikologi diprakarsai oleh Jaap Kunts pada tahun 1950. Awalan ‘etno’ dan ‘musikologi’ untuk menunjukkan bahwa studi ini adalah untuk musik dari berbagai ras di dunia. Namun definisi ini dibatasi, bahwa seni musik barat dan musik populer tidak termasuk studi ini, yang menjadi sasarannya adalah musik pada masyarakat non-literasi yang diajarkan secara lisan melalui tradisinya. Etnomusikologi merupakan salah satu disiplin ilmu yang mempelajari musik dan budayanya. Budaya yang dimaksud adalah budaya musik masyarakat seluruh dunia. Bahasan dalam etnomusikolgi adalah musik tradisional yang berasal dari kebudayaan tinggi dan musik rakyat diseluruh dunia yang lahir dari ekspresi manusia. Etnomusikologi sebagai disiplin ilmu yang multidisipliner[1] memiliki peranan penting dalam mengungkap budaya musik dalam suatu masyarakat. Dalam bahasannya, musik tidak hanya dibahas secara teksual - musik tidak hanya dibahas mengenai aspek musikalnya – namun dibahas pula secara teksual, yakni adanya hubungan musik dengan kehidupan sosial masyarakat yang sesuai dengan budayanya.
Kiranya etnomusikologi sebagai disiplin ilmu dapat dijadikan parameter dalam mengungkap hal – hal yang berkaitan dengan budaya musik. Mengingat bahwa musik merupakan hasil dari budi daya manusia dan salah satu unsur dari kebudayaan universal, maka rerlevansi musik dengan masyarakat pendukungnya sangat menunjang untuk pengungkapan budayanya. Dalam hal ini dipelajari juga asal – usul musik, fenomena asal musik, kebudayaan dan tingkah laku atau kebiasaan orang – orang yang bermain musik dalam suatu suku bangsa.
Cakupan Bahasan
Dari pengertian dan ruang lingkup studi etnomusikologi di atas, maka untuk mempermudah penelitian musik terdapat kategorisasi sebagai kerangka pembahasan musik. Kategorisasi tersebut dapat dilihat bagan dibawah ini.
KATEGORISASI
Kategori A
Musikal
· Sistim Nada
· Struktur Musikal
· Orkestrasi
· Interpretasi Musikal
Kategori B
Instrumen
· Organologi
· Sistim Laras
· Ensambelisasi
· Cara Memainkan
Kategori C
Pendukung
· Pemain
· Apresiator
· Pembuat
Kategori D
Fungsi
· Ritual
· Pseudo Ritual
· Profan
· Presentasi Estetik
Dari bagan tersebut dapat dilihat bahwa pembahasan musik dapat ditinjau dari berbagai aspek. Ke empat kategori tersebut merupakan salah satu alaternatif dalam pembahasan musik yang menyeluruh. Setiap data atau metode yang berasal dari disiplin atau sumber apapun dapat digunakan apabila hal itu dapat membantu mengembangkan penelitian musik. Ini adalah ciri – ciri dalam etnomusikologi sebagai disiplin ilmu.
Peranan Etnomusikologi dalam Musik Tradisi
Telah disebutkan di muka bahwa ruang lungkup studi etnomusikologi adalah musik tradisional non literasi, musik kebudayaan tinggi, dan musik rakyat. Sebelum membahas lebih jauh mengenai peranan etnomuiskologi dalam musik tradisi, alangkah lebihbaiknya apabila mengetahui peengertian musik tradisional. Musik tradisional adalah suatu bentuk seni yang bersumber dan berakar serta telah dirasakan sebagai milik sendiri oleh masyrakat lingkungannya, pengolahannya didasarkan atas cita-cita masyarakat pendukungnya. Cita-cita rasa di sini mempunyai pengertian yang luas, termasuk ‘nilai kehidupan tradisi’, pandangan hidup, pendekatan filsafat,rasa etis dan estetis serta ungkapan budaya lingkungan. Hasil kesenian tradisional biasanya diterima sebagai tradisi pewarisan yang dilimpahkan dari angkatan tua kepada angkatan yang muda (Jeniffer Lindsay 1981 : 112).
Etnomusikologi dalam mengungkap musik tidak hanya musikalitas yang dibahasnya, juga hubungan antara masyarakat dan budayanya. Tentu saja peranannya dalam musik tradisi adalah sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari musik dan memberikan kontribusi berupa data tertulis dari musik yang ditelitinya. Musik – musik yang non-literasi, akhirnya memiliki catatan untuk diinformasikan pada masyarakat luas. Etnomusikologi sebagai disiplin ilmu akhirnya perlu mendeskripsikan musik yang dipelajarinya, sehingga peranan etnomusikologi dalam mempelajari musik dengan tujuan mengangkat harkat dan martabat musik di seluruh dunia dapat terwujud.
Kiranya adanya disiplin ilmu etnomusikologi keberadaan suatu bangsa yang kaya akan budaya akan terangkat. Kemajuan suatu bangsa dapat terlihat dari kebudayaannya, apabila kebudayaan yang dinamis itu mengalami perubahan yang menurun dan tidak menuju pada perubahan yang lebih baik, maka dapat diukurlah pola pikir masyarakatnya. Dalam hal ini musik yang menjadi pokok bahasan, budaya musik dari masyarakat akan tercermin melalui kebiasaan – kebiasaan dalam menjalani kehidupannya.
Etnomusikolog
Etnomusikolog adalah orang yang mempelajari etnomusikologi, pekerjaanya adalah meneliti musik dan mendokumentasikannya, transkripsi dan analisis akustika, klasifikasi, sistematika, analisis, dimensi kesejarahan, dan etika. Minat para etnomuikolog yang dapat dikatakan kategori baru adalah perubahan atau akulturasi yang sering diteliti melalui pendekatan sosiologis atau pendekatan historis. Dalam pendekatan ini seorang etnomusikolog setidaknya menguasai disiplin ilmu antropologi. Awalnya para etnomusikolog memliki latar belakang pendidikan yang berbeda, hingga setelah mereka mendalami budaya masyarakat yang diteliti, secara langsung mereka mempelajari budaya musik.
Tokoh – tokoh yang mengabdikan hidupnya terhadap problema – problema dalam analisis musik adalah sarjana yang belajar di bidang ilmu alam. Carl Stumpf, seorang filsuf yang berusaha melihat fakta – fakta melalui eksperimen –eksperimennya seperti yang dilakukan oleh para ahli pengetahuan alam. Hornbostel sebelumnya adalah ahli kimia. Antropolog Frans Boas pada mulanya adalah sarjana ilmu fisika dan geografi. Pandangan dan pemikiran dari generasi ini mewarisi dan mewarnai disiplin ilmu etnomusikologi.
Pekerjaan etnomusikolog yaitu meneliti musik, penelitian itu bisa dilakukan melalui berbagai pendekatan pada masyarakat, biasanya mereka melakukan penelitian lapangan dan laboratorium. Untuk lebih mengetahui kebudayaan masyarakat dan tentu saja musik yang ditelitinya mereka melakukan patisipant observer atau penelitian berperan serta, para etnomusikolog berbaur dengan masyarakat dengan waktu yang lama dengan tujuan agar ia mengetahui kebudayaan mereka dan menjadi bagian dari masyarakat.
Tanggung Jawab dalam Kehidupan dan Perkembangan Musik Tradisi
Pada dasarnya etnomusikologi memiliki tujuan untuk melestarikan budaya musik, melindungi, dan mengangkat harkat dan martabat musik di seluruh dunia. Seni tradisional memerlukan “pengawetan” dan diadakan pengamatan sebagai upaya dokumentasi tertulis. Selain mempelajari musik dari berbagai budaya, melalui etnomusikologi kebudayaan suatu suku bangsa dapat terangkat, dan menjadi suatu kebanggaan bagi suatu bangsa apabila kebudayaan - termasuk unsur kesenian (musik) – menduduki puncak – puncak budayanya melalui pendekatan etnomusikologi.
Apabila hasil pengamatan tersebut tidak memberikan apa-apa bagi kehidupan musik tradisional, dan hanya mementingkan sudut keilmiahan, kiranya manfaat dari pengamatan tersebut kurang memenuhi syarat. Salah satu contoh, musik – musik rakyat yang tumbuh dilingkungan masyarakat. Mereka hidup melalui kesenian, tetapi penghargaan dari masyarakat relatif kurang. Kiranya kurang tepat apabila seorang peneliti mengangkat kesenian rakyat yang keberadaannya dimasyarakat mengalami alienasi, sedangkan ia mempelajari hanya untuk kepentingan studi ilmiah. Setelah ia mendapat data lengkap, selanjutnya tidak ada kontribusi apapun untuk kepentingan kehidupan seni tradisi.
Perkembangan musik tradisi yang seiring dengan perubahan masa sangat terkait dengan perubahan masyarakat dalam suatu budaya. Etnomusikologi menjembatani hal tersebut agar tetap pada lajurnya. Melestarikan berarti menjaga nilai – nilai dan pandangan hidup tradisional.
[1] Cabang ilmu dalam etnomusikologi, yaitu Antropologi, sosiologi, psikologi, fisika, matematika. cabang – cabang ilmu tersebut dapat membantu dalam pengkajian musik – musik etnis seluruh dunia yang dapat disesuaikan dengan pendekatan yang digunakan.
Seni Beluk
Eksistensi dan regenerasi
Studi kasus seni beluk Pusaka Mekar di Kampung Cipulus Desa Pasigaran Kecamatan Tanjungsari-Kabupaten Sumedang
Oleh
Studi kasus seni beluk Pusaka Mekar di Kampung Cipulus Desa Pasigaran Kecamatan Tanjungsari-Kabupaten Sumedang
Oleh
Engkos Kosasih
Intisari
Seni beluk Pusaka Mekar mengalami krisis regenerasi yang dapat mengakibatkan terpuruknya keberadaan sebuah seni tradisi. Apakah seni Beluk Pusaka Mekar ini akan tetap eksis di kalangan masyarakatnya, mengingat rumitnya permasalahan di dalamnya? Tulisan ini membahas tentang faktor penyebab menurunya tingkat apresiasi masyarakat terhadap seni beluk, juga menawarkan beberapa solusi untuk menyikapi hal tersebut.
Pendahuluan
Jawa Barat merupakan sebuah propinsi yang dikenal kaya akan ragam kesenian daerah. Eksistensinya terjaga dalam tatanan budaya masyarakat agraris pedesaan, terutama di kawasan pegunungan. Kesenian tersebut mencerminkan identitas daerahnya sebagai masyarakat ladang1), hal ini dapat dilihat dari ciri atau gaya dari setiap jenis kesenian yang ada di kalangan masyarakat. Kesenian tersebut dapat dikategorikan sebagai kesenian rakyat, berbeda dengan kesenian yang tumbuh dan berkembang di lingkungan keraton atau kerajaan2). Bentuk kesenian rakyat lebih bersifat komunikatif, dan salah satu unsur yang bisa muncul dalam seni rakyat adalah sifat spontan dan seronok.(Humardani, Kompas 10 Agustus 1983, hal 12.)3)
Ciri yang paling menonjol dari kesenian rakyat yaitu bersifat kedaerahan yang memiliki khas dari daerah tempat asal kesenian itu terbentuk. Hal tersebut dapat tergantung dari letak geografis, misalnya kesenian dari daerah pesisir akan berbeda bentuk dan gayanya dengan kesenian yang terdapat di daerah pegunungan. Hal ini dapat mempengaruhi sifat yang dimiliki oleh kesenian tersebut, baik itu dari pola tabuhan, bentuk sajian, maupun jenis keseniannya, yang tentunya tergantung dari adat, budaya, dan tradisi daerah setempat. Pada dasarnya kesenian yang berkembang di kalangan rakyat bentuk dan gayanya sangat sederhana, baik itu dari segi waditra yang digunakan maupun kostum yang di kenakan dilihat dari corak maupun ragam motifnya.
Kesenian rakyat biasanya identik dengan suasana ritual terhadap nenek moyang, di samping sebagai sarana hiburan, hal ini merupakan pola pemikiran masyarakat pedesaan. Pada umumnya kepercyaan masyarakat pada zaman dulu masih menganut animisme dan dinamisme, yang meyakini kepercayaan terhadap roh nenek moyang. Kebiasaan-kebiasaan yang berkaitan dengan kepercayaan tersebut masih melekat pada masyarakat saat ini. Salah satu kesenian yang masih digunakan untuk kepentingan ritual keagamaan adalah seni beluk.
Kesenian beluk banyak tersebar di daerah Jawa Barat, baik berupa sebuah sanggar maupun lingkungan kecil yang belum terorganisasi. Adanya penyebaran kesenian beluk di setiap daerah memungkinkan pula adanya keterbatasan data yang menyangkut tumbuh kembangnya kesenian tersebut, sehingga perkembangan seni beluk akan lebih sulit untuk diidentifikasi keberadaanya. Mungkin sulitnya menemukan kesenian beluk di Jawa Barat terbentur pada tidak adanya data statistik mengenai tumbuhnya kesenian beluk di setiap daerah di Jawa Barat. Dengan adanya keterbatasan tersebut, dalam tulisan ini penulis menggunakan pendekatan studi kasus tentang seni beluk yang berada di Kampung Cipulus, Desa Pasigaran, Kecamatan Tanjungsari Sumedang.
Saat ini, seni beluk di desa tersebut masih terjaga keasliannya, hanya saja dukungan dari masyarakat di daerah tersebut dinilai kurang. Hal ini dapat dilihat dari kurangnya frekuensi pementasan beluk di Kampung Cipulus.
Dalam tulisan ini penulis akan mengangkat masalah revitalisasi seni beluk. Hal ini dinilai penting dalam rangka membangkitkan kembali minat dan kecintaan masyarakat terhadap seni tradisi, khususnya seni beluk. Kiranya revitalisasi ini dapat terwujud dalam tatanan khasanah kesenian Jawa Barat, mengingat bahwa Negara Indonesia yang kaya akan budaya, seharusnya bisa memunculkan kesenian dari sub- kultur yang mencerminkan kebudayaan daerahnya.
Seni Beluk
Salah satu jenis kesenian rakyat yang terdapat di daerah Jawa Barat adalah seni beluk yang eksistensinya kurang dikenal masyarakat. Padahal kesenian tersebut merupakan local genius yang seharusnya dilestarikan dalam rangka revitalisasi kesenian tradisional. Kesenian beluk tergolong pada jenis seni vokal yang mempunyai gaya atau khas yang mandiri. Ciri khas tersebut memberikan warna lain dari vokal yang sering dibawakan oleh seni kepesindenan ataupun seni yang lebih mengutamakan vokal lainnya, baik itu dalam bentuk penyajiannya maupun dalam olah vokal yang dipergunakan. Dilihat dari latar belakangnya, seni beluk identik dengan masyarakat peladang, hal ini tampak ketika vokal yang dibawakan volume suaranya relatif lebih keras. Hal ini bermula dari kebiasaan masyarakat peladang, yang lokasi mereka berjauhan dari satu tempat ke tempat yang lainnya, sehingga untuk mengadakan komunikasi diperlukan suara yang keras. Yang kedua, beluk berawal ketika masyarakat yang bepergian melewati hutan sendirian. Untuk mengusir rasa sepi maka dia melakukan teriakan-teriakan untuk memberi tahu kalau ada orang lain yang ada di sekitar hutan tersebut.
Kebiasaan khas ini berkorelasi kuat dengan sifat dan karakter aktivitas budaya masyarakat ladang (agraris). Bentuk dan kontur lagu yang cenderung menggunakan nada tinggi, mengalun, dan meliku-liku adalah bagian dari ekspresi masyarakat ladang saat saling berkomunikasi sesama komunitasnya, yang mempunyai pola tinggal menetap namun saling berjauhan.
Dari kata ‘nada tinggi’ sudah mencerminkan bahwa kesenian beluk ini tidak lazim dikumandangkan di ruangan, tapi di alam bebas. Namun, pada perkembangannya beluk lazim terdengar di rumah-rumah penduduk. Ini terkait dengan pengaruh Wawacan4)- pembacaan kitab kuno yang dinyanyikan untuk ritual tertentu, misalnya ritual kelahiran bayi, acara hajatan, dan lain-lain. Secara evolutif, beluk dan wawacan telah bersanding dalam sajian musik vokal.
Beluk dan wawacan, akhirnya sangat berkaitan erat. Karena pengaruh wawacan, beluk pun terkait oleh pola pupuh dari bentuk lagu dan pola lagu, sebagaimana konsep tembang macapat yang berkembang di Jawa Tengah. Wawacan terikat oleh aturan pupuh yang telah ditentukan, seperti Kinanti, Dangdanggula, Asmarandana, Sinom, dan seterusnya.
Beluk dan wawacan dapat dikatakan bukan merupakan seni tontonan. Ia lebih bersifat personal, untuk menghibur diri, mengusir rasa kesepian, atau terutama untuk kepentingan ritual. Sebagai contoh, untuk kepentingan ritual kelahiran bayi, penyajiannya biasanya dilakukan di ruang tengah dan menggunakan tikar sebagai alas. Di tengah tikar disediakan sesaji aneka makanan dan minuman. Penyaji beluk duduk bersila, dan diapit oleh kaum kerabat keluarga yang mempunyai maksud, membentuk sebuah formasi melingkar.
Dalam penyajiannya, beluk memiliki beberapa istilah bagi orang-orang yang menyajikannya, diantaranya:
Tukang ngilo, adalah pembaca syair wawacan tanpa dinyanyikan (naratif) dalam tempo sedang, dengan artikulasi yang jelas. Dibaca per- padalisan (baris).
Tukang ngajual, fungsinya yaitu menyajikan syair yang dibacakan oleh tukang ngilo sesuai dengan pupuhnya, tetapi cara penyajiannya tanpa ornamen.
Tukang meuli, tugasnya adalah melanjutkan lagu yang disajikan oleh tukang ngajual dengan dilengkapi oleh ornamen-ornamennya.
Tukang naekeun, tugasnya adalah melanjutkan sajian tukang meuli dengan menggunakan nada yang melengking tinggi dan meliuk-liuk, dengan artikulasi yang tidak jelas. Dilengkapi dengan ornamentasi yang sangat dominan.
Peranan para penyaji beluk tersebut dilakukan secara bergiliran. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kondisi fisik dan suara, agar tetap fit (terjaga kesehatannya). Karena penyajian seni beluk ini disajikan pada waktu malam hari, dan biasanya dilakukan sampai cerita wawacan tamat.
Demografi
Dusun Cipulus terletak di sebuah areal perbukitan, di mana di sekelilingnya terhampar luas ladang dan sawah milik para penduduk. Lingkungannya masih kental dengan sifat kegotongroyongannya, sehingga sosialisasi di lingkungan masyarakatnya terjalin harmonis. Tingkat pendidikan di kampung tersebut rata-rata lulusan Sekolah Dasar. Masyarakat pada umumnya bekerja sebagai petani, penggarap sawah dan ladang. Hanya beberapa orang saja yang bekerja sebagai karyawan di pabrik-pabrik, itupun kebanyakan usia remaja.
Melimpah-ruahnya sumber daya alam ini membuat Kampung Cipulus tergolong sebagai masyarakat agraris yang letaknya hanya beberapa ratus meter saja dari Balai Desa Pasigaran, hanya dipisahkan oleh lembah-lembah dan sebuah aliran sungai. Di sekitarnya terhampar luas petak-petak sawah milik para penduduk sebagai lahan penghasil padi. Dari dusun Cipulus ini, apabila berjalan ke sebelah utara, berbatasan dengan Kampung Pasir Salam, dan ke sebelah selatan berbatasan dengan Kampung Lebak Peutag yang masih termasuk pada Desa Pasigaran.
Aktivitas masyarakat pada umumnya adalah bercocok tanam, menggarap sawah, huma dan palawija, yang merupakan hasil utama dari daerah Cipulus. Selain hasil pangannya dijual ke pasar, juga digunakan sebagai bahan makanan untuk mencukupi kehidupan mereka sehari-hari.
Seni Beluk Pusaka Mekar
Lingkung Seni Beluk Pusaka Mekar tepatnya berada di Kampung Cipulus Desa Pasigaran Kecamatan Tanjungsari, didirikan sekitar tahun 1980-an yang anggotanya terdiri dari 12 orang, merupakan sebuah lingkung seni Beluk yang keberadaanya sampai sekarang dinilai masih belum berkembang. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu kurangnya apresiasi masyarakat, kebijakan pemerintah mengenai pelestarian dan pengembangan, dan regenerasi. Salah satu faktor yang menyebabkan kurang berkembangnya seni beluk di Kampung Cipulus Desa Pasigaran Kecamatan Tanjungsari Kabupaten Sumedang terutama disebabkan oleh faktor regenerasi (wawancara dengan ketua Lingkung Seni ‘Pusaka Mekar’, Iya diriya, 18 Januari 2005).
Menurut narasumber, seni beluk Pusaka Mekar merupakan sebuah organisasi yang diketuai oleh Bapak Iya Diriya sendiri. Pada awal mulanya, seni beluk tersebut terbentuk karena didasari oleh keinginan beliau yang telah menguasai seni beluk, baik materinya maupun teknisnya. Berangkat dari keinginannya itu, Pak Iya mulai merintis sebuah organisasi yang bernama “Pusaka Mekar” yang artinya sesuatu yang dianggap buhun5) harus dimekarkan atau dikembangkan. Dalam hal latihan, lingkung seni “Pusaka mekar” ini melakukan latihan gabungan dengan sebuah lingkung seni di Cikaramas yang letaknya sebelah utara Kampung Cipulus.
Dengan hadirnya seni beluk- pada saat itu- tanggapan masyarakat di Kampung Cipulus sangat positif. Disamping sebagai hiburan, seni beluk juga digunakan sebagai upacara syukuran, misalnya syukuran pernikahan, kelahiran, syukuran hasil panen, dan lain-lain. Bahkan pernah terjadi syukuran kelahiran hewan peliharaan seseorang, sebagai ungkapan rasa syukur dia mengadakan selamatan di rumahnya dengan mempertunjukkan seni beluk. Dari contoh kasus tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa keberadaan seni Beluk pada saat itu di akui oleh masyarakat Cipulus. Akan tetapi, masalah yang paling utama adalah bagaimana agar seni beluk tetap eksis di kalangan masyarakat.
Menurut penuturan Pak Iya, bahwa saat ini pelatihan beluk sangat sulit untuk dilaksanakan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama; faktor usia para seniman beluk yang sudah relatif tua dan sudah jarang yang menguasai seni beluk, sehingga di Kampung Cipulus hanya ada beberapa orang saja yang masih kuat untuk membawakan beluk. Kedua; kurangnya minat generasi muda dalam hal pelestarian seni tradisi. Hal tersebut dapat dilihat dari perkembangan seni-seni yang bersifat modern yang mulai mengalami pengkristalan di kalangan generasi muda, dimana hal ini menyebabkan untuk berkembangnya sebuah kesenian tradisi, khususnya seni beluk. Ketiga; kurangnya dukungan dari instansi pemerintahan, hal ini juga sangat disayangkan oleh ketua Lingkung Seni Beluk “Pusaka Mekar”, mengapa sampai instansi pemerintahan pun dirasakan kurang peduli akan perkembangan seni tradisi, padahal seni merupakan sebuah jati diri bangsa. (wawancara dengan ketua Lingkung Seni ‘Pusaka Mekar’, Iya diriya, 18 Januari 2005). Hal ini masih menjadi tanda tanya sampai saat ini, mengapa instansi yang terkait tidak memperhatikan kesenian.
Hal di atas, merupakan salah satu dampak yang negatif terhadap tumbuh kembangnya seni beluk. Mengingat bahwa kesenian merupakan pencerminan dari identitas suatu bangsa, seharusnnya keberadaan kesenian tradisional mendapat kedudukan penting dalam tatanan budaya.
Masalah Regenerasi
Sistem pewarisan merupakan salah satu faktor penting dalam melanjutkan pembelajaran dalam mempelajari suatu jenis kesenian. Kesenian yang sudah mengalami perjalanan panjang-yang dilakukan oleh generasi tua, kemudian untuk melanjutkan keberadaannya memerlukan pewarisan yang dilakukan oleh kaum tua pada angkatan muda. Apabila kesenian yang sudah mendekati kepunahan akibat dari tidak adanya pewarisan, dalam arti keberadaannya kurang menunjukkan jati diri kesenian tersebut, karena berbagai faktor yang menyebabkan tersendatnya proses pewarisan itu, maka kemungkinan besar kesenian tersebut akan punah ditelan zaman.
Kembali pada persoalan seni beluk “Pusaka Mekar”, bahwa kesenian ini mengalami hal serupa, yakni tidak adanya pewarisan yang konsisten pada kompetensi yang dimiliki generasi muda saat ini. Hal ini merupkan suatu permasalahan yang mendasar dan belum ada solusinya yang tepat, sehingga kita tidak bisa menyalahkan sebelah pihak. Di satu sisi, pewarisan merupakan hal yang paling utama, dari sisi lain kompetensi yang dimiliki generasi muda kurang memadai akan hal ini, mereka cenderung tertarik pada musik modern (musik Barat) yang cenderung lebih atraktif. Barangkali keadaan seperti ini dipengaruhi oleh media informasi (media elektronik), mereka secara tidak langsung menangkap suatu hal yang baru6), sedangkan kesenian beluk dianggap kolot, tidak sesuai dengan karakteristik mereka yang cenderung progresif. Dari fenomena tersebut, maka timbul pertaanyaan, apakah seni beluk “Pusaka Mekar” ini akan tetap eksis di kalangan masyarakatnya, mengingat rumitnya permasalahan di dalamnya?
Beberapa Tawaran Solusi.
Kiranya keberadaan seni beluk “Pusaka Mekar” harus didukung oleh adanya pihak-pihak yang dapat mengangkat kembali keberadaan seni beluk. Hal tersebut dapat direalisasikan dengan adanya dukungan pemerintah setempat dan kerja sama di antara para seniman beluk di Kabupaten Sumedang. Tentunya regenerasi merupakan hal yang paling penting dalam tumbuh dan berkembangnya seni beluk “Pusaka mekar”. Upaya tersebut dapat ditempuh melalui adanya apresiasi secara langsung, dengan mengadakan diskusi tentang pentingnya pelestarian seni tradisi. Selain itu, barangkali perlu adanya rekonstruksi seni beluk, baik dari bentuk penyajiannya maupun bentuk lagu dan musiknya, apabila memang hal ini diperlukan untuk menetralisasi kejenuhan masyarakat pendukungnya.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa penyebab utama kurang berkembangnya seni beluk “Pusaka Mekar” yang terdapat di Kampung Cipulus adalah faktor regenerasi. Minat generasi muda terhadap kesenian beluk dinilai kurang, mereka lebih tertarik pada seni musik Barat. Hal ini dipengaruhi oleh gencarnya media informasi, sehingga secara tidak langsung mereka diajak untuk menghayati musik tersebut.
Pewarisan merupakan hal yang paling utama, dari sisi lain kompetensi yang dimiliki generasi muda kurang memadai akan hal ini, mereka cenderung tertarik pada musik modern (musik Barat) yang cenderung lebih atraktif. Barangkali keadaan seperti ini dipengaruhi oleh media informasi (media elektronik)
1) masyarakat ladang adalah masyarakat yang mata pencahariannya bercocok tanam di daerah pegunungan, yang menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian. Dan biasanya masyarakat ladang hidupnya berpindah-pindah atau semi nomaden.
2) kesenian keraton adalah sebuah bentuk kesenian yang bersifat primordial, lahir dari kalangan kaum menak ( ningrat ).
3) lihat Jeniffer Lindsay. Klasik, Kitsch, dan Kontemporer, 1990.
4) Kumpulan lagu-lagu pupuh dalam kitab kuno, yang menceritakan tentang sejarah.
6) hal ini berkaitan dengan gaya hidup, selera budaya asing sehingga generasi muda kita terpacu pada hangar bingar musik-musik popular. Salah satu contoh yaitu tayangan-tayangan di televisi
Intisari
Seni beluk Pusaka Mekar mengalami krisis regenerasi yang dapat mengakibatkan terpuruknya keberadaan sebuah seni tradisi. Apakah seni Beluk Pusaka Mekar ini akan tetap eksis di kalangan masyarakatnya, mengingat rumitnya permasalahan di dalamnya? Tulisan ini membahas tentang faktor penyebab menurunya tingkat apresiasi masyarakat terhadap seni beluk, juga menawarkan beberapa solusi untuk menyikapi hal tersebut.
Pendahuluan
Jawa Barat merupakan sebuah propinsi yang dikenal kaya akan ragam kesenian daerah. Eksistensinya terjaga dalam tatanan budaya masyarakat agraris pedesaan, terutama di kawasan pegunungan. Kesenian tersebut mencerminkan identitas daerahnya sebagai masyarakat ladang1), hal ini dapat dilihat dari ciri atau gaya dari setiap jenis kesenian yang ada di kalangan masyarakat. Kesenian tersebut dapat dikategorikan sebagai kesenian rakyat, berbeda dengan kesenian yang tumbuh dan berkembang di lingkungan keraton atau kerajaan2). Bentuk kesenian rakyat lebih bersifat komunikatif, dan salah satu unsur yang bisa muncul dalam seni rakyat adalah sifat spontan dan seronok.(Humardani, Kompas 10 Agustus 1983, hal 12.)3)
Ciri yang paling menonjol dari kesenian rakyat yaitu bersifat kedaerahan yang memiliki khas dari daerah tempat asal kesenian itu terbentuk. Hal tersebut dapat tergantung dari letak geografis, misalnya kesenian dari daerah pesisir akan berbeda bentuk dan gayanya dengan kesenian yang terdapat di daerah pegunungan. Hal ini dapat mempengaruhi sifat yang dimiliki oleh kesenian tersebut, baik itu dari pola tabuhan, bentuk sajian, maupun jenis keseniannya, yang tentunya tergantung dari adat, budaya, dan tradisi daerah setempat. Pada dasarnya kesenian yang berkembang di kalangan rakyat bentuk dan gayanya sangat sederhana, baik itu dari segi waditra yang digunakan maupun kostum yang di kenakan dilihat dari corak maupun ragam motifnya.
Kesenian rakyat biasanya identik dengan suasana ritual terhadap nenek moyang, di samping sebagai sarana hiburan, hal ini merupakan pola pemikiran masyarakat pedesaan. Pada umumnya kepercyaan masyarakat pada zaman dulu masih menganut animisme dan dinamisme, yang meyakini kepercayaan terhadap roh nenek moyang. Kebiasaan-kebiasaan yang berkaitan dengan kepercayaan tersebut masih melekat pada masyarakat saat ini. Salah satu kesenian yang masih digunakan untuk kepentingan ritual keagamaan adalah seni beluk.
Kesenian beluk banyak tersebar di daerah Jawa Barat, baik berupa sebuah sanggar maupun lingkungan kecil yang belum terorganisasi. Adanya penyebaran kesenian beluk di setiap daerah memungkinkan pula adanya keterbatasan data yang menyangkut tumbuh kembangnya kesenian tersebut, sehingga perkembangan seni beluk akan lebih sulit untuk diidentifikasi keberadaanya. Mungkin sulitnya menemukan kesenian beluk di Jawa Barat terbentur pada tidak adanya data statistik mengenai tumbuhnya kesenian beluk di setiap daerah di Jawa Barat. Dengan adanya keterbatasan tersebut, dalam tulisan ini penulis menggunakan pendekatan studi kasus tentang seni beluk yang berada di Kampung Cipulus, Desa Pasigaran, Kecamatan Tanjungsari Sumedang.
Saat ini, seni beluk di desa tersebut masih terjaga keasliannya, hanya saja dukungan dari masyarakat di daerah tersebut dinilai kurang. Hal ini dapat dilihat dari kurangnya frekuensi pementasan beluk di Kampung Cipulus.
Dalam tulisan ini penulis akan mengangkat masalah revitalisasi seni beluk. Hal ini dinilai penting dalam rangka membangkitkan kembali minat dan kecintaan masyarakat terhadap seni tradisi, khususnya seni beluk. Kiranya revitalisasi ini dapat terwujud dalam tatanan khasanah kesenian Jawa Barat, mengingat bahwa Negara Indonesia yang kaya akan budaya, seharusnya bisa memunculkan kesenian dari sub- kultur yang mencerminkan kebudayaan daerahnya.
Seni Beluk
Salah satu jenis kesenian rakyat yang terdapat di daerah Jawa Barat adalah seni beluk yang eksistensinya kurang dikenal masyarakat. Padahal kesenian tersebut merupakan local genius yang seharusnya dilestarikan dalam rangka revitalisasi kesenian tradisional. Kesenian beluk tergolong pada jenis seni vokal yang mempunyai gaya atau khas yang mandiri. Ciri khas tersebut memberikan warna lain dari vokal yang sering dibawakan oleh seni kepesindenan ataupun seni yang lebih mengutamakan vokal lainnya, baik itu dalam bentuk penyajiannya maupun dalam olah vokal yang dipergunakan. Dilihat dari latar belakangnya, seni beluk identik dengan masyarakat peladang, hal ini tampak ketika vokal yang dibawakan volume suaranya relatif lebih keras. Hal ini bermula dari kebiasaan masyarakat peladang, yang lokasi mereka berjauhan dari satu tempat ke tempat yang lainnya, sehingga untuk mengadakan komunikasi diperlukan suara yang keras. Yang kedua, beluk berawal ketika masyarakat yang bepergian melewati hutan sendirian. Untuk mengusir rasa sepi maka dia melakukan teriakan-teriakan untuk memberi tahu kalau ada orang lain yang ada di sekitar hutan tersebut.
Kebiasaan khas ini berkorelasi kuat dengan sifat dan karakter aktivitas budaya masyarakat ladang (agraris). Bentuk dan kontur lagu yang cenderung menggunakan nada tinggi, mengalun, dan meliku-liku adalah bagian dari ekspresi masyarakat ladang saat saling berkomunikasi sesama komunitasnya, yang mempunyai pola tinggal menetap namun saling berjauhan.
Dari kata ‘nada tinggi’ sudah mencerminkan bahwa kesenian beluk ini tidak lazim dikumandangkan di ruangan, tapi di alam bebas. Namun, pada perkembangannya beluk lazim terdengar di rumah-rumah penduduk. Ini terkait dengan pengaruh Wawacan4)- pembacaan kitab kuno yang dinyanyikan untuk ritual tertentu, misalnya ritual kelahiran bayi, acara hajatan, dan lain-lain. Secara evolutif, beluk dan wawacan telah bersanding dalam sajian musik vokal.
Beluk dan wawacan, akhirnya sangat berkaitan erat. Karena pengaruh wawacan, beluk pun terkait oleh pola pupuh dari bentuk lagu dan pola lagu, sebagaimana konsep tembang macapat yang berkembang di Jawa Tengah. Wawacan terikat oleh aturan pupuh yang telah ditentukan, seperti Kinanti, Dangdanggula, Asmarandana, Sinom, dan seterusnya.
Beluk dan wawacan dapat dikatakan bukan merupakan seni tontonan. Ia lebih bersifat personal, untuk menghibur diri, mengusir rasa kesepian, atau terutama untuk kepentingan ritual. Sebagai contoh, untuk kepentingan ritual kelahiran bayi, penyajiannya biasanya dilakukan di ruang tengah dan menggunakan tikar sebagai alas. Di tengah tikar disediakan sesaji aneka makanan dan minuman. Penyaji beluk duduk bersila, dan diapit oleh kaum kerabat keluarga yang mempunyai maksud, membentuk sebuah formasi melingkar.
Dalam penyajiannya, beluk memiliki beberapa istilah bagi orang-orang yang menyajikannya, diantaranya:
Tukang ngilo, adalah pembaca syair wawacan tanpa dinyanyikan (naratif) dalam tempo sedang, dengan artikulasi yang jelas. Dibaca per- padalisan (baris).
Tukang ngajual, fungsinya yaitu menyajikan syair yang dibacakan oleh tukang ngilo sesuai dengan pupuhnya, tetapi cara penyajiannya tanpa ornamen.
Tukang meuli, tugasnya adalah melanjutkan lagu yang disajikan oleh tukang ngajual dengan dilengkapi oleh ornamen-ornamennya.
Tukang naekeun, tugasnya adalah melanjutkan sajian tukang meuli dengan menggunakan nada yang melengking tinggi dan meliuk-liuk, dengan artikulasi yang tidak jelas. Dilengkapi dengan ornamentasi yang sangat dominan.
Peranan para penyaji beluk tersebut dilakukan secara bergiliran. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kondisi fisik dan suara, agar tetap fit (terjaga kesehatannya). Karena penyajian seni beluk ini disajikan pada waktu malam hari, dan biasanya dilakukan sampai cerita wawacan tamat.
Demografi
Dusun Cipulus terletak di sebuah areal perbukitan, di mana di sekelilingnya terhampar luas ladang dan sawah milik para penduduk. Lingkungannya masih kental dengan sifat kegotongroyongannya, sehingga sosialisasi di lingkungan masyarakatnya terjalin harmonis. Tingkat pendidikan di kampung tersebut rata-rata lulusan Sekolah Dasar. Masyarakat pada umumnya bekerja sebagai petani, penggarap sawah dan ladang. Hanya beberapa orang saja yang bekerja sebagai karyawan di pabrik-pabrik, itupun kebanyakan usia remaja.
Melimpah-ruahnya sumber daya alam ini membuat Kampung Cipulus tergolong sebagai masyarakat agraris yang letaknya hanya beberapa ratus meter saja dari Balai Desa Pasigaran, hanya dipisahkan oleh lembah-lembah dan sebuah aliran sungai. Di sekitarnya terhampar luas petak-petak sawah milik para penduduk sebagai lahan penghasil padi. Dari dusun Cipulus ini, apabila berjalan ke sebelah utara, berbatasan dengan Kampung Pasir Salam, dan ke sebelah selatan berbatasan dengan Kampung Lebak Peutag yang masih termasuk pada Desa Pasigaran.
Aktivitas masyarakat pada umumnya adalah bercocok tanam, menggarap sawah, huma dan palawija, yang merupakan hasil utama dari daerah Cipulus. Selain hasil pangannya dijual ke pasar, juga digunakan sebagai bahan makanan untuk mencukupi kehidupan mereka sehari-hari.
Seni Beluk Pusaka Mekar
Lingkung Seni Beluk Pusaka Mekar tepatnya berada di Kampung Cipulus Desa Pasigaran Kecamatan Tanjungsari, didirikan sekitar tahun 1980-an yang anggotanya terdiri dari 12 orang, merupakan sebuah lingkung seni Beluk yang keberadaanya sampai sekarang dinilai masih belum berkembang. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu kurangnya apresiasi masyarakat, kebijakan pemerintah mengenai pelestarian dan pengembangan, dan regenerasi. Salah satu faktor yang menyebabkan kurang berkembangnya seni beluk di Kampung Cipulus Desa Pasigaran Kecamatan Tanjungsari Kabupaten Sumedang terutama disebabkan oleh faktor regenerasi (wawancara dengan ketua Lingkung Seni ‘Pusaka Mekar’, Iya diriya, 18 Januari 2005).
Menurut narasumber, seni beluk Pusaka Mekar merupakan sebuah organisasi yang diketuai oleh Bapak Iya Diriya sendiri. Pada awal mulanya, seni beluk tersebut terbentuk karena didasari oleh keinginan beliau yang telah menguasai seni beluk, baik materinya maupun teknisnya. Berangkat dari keinginannya itu, Pak Iya mulai merintis sebuah organisasi yang bernama “Pusaka Mekar” yang artinya sesuatu yang dianggap buhun5) harus dimekarkan atau dikembangkan. Dalam hal latihan, lingkung seni “Pusaka mekar” ini melakukan latihan gabungan dengan sebuah lingkung seni di Cikaramas yang letaknya sebelah utara Kampung Cipulus.
Dengan hadirnya seni beluk- pada saat itu- tanggapan masyarakat di Kampung Cipulus sangat positif. Disamping sebagai hiburan, seni beluk juga digunakan sebagai upacara syukuran, misalnya syukuran pernikahan, kelahiran, syukuran hasil panen, dan lain-lain. Bahkan pernah terjadi syukuran kelahiran hewan peliharaan seseorang, sebagai ungkapan rasa syukur dia mengadakan selamatan di rumahnya dengan mempertunjukkan seni beluk. Dari contoh kasus tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa keberadaan seni Beluk pada saat itu di akui oleh masyarakat Cipulus. Akan tetapi, masalah yang paling utama adalah bagaimana agar seni beluk tetap eksis di kalangan masyarakat.
Menurut penuturan Pak Iya, bahwa saat ini pelatihan beluk sangat sulit untuk dilaksanakan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama; faktor usia para seniman beluk yang sudah relatif tua dan sudah jarang yang menguasai seni beluk, sehingga di Kampung Cipulus hanya ada beberapa orang saja yang masih kuat untuk membawakan beluk. Kedua; kurangnya minat generasi muda dalam hal pelestarian seni tradisi. Hal tersebut dapat dilihat dari perkembangan seni-seni yang bersifat modern yang mulai mengalami pengkristalan di kalangan generasi muda, dimana hal ini menyebabkan untuk berkembangnya sebuah kesenian tradisi, khususnya seni beluk. Ketiga; kurangnya dukungan dari instansi pemerintahan, hal ini juga sangat disayangkan oleh ketua Lingkung Seni Beluk “Pusaka Mekar”, mengapa sampai instansi pemerintahan pun dirasakan kurang peduli akan perkembangan seni tradisi, padahal seni merupakan sebuah jati diri bangsa. (wawancara dengan ketua Lingkung Seni ‘Pusaka Mekar’, Iya diriya, 18 Januari 2005). Hal ini masih menjadi tanda tanya sampai saat ini, mengapa instansi yang terkait tidak memperhatikan kesenian.
Hal di atas, merupakan salah satu dampak yang negatif terhadap tumbuh kembangnya seni beluk. Mengingat bahwa kesenian merupakan pencerminan dari identitas suatu bangsa, seharusnnya keberadaan kesenian tradisional mendapat kedudukan penting dalam tatanan budaya.
Masalah Regenerasi
Sistem pewarisan merupakan salah satu faktor penting dalam melanjutkan pembelajaran dalam mempelajari suatu jenis kesenian. Kesenian yang sudah mengalami perjalanan panjang-yang dilakukan oleh generasi tua, kemudian untuk melanjutkan keberadaannya memerlukan pewarisan yang dilakukan oleh kaum tua pada angkatan muda. Apabila kesenian yang sudah mendekati kepunahan akibat dari tidak adanya pewarisan, dalam arti keberadaannya kurang menunjukkan jati diri kesenian tersebut, karena berbagai faktor yang menyebabkan tersendatnya proses pewarisan itu, maka kemungkinan besar kesenian tersebut akan punah ditelan zaman.
Kembali pada persoalan seni beluk “Pusaka Mekar”, bahwa kesenian ini mengalami hal serupa, yakni tidak adanya pewarisan yang konsisten pada kompetensi yang dimiliki generasi muda saat ini. Hal ini merupkan suatu permasalahan yang mendasar dan belum ada solusinya yang tepat, sehingga kita tidak bisa menyalahkan sebelah pihak. Di satu sisi, pewarisan merupakan hal yang paling utama, dari sisi lain kompetensi yang dimiliki generasi muda kurang memadai akan hal ini, mereka cenderung tertarik pada musik modern (musik Barat) yang cenderung lebih atraktif. Barangkali keadaan seperti ini dipengaruhi oleh media informasi (media elektronik), mereka secara tidak langsung menangkap suatu hal yang baru6), sedangkan kesenian beluk dianggap kolot, tidak sesuai dengan karakteristik mereka yang cenderung progresif. Dari fenomena tersebut, maka timbul pertaanyaan, apakah seni beluk “Pusaka Mekar” ini akan tetap eksis di kalangan masyarakatnya, mengingat rumitnya permasalahan di dalamnya?
Beberapa Tawaran Solusi.
Kiranya keberadaan seni beluk “Pusaka Mekar” harus didukung oleh adanya pihak-pihak yang dapat mengangkat kembali keberadaan seni beluk. Hal tersebut dapat direalisasikan dengan adanya dukungan pemerintah setempat dan kerja sama di antara para seniman beluk di Kabupaten Sumedang. Tentunya regenerasi merupakan hal yang paling penting dalam tumbuh dan berkembangnya seni beluk “Pusaka mekar”. Upaya tersebut dapat ditempuh melalui adanya apresiasi secara langsung, dengan mengadakan diskusi tentang pentingnya pelestarian seni tradisi. Selain itu, barangkali perlu adanya rekonstruksi seni beluk, baik dari bentuk penyajiannya maupun bentuk lagu dan musiknya, apabila memang hal ini diperlukan untuk menetralisasi kejenuhan masyarakat pendukungnya.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa penyebab utama kurang berkembangnya seni beluk “Pusaka Mekar” yang terdapat di Kampung Cipulus adalah faktor regenerasi. Minat generasi muda terhadap kesenian beluk dinilai kurang, mereka lebih tertarik pada seni musik Barat. Hal ini dipengaruhi oleh gencarnya media informasi, sehingga secara tidak langsung mereka diajak untuk menghayati musik tersebut.
Pewarisan merupakan hal yang paling utama, dari sisi lain kompetensi yang dimiliki generasi muda kurang memadai akan hal ini, mereka cenderung tertarik pada musik modern (musik Barat) yang cenderung lebih atraktif. Barangkali keadaan seperti ini dipengaruhi oleh media informasi (media elektronik)
1) masyarakat ladang adalah masyarakat yang mata pencahariannya bercocok tanam di daerah pegunungan, yang menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian. Dan biasanya masyarakat ladang hidupnya berpindah-pindah atau semi nomaden.
2) kesenian keraton adalah sebuah bentuk kesenian yang bersifat primordial, lahir dari kalangan kaum menak ( ningrat ).
3) lihat Jeniffer Lindsay. Klasik, Kitsch, dan Kontemporer, 1990.
4) Kumpulan lagu-lagu pupuh dalam kitab kuno, yang menceritakan tentang sejarah.
6) hal ini berkaitan dengan gaya hidup, selera budaya asing sehingga generasi muda kita terpacu pada hangar bingar musik-musik popular. Salah satu contoh yaitu tayangan-tayangan di televisi
Pantun Sunda
Kehidupannya dalam Modernitas Masyarakat Saat Ini
Kesenian merupakan ungkapan budaya dari suatu masyarakat yang tertuang nilai-nilai estetis di dalamnya. Oleh karena itu, setiap masyarakat di dunia memiliki kesenian yang sesuai dengan identitas budayanya. Bangsa Indonesia yang terdiri dari beribu-ribu pulau memiliki keanekaragaman budaya, tentu saja beraneka ragam pula kesenian yang dimilikinya. Kesenian asli Indonesia yang memiliki corak khas tradisi mempunyai karakter dan ciri khas tersendiri yang tidak dapat di temukan di dunia mana pun.
Kesenian asli Indonesia cenderung menuju pada religiusitas, artinya segala aktivitas masyarakat atau kelompok dalam melangsungkan kehidupannya selalu dikaitkan dengan religiusitas. Kesenian Kelong sagala misalnya, masyarakat Tinggi Muncung Gowa Toraya Propinsi Sulawesi Selatan, selalu melakukan upacara ritual penyembuhan penyakit cacar apabila salah satu warga ada yang terjangkit penyakit cacar. Mereka menyanyikan mantram atau mantra untuk kesembuhan penyakit tersebut.
Di Jawa Barat kesenian-kesenian yang berbau mistis (dalam hal ini adanya pemujaan atau penghormatan terhadap yang di atas kodrat manusia) masih dirasakan saat ini. Masyarakat Rancakalong Kab. Sumedang selalu mengadakan upacara ngalaksa setelah panen padi sebagai bentuk syukur terhadap Tuhan. Dalam upacara tersebut di gelar kesenian tarawangsa sebagai penghibur sekaligus pengundang ruh leluhur masyarakat setempat. Upacara tersebut melibatkan seluruh lapisan masyarakat yang berada di desa tersebut dengan tujuan yang sama, yakni untuk mendapatkan kesejahteraan hidup.
Lain halnnya dengan kesenian pantun Sunda, yang tergolong pada bentuk teater tutur dan diiringi kecapi sebagai pengiringnya ini menarik masyarakat pendukungnya untuk lebih menggerakkan emosi keagamaan (yang mendorong manusia berprilaku religi) mereka dengan mengadakan upacara ruatan (selamatan penolak bala) atau hanya sekedar hiburan. Di Jawa Barat keberadaan pantun antara lain terdapat di Banten, Bogor, Kuningan, dan Bandung, yang keberadaannya dalam fungsi sosial adalah untuk upacara sakral yang dianggap penting dalam kehidupan masyarakat yang meyakininya. Sebagian masyarakat yang percaya mempergelarkan pantun sebagai bentuk rasa syukur terhadap Yang Maha Kuasa dan ruh leluhur. Isi cerita pantun yang identik dengan mitologi Sunda sarat akan makna yang terkandung di dalamnya dapat dijadikan pandangan hidup bahkan prinsip hidup. Gejala sosial ini merupakan satu bentuk keterkaitan emosi untuk melakukan aktivitas religius dalam kehidupan sosial yang memiliki tujuan yang sama, yakni keselamatan hidup yang didambakan manusia manapun.
Kesenian merupakan ungkapan budaya dari suatu masyarakat yang tertuang nilai-nilai estetis di dalamnya. Oleh karena itu, setiap masyarakat di dunia memiliki kesenian yang sesuai dengan identitas budayanya. Bangsa Indonesia yang terdiri dari beribu-ribu pulau memiliki keanekaragaman budaya, tentu saja beraneka ragam pula kesenian yang dimilikinya. Kesenian asli Indonesia yang memiliki corak khas tradisi mempunyai karakter dan ciri khas tersendiri yang tidak dapat di temukan di dunia mana pun.
Kesenian asli Indonesia cenderung menuju pada religiusitas, artinya segala aktivitas masyarakat atau kelompok dalam melangsungkan kehidupannya selalu dikaitkan dengan religiusitas. Kesenian Kelong sagala misalnya, masyarakat Tinggi Muncung Gowa Toraya Propinsi Sulawesi Selatan, selalu melakukan upacara ritual penyembuhan penyakit cacar apabila salah satu warga ada yang terjangkit penyakit cacar. Mereka menyanyikan mantram atau mantra untuk kesembuhan penyakit tersebut.
Di Jawa Barat kesenian-kesenian yang berbau mistis (dalam hal ini adanya pemujaan atau penghormatan terhadap yang di atas kodrat manusia) masih dirasakan saat ini. Masyarakat Rancakalong Kab. Sumedang selalu mengadakan upacara ngalaksa setelah panen padi sebagai bentuk syukur terhadap Tuhan. Dalam upacara tersebut di gelar kesenian tarawangsa sebagai penghibur sekaligus pengundang ruh leluhur masyarakat setempat. Upacara tersebut melibatkan seluruh lapisan masyarakat yang berada di desa tersebut dengan tujuan yang sama, yakni untuk mendapatkan kesejahteraan hidup.
Lain halnnya dengan kesenian pantun Sunda, yang tergolong pada bentuk teater tutur dan diiringi kecapi sebagai pengiringnya ini menarik masyarakat pendukungnya untuk lebih menggerakkan emosi keagamaan (yang mendorong manusia berprilaku religi) mereka dengan mengadakan upacara ruatan (selamatan penolak bala) atau hanya sekedar hiburan. Di Jawa Barat keberadaan pantun antara lain terdapat di Banten, Bogor, Kuningan, dan Bandung, yang keberadaannya dalam fungsi sosial adalah untuk upacara sakral yang dianggap penting dalam kehidupan masyarakat yang meyakininya. Sebagian masyarakat yang percaya mempergelarkan pantun sebagai bentuk rasa syukur terhadap Yang Maha Kuasa dan ruh leluhur. Isi cerita pantun yang identik dengan mitologi Sunda sarat akan makna yang terkandung di dalamnya dapat dijadikan pandangan hidup bahkan prinsip hidup. Gejala sosial ini merupakan satu bentuk keterkaitan emosi untuk melakukan aktivitas religius dalam kehidupan sosial yang memiliki tujuan yang sama, yakni keselamatan hidup yang didambakan manusia manapun.
Saturday, 14 February 2009
Topeng Cirebon
Khazanah seni yang membumi
Oleh
Aji Permana Sudjamza, S. Sn.
Ketegangan antara budaya massa dan kesenian tradisional sudah menjadi dampak dari globalisasi saat ini. Keadaan tersebut membuat kita menjadi ingin lebih mengenal kesenian yang kita miliki, mengapresiasi, merevitalisasi, mengangkatnya, serta memahami substansi tradisional sehingga diharapkan mampu menumbuhkan rasa memiliki dan menghargai. Celakanya, dampak dari globalisasi menghanyutkan persepsi seni tradisional sehingga terjebak dalam alienasi budayanya sendiri.
Salah satu kesenian tradisional yang mengalami ketegangan tersebut adalah topeng cirebon. Saat masyarakat kita mengalami ekstase oleh budaya populer yang notabene berasal dari Barat (Amerika, Eropa, dsb), saat itu pula penghargaan terhadap seni tradisi topeng cirebon mulai berkurang. Padahal topeng cirebon merupakan local genius yang mencerminkan identitas masyarakat Cirebon. Dilema memang, ketika kita membuka diri untuk mengenal modernitas, nilai-nilai lama akan pudar dan mulai muncul nilai-nilai baru dalam tatanan hidup masyarakat. Apalagi sebagian besar masyarakat kita adalah karakter masyarakat yang konsumtif, tentu saja akan sangat mudah menerima nilai baru itu.
Topeng cirebon adalah nilai-nilai lama kaum aristokrat. Pada zaman dahulu pertunjukkan topeng cirebon tidak hanya sebagai tontonan, melainkan tuntunan bagi masyarakat pendukungnya. Kesenian ini mengalami perjalanan panjang dalam kurun waktu yang cukup lama, mengarungi dimensi waktu yang terus bergulir dan bersinggungan dengan genre kesenian lain yang dikatakan ‘modern’. Tak jarang jika generasi sekarang tingkat penghayatannya hanya sebatas tontonan atau pertunjukkan untuk hiburan saja, dan terkadang menganggap pertunjukkannya terasa membosankan. Padahal apabila kita mengetahui latar belakangnya, terdapat nilai-nilai filosofis kehidupan kepercayaan masyarakat lama.
Budaya keraton di Indonesia tidak lepas dari unsur kesenian yang merupakan pengungkapan estetik dalam kehidupan sosialnya. Kesenian digunakan untuk kepentingan sakral dan profan dalam aktivitas kehidupan masyarakatnya. Demikian pun dengan masyarakat Cirebon feodal primordial, kesenian (topeng cirebon) dijadikan satu objek pengungkapan penyadaran diri pada Yang Maha Kuasa melalui ekspresi keindahan.
JIka demikian, tentu saja masyarakat Cirebon memiliki warisan berharga yang tertuang nilai-nilai budaya lama. Ada artefak budaya yang fenomenal, yakni topeng cirebon.
Sekilas perjalanan pertunjukkannya
Entah zaman mana kesenian ini lahir dan siapa penciptanya, sampai saat ini masih tanda tanya. Ada yang menyebutkan topeng cirebon sudah populer pada kerajaan Majapahit antara tahun 1300 – 1400 tarikh masehi. Dalam Negarakertagama dan Paraton, Raja Majapahit, Hayam Wuruk menari topeng (kedok) yang terbuat dari emas (atapel, anapuk) di lingkungan kaum perempuan istana Majapahit. Pada awalnya pun, topeng cirebon dipertunjukkan hanya untuk kaum perempuan di lingkungan keraton. Menurut beberapa literature, tari topeng dilakukan oleh para raja yang ditonton oleh kaum perempuan (istri-istri raja, adik-adik perempuan raja, ipar-ipar perempuan raja, ibu mertua raja, dan ibunda raja).
Semenjak Cirebon diduduki oleh kekuasaan kolonial Belanda, di bawah pimpinan Mas Galak, Gubernur Jenderal Daendels. Raja keraton tidak diperkenankan mememerintah secara otonom, sehingga untuk mememelihara kesenian itu hanya mengandalkan “gaji” yang diberikan oleh pemerintah Belanda. Maka tak jarang apabila para penari topeng keraton dan penabuh gamelan keluar dari keraton menuju ke pedesaan dan meneruskan pewarisannnya, sehingga muncullah gaya-gaya tari topeng cirebon. Kebebasan ini menyebabkan setiap penari atau setiap daerah memiliki cara penyajian atau gaya berbeda berdasarkan penampilan penari, seperti dikenal gaya Rasinah, gaya Sudjana, Gaya Sawitri, dll. Berdasarkan daerah perkembangannya dikenal gaya topeng Slangit, gaya topeng Losari, dll.
Dewasa ini, pertunjukkan topeng cirebon mengalami pergeseran fungsi. Zaman dahulu menarikan topeng merupakan kontemplasi, sebab esensi tarian (gerak tubuh) merupakan implementasi simbol penyadaran diri, sakral – ritual yang dilakukan di lingkungan keraton. Berbeda dengan sekarang, pertunjukkan topeng cirebon dipergelarkan pada acara kenduri atau hajatan dan pada acara-acara tertentu untuk kepentingan masyarakat yang lebih bersifat profan – hiburan. Untuk kepentingan itu pun frekuensi pertunjukkannya dinilai kurang, sehingga tak jarang apabila seniman (penari dan penabuh gamelan) lebih mengencangkan ikat pinggang demi mengangkat seni tradisi dan untuk kesejahteraan hidupnya.
Nilai-nilai religi
Sumber cerita pada pertunjukkan topeng cirebon diambil dari cerita panji yang mengisahkan kepahlawanan tokoh utamanya yang dikenal dengan Raden Panji. Tokoh utama dan tokoh lainnya dalam cerita tersebut digambarkan melalui karakter kedok seperti halus, lincah, gagah, kasar, yang menampilkan pula suatu peran dalam status hirarki kerajaan seperti raja, patih, tumenggung dan satria. Ke-4 peran tersebut menunjukan hirarki pada sistem kerajaan masa lalu, hal ini karena topeng cirebon mengambil cerita dari cerita Panji, cerita tersebut menyebut 4 kerajaan hindu di Jawa yaitu Koripan, Daha, Urawan, dan Singosari, cerita panji pertama kali dikenal pada abad ke-11 dan 12. Peran-peran hirarki kerajaan diwujudkan dalam karakterisasi kedok yang menampilkan tokoh Panji (Inukertapati, Kudawingpati), Pamindo, Patih (Jayabadra), Tumenggung (Mangandiraja), Jingga anom, Klana, dan rumyang.
Dengan masuknya pengaruh Islam dalam perkembangan Topeng Cirebon, peran yang menggunakan lima karakter kedok untuk tokoh Panji, Pamindo, Rumyang, Tumenggung Mangandiraja, dan Klana diinterpretasikan sebagai gambaran akhlak manusia (baik, jujur, bijaksana, dan serakah angkara murka) serta perkembangan jiwa manusia dari bayi, anak-anak remaja, sampai dewasa. Menurut beberapa sumber tertulis, tari topeng menjalankan misi dakwah keagamaan kepada tata cara mendalami Islam di cirebon yang mempunyai empat tingkatan yaitu Syariat pada Klana, Tumenggung pada tingkatan Tarekat, Pamindo pada tingkatan hakekat dan makrifat pada Panji. Selain itu, ada yang berpendapat bahwa topeng merupakan ambivalensi sifat manusia; Panji, Pamindo, dan Tumenggung adalah gambaran nafsu baik manusia, sedangkan Klana gambaran nafsu buruk, Rumyang menggambarkan manusia yang baru sadar melihat dunia, penuh keragu-raguan dalam mencari jalan hidupnya.
Terdapat interpretasi mengenai filosofi topeng cirebon yang fundamental dari konteks kepercayaan lama masyarakatnya. Menurut Jakob Sumardjo, budayawan, dari lima rangkaian tari topeng cirebon yang paling utama adalah topeng panji, sebab Panji adalah masterpiece topeng cirebon. Lihat saja gerakan tarinya yang terbatas, bahkan seolah-olah diam. Tempo iringan gamelannya cepat, sedangkan gerakan tariannya minimalis. Menurutnya, di sinilah simbol konsep religi kepercayaan lama, asal mula Sang Hyang Tunggal Hindu-Budha. Gerak itu diam, diam itu gerak, kosong itu penuh, penuh itu kosong, di dalamnya mutlak tunggal tidak ada perbedaan. Itulah mengapa topeng panji putih bersih tanpa ornamen, tidak bisa dibedakan laki-laki atau perempuan, itulah yang disebut kosong. Sedangkan iringan gamelan yang relatif cepat, itulah esensi gerak, semuanya dalam satu kesatuan, tunggal.
Kemudian, Sang Hyang Tunggal menurunkan sifat ciptaannya dualisme antagonistik, seperti terang-gelap, lelaki-perempuan, baik-buruk, dsb. Dalam topeng cirebon, Panji membelah menjadi aneka warna, Pamindo-Rumyang (perempuan) dan Tumenggung-Klana (laki-laki), dualisme yang paradoks. Itulah transformasi Sang Hyang Tunggal yang disimbolkan pada topeng cirebon.
Konsep yang luar biasa, sebab seni diciptakan untuk menghaluskan budi penghayatnya, bukan sebaliknya. Pada dasarnya seni memiliki hubungan timbal balik dengan kebutuhan manusia, apabila seni diciptakan memberikan manfaat bagi kehidupan manusia maka tercapailah esensi seni yang sesungguhnya. Tetapi apabila seni tidak memberikan apa-apa bagi kehidupan manusia, maka seni tidak bermanfaat, karena tidak dapat menentramkan batin dan kehalusan budi yang menghayatinya. Sungguh karya seni yang adiluhung, masyarakat Cirebon primordial mampu menciptakan karya dengan daya intelektual, padahal empu topeng cirebon ini hidup pada masa lampau. Mampukah kita menciptakan karya seni seperti itu?.
Harapan dan realitas
Tradisi adalah penurunan norma-norma yang dilakukan secara turun-temurun, tidak menutup kemungkinan apabila dalam pewarisannya mengalami perubahan pada bagian-bagiannya dan cenderung bersinggungan dengan budaya luar yang menawarkan genre kesenian baru. Keadaan ini dialami oleh sebagian besar kesenian tradisional di Indonesia.
Masyarakat kita bukan tipikal masyarakat yang mengisolir diri, terkungkung dengan budayanya (etnosentris). Pada masa transisi saat ini cenderung terjadi perubahan gaya hidup, pola pikir, dan perubahan adat dalam sosio – budaya masyarakat. Perubahan yang bersifat progresif dan konstruktif akan lebih memperkaya khazanah seni budaya kita, tetapi apabila perubahan itu mengalami involusi, siap-siap saja kita kehilangan salah satu produk budaya kita, identitas, dan jatidiri. Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki produk budaya yang tertuang nilai-nilai budayanya. Melestarikan, merekonstruksi, dan merevitalisasi merupakan belaian sayang untuk membangunkan kesenian lokal yang sedang tertidur.
Ironis, ketika orang-orang luar negeri menyaksikan, meneliti, dan mempelajari topeng cirebon untuk di bawa ke negaranya, sementara masyarakat kita terbuai dengan penawaran-penawaran karya seni dari budaya luar. Apabila keadaannya demikian, lantas kesenian ini milik siapa?. Pepatah mengatakan “tak kenal, maka tak sayang”, mengenal kemudian timbul rasa peduli dan memiliki
Sudah saatnya kita memberikan penghargaan yang sepantasnya pada seniman tradisi dan benda seninya, topeng cirebon. Menjaga nilai dan mengangkatnya memerlukan partisipasi dari berbagai pihak dan lapisan masyarakat, bukan individu atau kelompok tertentu. Meningkatkan apresiasi masyarakat (terutama kaum muda) dengan berbagai tantangannya merupakan langkah konkret menuju intensitas kesenian yang membumi.
Oleh
Aji Permana Sudjamza, S. Sn.
Ketegangan antara budaya massa dan kesenian tradisional sudah menjadi dampak dari globalisasi saat ini. Keadaan tersebut membuat kita menjadi ingin lebih mengenal kesenian yang kita miliki, mengapresiasi, merevitalisasi, mengangkatnya, serta memahami substansi tradisional sehingga diharapkan mampu menumbuhkan rasa memiliki dan menghargai. Celakanya, dampak dari globalisasi menghanyutkan persepsi seni tradisional sehingga terjebak dalam alienasi budayanya sendiri.
Salah satu kesenian tradisional yang mengalami ketegangan tersebut adalah topeng cirebon. Saat masyarakat kita mengalami ekstase oleh budaya populer yang notabene berasal dari Barat (Amerika, Eropa, dsb), saat itu pula penghargaan terhadap seni tradisi topeng cirebon mulai berkurang. Padahal topeng cirebon merupakan local genius yang mencerminkan identitas masyarakat Cirebon. Dilema memang, ketika kita membuka diri untuk mengenal modernitas, nilai-nilai lama akan pudar dan mulai muncul nilai-nilai baru dalam tatanan hidup masyarakat. Apalagi sebagian besar masyarakat kita adalah karakter masyarakat yang konsumtif, tentu saja akan sangat mudah menerima nilai baru itu.
Topeng cirebon adalah nilai-nilai lama kaum aristokrat. Pada zaman dahulu pertunjukkan topeng cirebon tidak hanya sebagai tontonan, melainkan tuntunan bagi masyarakat pendukungnya. Kesenian ini mengalami perjalanan panjang dalam kurun waktu yang cukup lama, mengarungi dimensi waktu yang terus bergulir dan bersinggungan dengan genre kesenian lain yang dikatakan ‘modern’. Tak jarang jika generasi sekarang tingkat penghayatannya hanya sebatas tontonan atau pertunjukkan untuk hiburan saja, dan terkadang menganggap pertunjukkannya terasa membosankan. Padahal apabila kita mengetahui latar belakangnya, terdapat nilai-nilai filosofis kehidupan kepercayaan masyarakat lama.
Budaya keraton di Indonesia tidak lepas dari unsur kesenian yang merupakan pengungkapan estetik dalam kehidupan sosialnya. Kesenian digunakan untuk kepentingan sakral dan profan dalam aktivitas kehidupan masyarakatnya. Demikian pun dengan masyarakat Cirebon feodal primordial, kesenian (topeng cirebon) dijadikan satu objek pengungkapan penyadaran diri pada Yang Maha Kuasa melalui ekspresi keindahan.
JIka demikian, tentu saja masyarakat Cirebon memiliki warisan berharga yang tertuang nilai-nilai budaya lama. Ada artefak budaya yang fenomenal, yakni topeng cirebon.
Sekilas perjalanan pertunjukkannya
Entah zaman mana kesenian ini lahir dan siapa penciptanya, sampai saat ini masih tanda tanya. Ada yang menyebutkan topeng cirebon sudah populer pada kerajaan Majapahit antara tahun 1300 – 1400 tarikh masehi. Dalam Negarakertagama dan Paraton, Raja Majapahit, Hayam Wuruk menari topeng (kedok) yang terbuat dari emas (atapel, anapuk) di lingkungan kaum perempuan istana Majapahit. Pada awalnya pun, topeng cirebon dipertunjukkan hanya untuk kaum perempuan di lingkungan keraton. Menurut beberapa literature, tari topeng dilakukan oleh para raja yang ditonton oleh kaum perempuan (istri-istri raja, adik-adik perempuan raja, ipar-ipar perempuan raja, ibu mertua raja, dan ibunda raja).
Semenjak Cirebon diduduki oleh kekuasaan kolonial Belanda, di bawah pimpinan Mas Galak, Gubernur Jenderal Daendels. Raja keraton tidak diperkenankan mememerintah secara otonom, sehingga untuk mememelihara kesenian itu hanya mengandalkan “gaji” yang diberikan oleh pemerintah Belanda. Maka tak jarang apabila para penari topeng keraton dan penabuh gamelan keluar dari keraton menuju ke pedesaan dan meneruskan pewarisannnya, sehingga muncullah gaya-gaya tari topeng cirebon. Kebebasan ini menyebabkan setiap penari atau setiap daerah memiliki cara penyajian atau gaya berbeda berdasarkan penampilan penari, seperti dikenal gaya Rasinah, gaya Sudjana, Gaya Sawitri, dll. Berdasarkan daerah perkembangannya dikenal gaya topeng Slangit, gaya topeng Losari, dll.
Dewasa ini, pertunjukkan topeng cirebon mengalami pergeseran fungsi. Zaman dahulu menarikan topeng merupakan kontemplasi, sebab esensi tarian (gerak tubuh) merupakan implementasi simbol penyadaran diri, sakral – ritual yang dilakukan di lingkungan keraton. Berbeda dengan sekarang, pertunjukkan topeng cirebon dipergelarkan pada acara kenduri atau hajatan dan pada acara-acara tertentu untuk kepentingan masyarakat yang lebih bersifat profan – hiburan. Untuk kepentingan itu pun frekuensi pertunjukkannya dinilai kurang, sehingga tak jarang apabila seniman (penari dan penabuh gamelan) lebih mengencangkan ikat pinggang demi mengangkat seni tradisi dan untuk kesejahteraan hidupnya.
Nilai-nilai religi
Sumber cerita pada pertunjukkan topeng cirebon diambil dari cerita panji yang mengisahkan kepahlawanan tokoh utamanya yang dikenal dengan Raden Panji. Tokoh utama dan tokoh lainnya dalam cerita tersebut digambarkan melalui karakter kedok seperti halus, lincah, gagah, kasar, yang menampilkan pula suatu peran dalam status hirarki kerajaan seperti raja, patih, tumenggung dan satria. Ke-4 peran tersebut menunjukan hirarki pada sistem kerajaan masa lalu, hal ini karena topeng cirebon mengambil cerita dari cerita Panji, cerita tersebut menyebut 4 kerajaan hindu di Jawa yaitu Koripan, Daha, Urawan, dan Singosari, cerita panji pertama kali dikenal pada abad ke-11 dan 12. Peran-peran hirarki kerajaan diwujudkan dalam karakterisasi kedok yang menampilkan tokoh Panji (Inukertapati, Kudawingpati), Pamindo, Patih (Jayabadra), Tumenggung (Mangandiraja), Jingga anom, Klana, dan rumyang.
Dengan masuknya pengaruh Islam dalam perkembangan Topeng Cirebon, peran yang menggunakan lima karakter kedok untuk tokoh Panji, Pamindo, Rumyang, Tumenggung Mangandiraja, dan Klana diinterpretasikan sebagai gambaran akhlak manusia (baik, jujur, bijaksana, dan serakah angkara murka) serta perkembangan jiwa manusia dari bayi, anak-anak remaja, sampai dewasa. Menurut beberapa sumber tertulis, tari topeng menjalankan misi dakwah keagamaan kepada tata cara mendalami Islam di cirebon yang mempunyai empat tingkatan yaitu Syariat pada Klana, Tumenggung pada tingkatan Tarekat, Pamindo pada tingkatan hakekat dan makrifat pada Panji. Selain itu, ada yang berpendapat bahwa topeng merupakan ambivalensi sifat manusia; Panji, Pamindo, dan Tumenggung adalah gambaran nafsu baik manusia, sedangkan Klana gambaran nafsu buruk, Rumyang menggambarkan manusia yang baru sadar melihat dunia, penuh keragu-raguan dalam mencari jalan hidupnya.
Terdapat interpretasi mengenai filosofi topeng cirebon yang fundamental dari konteks kepercayaan lama masyarakatnya. Menurut Jakob Sumardjo, budayawan, dari lima rangkaian tari topeng cirebon yang paling utama adalah topeng panji, sebab Panji adalah masterpiece topeng cirebon. Lihat saja gerakan tarinya yang terbatas, bahkan seolah-olah diam. Tempo iringan gamelannya cepat, sedangkan gerakan tariannya minimalis. Menurutnya, di sinilah simbol konsep religi kepercayaan lama, asal mula Sang Hyang Tunggal Hindu-Budha. Gerak itu diam, diam itu gerak, kosong itu penuh, penuh itu kosong, di dalamnya mutlak tunggal tidak ada perbedaan. Itulah mengapa topeng panji putih bersih tanpa ornamen, tidak bisa dibedakan laki-laki atau perempuan, itulah yang disebut kosong. Sedangkan iringan gamelan yang relatif cepat, itulah esensi gerak, semuanya dalam satu kesatuan, tunggal.
Kemudian, Sang Hyang Tunggal menurunkan sifat ciptaannya dualisme antagonistik, seperti terang-gelap, lelaki-perempuan, baik-buruk, dsb. Dalam topeng cirebon, Panji membelah menjadi aneka warna, Pamindo-Rumyang (perempuan) dan Tumenggung-Klana (laki-laki), dualisme yang paradoks. Itulah transformasi Sang Hyang Tunggal yang disimbolkan pada topeng cirebon.
Konsep yang luar biasa, sebab seni diciptakan untuk menghaluskan budi penghayatnya, bukan sebaliknya. Pada dasarnya seni memiliki hubungan timbal balik dengan kebutuhan manusia, apabila seni diciptakan memberikan manfaat bagi kehidupan manusia maka tercapailah esensi seni yang sesungguhnya. Tetapi apabila seni tidak memberikan apa-apa bagi kehidupan manusia, maka seni tidak bermanfaat, karena tidak dapat menentramkan batin dan kehalusan budi yang menghayatinya. Sungguh karya seni yang adiluhung, masyarakat Cirebon primordial mampu menciptakan karya dengan daya intelektual, padahal empu topeng cirebon ini hidup pada masa lampau. Mampukah kita menciptakan karya seni seperti itu?.
Harapan dan realitas
Tradisi adalah penurunan norma-norma yang dilakukan secara turun-temurun, tidak menutup kemungkinan apabila dalam pewarisannya mengalami perubahan pada bagian-bagiannya dan cenderung bersinggungan dengan budaya luar yang menawarkan genre kesenian baru. Keadaan ini dialami oleh sebagian besar kesenian tradisional di Indonesia.
Masyarakat kita bukan tipikal masyarakat yang mengisolir diri, terkungkung dengan budayanya (etnosentris). Pada masa transisi saat ini cenderung terjadi perubahan gaya hidup, pola pikir, dan perubahan adat dalam sosio – budaya masyarakat. Perubahan yang bersifat progresif dan konstruktif akan lebih memperkaya khazanah seni budaya kita, tetapi apabila perubahan itu mengalami involusi, siap-siap saja kita kehilangan salah satu produk budaya kita, identitas, dan jatidiri. Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki produk budaya yang tertuang nilai-nilai budayanya. Melestarikan, merekonstruksi, dan merevitalisasi merupakan belaian sayang untuk membangunkan kesenian lokal yang sedang tertidur.
Ironis, ketika orang-orang luar negeri menyaksikan, meneliti, dan mempelajari topeng cirebon untuk di bawa ke negaranya, sementara masyarakat kita terbuai dengan penawaran-penawaran karya seni dari budaya luar. Apabila keadaannya demikian, lantas kesenian ini milik siapa?. Pepatah mengatakan “tak kenal, maka tak sayang”, mengenal kemudian timbul rasa peduli dan memiliki
Sudah saatnya kita memberikan penghargaan yang sepantasnya pada seniman tradisi dan benda seninya, topeng cirebon. Menjaga nilai dan mengangkatnya memerlukan partisipasi dari berbagai pihak dan lapisan masyarakat, bukan individu atau kelompok tertentu. Meningkatkan apresiasi masyarakat (terutama kaum muda) dengan berbagai tantangannya merupakan langkah konkret menuju intensitas kesenian yang membumi.
Monday, 9 February 2009
Pantun Sunda: Ritual
Upacara Ruatan Melalui Media Pantun Sunda
a. Pengertian Ruat
Ruat (Ngaruat atau ngalokat) dapat dikatakan selamatan untuk menolak bala yang dapat mendatangkan keselamatan dan kesejahteraan hidup. Hal tersebut merupakan penetralisir dari ancaman dan bahaya yang senantiasa dialami manusia. Netralisasi biasanya terjadi dengan mengucapkan kalimat sakti, seperti mantra, rajah, jampi, atau dengan penyembelihan, sesaji, mandi bunga (Rachmat Subagya, 1981:76). Prosesi tersebut tidak lepas dari manifestasi yang gaib, baik Tuhan atau ruh leluhur dalam upacara ritualnya. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas tersebut mengandung pengaruh monoteisme, Tuhan yang tunggal bersifat baik dan adil yang kemudian menciptakan makhluk ciptaan-Nya yang bersifat gaib, dan manusia melakukan penyadaran diri terhadap makhluk halus tersebut yang mengambil jarak terhadap Tuhan dan menyembahnya. Kepercayaan tersebut disebut animisme, yakni menunjukkan kepercayaan akan roh-roh halus yang berdiri lepas dari manusia dan yang campur dalam urusan insani (Rachmat Subagya, ibid).
Ngaruat merupakan bentuk ritus yang pengungkapannya keberadaan manusia untuk mendapatkan keselamatan yang dilakukan dengan berbagai macam tata cara prosesinya. Prosesi ngaruat tersebut, biasanya dilakukan dalam pembersihan desa, kelahiran bayi, pembuatan rumah, dan sebagainya. Semua itu dilakukan untuk mendapatkan atau mengharapkan keselamatan dari Yang Maha Kuasa.
Ngaruat dapat di klasifikasikan dalam 2 jenis ruatan, yakni ngaruat manusia dan ngaruat benda. Ngaruat manusia, terdapat ciri-ciri orang yang harus diruat atau sukerta, yakni spesifikasi orang yang harus diruat. Ngaruat benda, biasanya dilakukan untuk benda-benda yang dianggap perlu diruat, biasanya ruatan tersebut; ngaruat bangunan baru, pembuatan rumah, dan netepkeun pare (setelah panen padi). [1]
Kepercayaan ngaruat oleh sebagian masyarakat Sunda masih diyakini dapat mendatangkan keselamatan, biasanya prosesi ngaruat dapat dilakukan melalui media kesenian sebagai sarananya. Selain kesenian wayang, pantun pun dapat dijadikan media dalam prosesi ngaruat. Upacara ngaruat memiliki tujuan untuk pembersihan diri yang bersifat rohani, penetralisir keadaan diri yang ternoda secara bathin (dosa), atau keadaan-keadaan tertentu karena terdapat gangguan dari mahkluk halus, dsb., yang dianggap dapat mendatangkan kesialan atau marabahaya yang menimpa manusia. Terdapat beberapa sukerta (orang yang harus diruat) yang dianggap perlu diadakan ruatan agar terhindar dari bahaya atau kesialan yang dapat menimpa orang tersebut. [2]
a. Stimulasi Emosi Keagamaan
Pantun dijadikan media penghubung antara manusia dan mahluk halus atau sesuatu yang gaib dalam kehidupan manusia. Hal tersebut tercermin dalam melakukan upacara ruatan yang identik dengan pemintaan keselamatan hidup terhadap Tuhan dan ruh leluhur (karuhun) yang dianggap menduduki tempat tertinggi di atas manusia, sehingga melahirkan sikap emosi keagamaan masyarakat yang mempercayainya.
Emosi keagamaan yang dimaksud adalah tindakan yang mendorong manusia berprilaku serba religi, artinya terdapat suatu rangsangan yang dapat menggetarkan nuraninya dalam rangka penyadaran diri terhadap Tuhan, ruh leluhur, mahkluk halus yang lebih tinggi kedudukannya di atas kodrat manusia (Koentjaraningrat: ibid hal. 202). Emosi keagamaan sebagai salah satu kegelisahan atau penyingkapan suatu gejala yang tidak dapat diukur dengan akal manusia, sehingga manusia berusaha mencari jawabannya.
“Menganai masalah apakah emosi itu disebabkan karena manusia sadar akan adanya makhluk halus yang menempati alam sekeliling tempat tinggalnya, dan berasal dari jiwa orang-orang yang sudah meninggal; karena manusia takut menghadap berbagai krisis dalam hidupnya; tak mampu menjelaskan berbagai gejala dengan akalnya; percaya adanya kekuatan sakti dalam alam; menerima wahyu; atau karena gabungan dari semua sebab itu Emosi keagamaan yang mendasari setiap prilaku yang serba religi itu menyebabkan timbulnya sifat keramat dari perilaku itu, dan sifat itu pada gilirannya memperoleh nilai keramat”
Masyarakat yang menghormati kesenian tradisional yang identik dengan dunia mistis terhanyut oleh kesadaran akan kekuatan adikodrati. Penghayat pantun berusaha luruh pada kehendak gaib yang berada di lingkungannya dengan memenuhi segala permintaan makhluk gaib atau ruh leluhur.[3] Masyarakat pendukung pantun berasal dari berbagai lapisan masyarakat, mulai dari rakyat biasa hingga orang-orang yang menempati kedudukan tinggi di masyarakat. Mereka menjadikan pantun sebagai media untuk memenuhi keinginan mereka atau mereka mempunyai maksud dan tujuan untuk kepentingan hidupnya. Sebelum pertunjukan direncanakan, mereka mengungkapkan keinginannya kepada prepantun atau juru pantun untuk memenuhi niatnya dengan menggelar cerita pantun.
Dalam hal ini terjalin hubungan antara individu dan seniman pantun (juru pantun) atau dapat berupa hubungan antara individu dan kelompok. Terjalin kontak sosial sebagai proses sosial untuk menjalin kerjasama dalam mewujudkan tujuan yang sama.[4] Masyarakat, kelompok, dan individu mewujudkan kebutuhan-kebutuhan hidup yang senantiasa dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Orang yang menanggap pantun dan seniman pantun menjalin kerjasama yang menimbulkan timbalbalik. Penanggap pantun mendapatkan keselamatan atau keinginannya terwujud setelah upacara ritual terlaksana, sedangkan seniman pantun (juru pantun) mendapatkan jasa berupa materi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Masyarakat atau orang-perorang penghayat pantun mendapatkan keuntungan yang bersifat rohani (ketentraman batin) dan jasmani (kesejahteraaan hidup, kesehatan, dsb.).
b. Cerita Pantun dalam Upacara Ruatan
Telah disebutkan dalam Bab II, bahwa pantun tergolong pada bentuk sastra lisan yang menceritakan mitos-mitos tokoh legenda Sunda. Seniman pantun, yakni juru pantun menganggap bahwa cerita-cerita tersebut merupakan cerita suci yang memiliki nilai keramat. Cerita tersebut dapat dikatakan Kesusastraan suci yang megandung suatu kompleks konsepsi–konsepsi dan dongeng–dongeng suci mengenai sifat-sifat dan kehidupan dewa-dewa serta mahkluk–makhluk halus lainnya (yaitu mitologi). Ketika cerita pantun dikisahkan, seolah-olah mengulang kembali kosmos di mana kisah tersebut terjadi pada masanya. Menceritakan cerita tersebut seakan-akan mengulang kembali waktu mitos (mytical time) dengan seluruh kosmos diharapkan dapat menetralisir keadaan dunia yang tidak seimbang, ini yang dimaksud Marceu Eliade mengenai waktu mitos.
Biasanya cerita-cerita pantun memiliki cerita khusus untuk upacara ruatan, cerita tersebut yang berkaitan dengan mitologi Sunda lama yang mengandung kosmologi dan kosmogoni (yang berisi tentang penciptaan dan asal-usul manusia) zaman Sunda lama. Hal tersebut merupakan konsep dasar kepercayaan asli Indonesia dalam mengungkapkan kepercayaan akan makna hidup, manusia memakai lambang dan tanda. Rachmat Subagya (ibid hal 166) menyebutkan dua macam tanda tersebut, yakni:
“Mitos asal yang menafsirkan makna hidup berdasarkan kejadian purba. Mitos asal suku bangsa atau asal padi dan lain-lain memberi petunjuk untuk tata kelakuan. Ritus atau upacara adalah kelakuan simbolis yang mengkonsolidasi atau memulihkan tata alam dan menempatkanmanusia dan perbuatannya dalam tata tersebut. dalam ritus digunakan kata-kata, doa, dan gerak-gerik tangan atau badan. Baik mitos maupun ritus bermakna mengokohkan tata rencana alam raya semula dan diharapkan akan mempartisipasikan seluruh hidup umat dalam tata keselamatan.”
Reaktualisasi mitos tersebut dapat memberikan pencerminan diri, dan yang diharapkan setelah menjalani prosesi ruatan, penjelmaan dalam cerita tersebut luruh kapada orang yang diruat. Cerita-cerita yang dikisahkan disesuaikan dengan jenis ruatan, ruatan rumah tangga misalnya, juru pantun Abah Akis menceritakan kisah, Prabu Siliwangi, Dewi Pohaci Wiru Minanggai, Lutung Kasarung, Sumur Bandung, Malangsari. Pada umumnya, cerita yang dikisahkan dalam prosesi ngaruat adalah cerita kelahiran Batara Kala, cerita ini sama dengan cerita Batara Kala dalam wayang yang digunakan untuk upacara ruatan pula. Biasanya cerita tersebut digunakan untuk upacara ritus yang berkaitan dengan daftar sukerta dan ruatan benda seperti yang telah disebutkan di atas. Tidak semua juru pantun menyajikan cerita yang sama dalam prosesi ruatan, kadang-kadang cerita dalam ruatan disesuaikan dengan keadaan orang yang diruat agar cerita yang dikisahkan menjelma dan tercermin pada orang yang diruat tersebut. Dalam arti, cerita yang dikisahkan tersebut tergantung pada juru pantun untuk menceritakan cerita dalam prosesi ruatan.
Dalam acara hiburan biasa cerita yang dikisahkan menceritakan lakon biasa, seperti Mentralaya, Masa Layang Jaladri, Dewi Asri, Simber Kancana, Panggung Karaton, dll (wawancara, 3 Agustus 2006). Cerita yang dikisahkan tidak menceritakan cerita yang dianggap keramat, melainkan hanya lakon-lakon biasa yang tidak berhubungan dengan konteks ruatan.[5] Cerita-cerita untuk hiburan barangkali cerita yang dikisahkan tergolong pada jenis cerita sempalan atau cerita roman yang tidak dianggap memiliki nilai keramat.
[1] Wawancara …
[2] Daftar sukerta dicantumkan dalam Lampiran.
[3] Salah satu permintaan tersebut, misalnya berupa penyediaan sesajen yang harus disediakan apabila akan mempertunjukkan pantun. Penyediaan sesajen tersebut sudah menjadi kewajiban untuk dilaksanakan dan disediakan, apabila tidak dipenuhi dianggap dapat menimbulakan keadaan yang tidak diiginkan.
[4] Proses sosial adalah cara-cara berhubungan yang dapat dilihat orang perorangan dan kelompok. Kelompok manusia saling bertemu dan menentukan sistem, serta bentuk-bentuk hubungan tersebut. Proses sosial diartikan sebagai pengaruh timbal balik bagi kehidupan bersama.
[5] Dalam konteks ruatan cerita yang dikisahkan merupakan pemaknaan cerita yang diharapkan menjelma pada orang yang diruat.
a. Pengertian Ruat
Ruat (Ngaruat atau ngalokat) dapat dikatakan selamatan untuk menolak bala yang dapat mendatangkan keselamatan dan kesejahteraan hidup. Hal tersebut merupakan penetralisir dari ancaman dan bahaya yang senantiasa dialami manusia. Netralisasi biasanya terjadi dengan mengucapkan kalimat sakti, seperti mantra, rajah, jampi, atau dengan penyembelihan, sesaji, mandi bunga (Rachmat Subagya, 1981:76). Prosesi tersebut tidak lepas dari manifestasi yang gaib, baik Tuhan atau ruh leluhur dalam upacara ritualnya. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas tersebut mengandung pengaruh monoteisme, Tuhan yang tunggal bersifat baik dan adil yang kemudian menciptakan makhluk ciptaan-Nya yang bersifat gaib, dan manusia melakukan penyadaran diri terhadap makhluk halus tersebut yang mengambil jarak terhadap Tuhan dan menyembahnya. Kepercayaan tersebut disebut animisme, yakni menunjukkan kepercayaan akan roh-roh halus yang berdiri lepas dari manusia dan yang campur dalam urusan insani (Rachmat Subagya, ibid).
Ngaruat merupakan bentuk ritus yang pengungkapannya keberadaan manusia untuk mendapatkan keselamatan yang dilakukan dengan berbagai macam tata cara prosesinya. Prosesi ngaruat tersebut, biasanya dilakukan dalam pembersihan desa, kelahiran bayi, pembuatan rumah, dan sebagainya. Semua itu dilakukan untuk mendapatkan atau mengharapkan keselamatan dari Yang Maha Kuasa.
Ngaruat dapat di klasifikasikan dalam 2 jenis ruatan, yakni ngaruat manusia dan ngaruat benda. Ngaruat manusia, terdapat ciri-ciri orang yang harus diruat atau sukerta, yakni spesifikasi orang yang harus diruat. Ngaruat benda, biasanya dilakukan untuk benda-benda yang dianggap perlu diruat, biasanya ruatan tersebut; ngaruat bangunan baru, pembuatan rumah, dan netepkeun pare (setelah panen padi). [1]
Kepercayaan ngaruat oleh sebagian masyarakat Sunda masih diyakini dapat mendatangkan keselamatan, biasanya prosesi ngaruat dapat dilakukan melalui media kesenian sebagai sarananya. Selain kesenian wayang, pantun pun dapat dijadikan media dalam prosesi ngaruat. Upacara ngaruat memiliki tujuan untuk pembersihan diri yang bersifat rohani, penetralisir keadaan diri yang ternoda secara bathin (dosa), atau keadaan-keadaan tertentu karena terdapat gangguan dari mahkluk halus, dsb., yang dianggap dapat mendatangkan kesialan atau marabahaya yang menimpa manusia. Terdapat beberapa sukerta (orang yang harus diruat) yang dianggap perlu diadakan ruatan agar terhindar dari bahaya atau kesialan yang dapat menimpa orang tersebut. [2]
a. Stimulasi Emosi Keagamaan
Pantun dijadikan media penghubung antara manusia dan mahluk halus atau sesuatu yang gaib dalam kehidupan manusia. Hal tersebut tercermin dalam melakukan upacara ruatan yang identik dengan pemintaan keselamatan hidup terhadap Tuhan dan ruh leluhur (karuhun) yang dianggap menduduki tempat tertinggi di atas manusia, sehingga melahirkan sikap emosi keagamaan masyarakat yang mempercayainya.
Emosi keagamaan yang dimaksud adalah tindakan yang mendorong manusia berprilaku serba religi, artinya terdapat suatu rangsangan yang dapat menggetarkan nuraninya dalam rangka penyadaran diri terhadap Tuhan, ruh leluhur, mahkluk halus yang lebih tinggi kedudukannya di atas kodrat manusia (Koentjaraningrat: ibid hal. 202). Emosi keagamaan sebagai salah satu kegelisahan atau penyingkapan suatu gejala yang tidak dapat diukur dengan akal manusia, sehingga manusia berusaha mencari jawabannya.
“Menganai masalah apakah emosi itu disebabkan karena manusia sadar akan adanya makhluk halus yang menempati alam sekeliling tempat tinggalnya, dan berasal dari jiwa orang-orang yang sudah meninggal; karena manusia takut menghadap berbagai krisis dalam hidupnya; tak mampu menjelaskan berbagai gejala dengan akalnya; percaya adanya kekuatan sakti dalam alam; menerima wahyu; atau karena gabungan dari semua sebab itu Emosi keagamaan yang mendasari setiap prilaku yang serba religi itu menyebabkan timbulnya sifat keramat dari perilaku itu, dan sifat itu pada gilirannya memperoleh nilai keramat”
Masyarakat yang menghormati kesenian tradisional yang identik dengan dunia mistis terhanyut oleh kesadaran akan kekuatan adikodrati. Penghayat pantun berusaha luruh pada kehendak gaib yang berada di lingkungannya dengan memenuhi segala permintaan makhluk gaib atau ruh leluhur.[3] Masyarakat pendukung pantun berasal dari berbagai lapisan masyarakat, mulai dari rakyat biasa hingga orang-orang yang menempati kedudukan tinggi di masyarakat. Mereka menjadikan pantun sebagai media untuk memenuhi keinginan mereka atau mereka mempunyai maksud dan tujuan untuk kepentingan hidupnya. Sebelum pertunjukan direncanakan, mereka mengungkapkan keinginannya kepada prepantun atau juru pantun untuk memenuhi niatnya dengan menggelar cerita pantun.
Dalam hal ini terjalin hubungan antara individu dan seniman pantun (juru pantun) atau dapat berupa hubungan antara individu dan kelompok. Terjalin kontak sosial sebagai proses sosial untuk menjalin kerjasama dalam mewujudkan tujuan yang sama.[4] Masyarakat, kelompok, dan individu mewujudkan kebutuhan-kebutuhan hidup yang senantiasa dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Orang yang menanggap pantun dan seniman pantun menjalin kerjasama yang menimbulkan timbalbalik. Penanggap pantun mendapatkan keselamatan atau keinginannya terwujud setelah upacara ritual terlaksana, sedangkan seniman pantun (juru pantun) mendapatkan jasa berupa materi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Masyarakat atau orang-perorang penghayat pantun mendapatkan keuntungan yang bersifat rohani (ketentraman batin) dan jasmani (kesejahteraaan hidup, kesehatan, dsb.).
b. Cerita Pantun dalam Upacara Ruatan
Telah disebutkan dalam Bab II, bahwa pantun tergolong pada bentuk sastra lisan yang menceritakan mitos-mitos tokoh legenda Sunda. Seniman pantun, yakni juru pantun menganggap bahwa cerita-cerita tersebut merupakan cerita suci yang memiliki nilai keramat. Cerita tersebut dapat dikatakan Kesusastraan suci yang megandung suatu kompleks konsepsi–konsepsi dan dongeng–dongeng suci mengenai sifat-sifat dan kehidupan dewa-dewa serta mahkluk–makhluk halus lainnya (yaitu mitologi). Ketika cerita pantun dikisahkan, seolah-olah mengulang kembali kosmos di mana kisah tersebut terjadi pada masanya. Menceritakan cerita tersebut seakan-akan mengulang kembali waktu mitos (mytical time) dengan seluruh kosmos diharapkan dapat menetralisir keadaan dunia yang tidak seimbang, ini yang dimaksud Marceu Eliade mengenai waktu mitos.
Biasanya cerita-cerita pantun memiliki cerita khusus untuk upacara ruatan, cerita tersebut yang berkaitan dengan mitologi Sunda lama yang mengandung kosmologi dan kosmogoni (yang berisi tentang penciptaan dan asal-usul manusia) zaman Sunda lama. Hal tersebut merupakan konsep dasar kepercayaan asli Indonesia dalam mengungkapkan kepercayaan akan makna hidup, manusia memakai lambang dan tanda. Rachmat Subagya (ibid hal 166) menyebutkan dua macam tanda tersebut, yakni:
“Mitos asal yang menafsirkan makna hidup berdasarkan kejadian purba. Mitos asal suku bangsa atau asal padi dan lain-lain memberi petunjuk untuk tata kelakuan. Ritus atau upacara adalah kelakuan simbolis yang mengkonsolidasi atau memulihkan tata alam dan menempatkanmanusia dan perbuatannya dalam tata tersebut. dalam ritus digunakan kata-kata, doa, dan gerak-gerik tangan atau badan. Baik mitos maupun ritus bermakna mengokohkan tata rencana alam raya semula dan diharapkan akan mempartisipasikan seluruh hidup umat dalam tata keselamatan.”
Reaktualisasi mitos tersebut dapat memberikan pencerminan diri, dan yang diharapkan setelah menjalani prosesi ruatan, penjelmaan dalam cerita tersebut luruh kapada orang yang diruat. Cerita-cerita yang dikisahkan disesuaikan dengan jenis ruatan, ruatan rumah tangga misalnya, juru pantun Abah Akis menceritakan kisah, Prabu Siliwangi, Dewi Pohaci Wiru Minanggai, Lutung Kasarung, Sumur Bandung, Malangsari. Pada umumnya, cerita yang dikisahkan dalam prosesi ngaruat adalah cerita kelahiran Batara Kala, cerita ini sama dengan cerita Batara Kala dalam wayang yang digunakan untuk upacara ruatan pula. Biasanya cerita tersebut digunakan untuk upacara ritus yang berkaitan dengan daftar sukerta dan ruatan benda seperti yang telah disebutkan di atas. Tidak semua juru pantun menyajikan cerita yang sama dalam prosesi ruatan, kadang-kadang cerita dalam ruatan disesuaikan dengan keadaan orang yang diruat agar cerita yang dikisahkan menjelma dan tercermin pada orang yang diruat tersebut. Dalam arti, cerita yang dikisahkan tersebut tergantung pada juru pantun untuk menceritakan cerita dalam prosesi ruatan.
Dalam acara hiburan biasa cerita yang dikisahkan menceritakan lakon biasa, seperti Mentralaya, Masa Layang Jaladri, Dewi Asri, Simber Kancana, Panggung Karaton, dll (wawancara, 3 Agustus 2006). Cerita yang dikisahkan tidak menceritakan cerita yang dianggap keramat, melainkan hanya lakon-lakon biasa yang tidak berhubungan dengan konteks ruatan.[5] Cerita-cerita untuk hiburan barangkali cerita yang dikisahkan tergolong pada jenis cerita sempalan atau cerita roman yang tidak dianggap memiliki nilai keramat.
[1] Wawancara …
[2] Daftar sukerta dicantumkan dalam Lampiran.
[3] Salah satu permintaan tersebut, misalnya berupa penyediaan sesajen yang harus disediakan apabila akan mempertunjukkan pantun. Penyediaan sesajen tersebut sudah menjadi kewajiban untuk dilaksanakan dan disediakan, apabila tidak dipenuhi dianggap dapat menimbulakan keadaan yang tidak diiginkan.
[4] Proses sosial adalah cara-cara berhubungan yang dapat dilihat orang perorangan dan kelompok. Kelompok manusia saling bertemu dan menentukan sistem, serta bentuk-bentuk hubungan tersebut. Proses sosial diartikan sebagai pengaruh timbal balik bagi kehidupan bersama.
[5] Dalam konteks ruatan cerita yang dikisahkan merupakan pemaknaan cerita yang diharapkan menjelma pada orang yang diruat.
Subscribe to:
Posts (Atom)