"Dag Dig Dug" Karya Putu Wijaya
Oleh
Dina Tri Indiani Yusrina, S. Sn
2.1. Anatomi Naskah
2.1.1. Latar Belakang Naskah
Naskah Dag-Dig-Dug dibuat pada tahun 1973, tepatnya tanggal 27 Oktober. Naskah ini ditulis ketika Putu tinggal dalam masyarakat komunal Ittoen, Yamashina, Kyoto Jepang. Apa yang dituliskan Putu dalam naskah tersebut, terinspirasi dari pengalaman- pengalaman yang ia alami selama 7 bulan menghadapi kehidupan di Ittoen.
Ittoen merupakan sebuah tempat di lereng bukit. Waktu itu hanya beranggotakan 400 orang dan mereka berpakaian hitam-hitam. Ketika Putu datang, masyarakat tersebut sudah merupakan masyarakat generasi kedua atau ketiga. Bagi masyarakat Ittoen, hidup adalah bekerja. Bekerja sama dengan beribadah. Mereka mengatakan diri mereka Budha. Tetapi mereka juga terpengaruh ajaran Gandhi. Mereka, bagi Putu tidak jauh berbeda dengan masyarakat Soeboed, masyarakat kebatinan.
Sebenarnya yang praktis tinggal disana orang tua saja, karena orang muda tidak suka dan tidak betah karena harus bekerja terus dan ritual mereka adalah bekerja. Mereka punya rombongan drama bernama Swaraj yang berkeliling menghibur orang tua dan anak-anak. Setiap pemainnya selalu punya kantong yang berisi palu dan peralatan lainnya. Setelah main, mereka ke belakang untuk menata panggung, bekerja lagi, main lagi.
Di Ittoen segalanya diurus oleh komune. Setiap hari Putu bangun pagi, bekerja, ibadah, makan bersama dan tidur teratur. Sewaktu-waktu Putu dan rombongan masyarakat turun ke dusun Yamashina untuk sukarela membersihkan WC orang. Disana tidak diperbolehkan merokok, hidup harus sederhana, emosi dikekang, orang harus taat, tidak boleh bertanya, perintah harus dijalankan. Bagi mereka semua, pertanyaan sudah dijawab oleh almarhum pemimpin mereka, kini tinggal menjalankan saja.
Sebenarnya Putu ke Jepang untuk mempelajari Kabuki. Salah satu kesenian tradisional khas Jepang. Tetapi ternyata ia diberikan mandat untuk tinggal di Ittoen. Sebulan Putu bekerja di ladang. Kemudian empat bulan dia mengikuti rombongan sandiwara Swaraj pentas berkeliling Jepang. Rutinitasnya adalah naik truk, setiap malam memasang dekor dan melakukan kegiatan teater yang sifatnya fisikal. Putu dilatih secara fisik dan ia merasa tidak mendapat apa-apa dari latihan itu.
Mereka sendiri sebenarnya tidak kuat menjauhi hawa nafsu dan mematikan emosi. Semuanya hanya ada dalam dunia idea. Dari sana Putu kemudian menulis naskah drama Anu dan Dag-Dig-Dug serta sebuah novel yang kemudian ia beri judul “Lho”. Sekembalinya ke tanah air, naskah-naskah itu dirampungkannya
Masyarakat Ittoen adalah penganut sistem kepercayaan yang ada. Ia sedikit menyindir fanatisme masyarakat Ittoen dalam naskahnya. Mereka melepaskan hal-hal yang bersifat keduniawian dan merasa sangat yakin akan kepastian akhirat. Sementara mereka sendiri secara batin tidak menerima dan merasa tersiksa dengan sikap mereka yang dibebani berbagai aturan-aturan kepercayaan yang mereka anut.
Dalam naskah Dag-Dig-Dug, melalui tokoh Suami dan Istri, Putu hendak mengungkapkan fenomena yang terjadi. Tokoh Suami dan Istri bersusah payah mengumpulkan uang hanya untuk membuat prasasti kematian mereka melalui sebuah nisan yang terbuat dari marmer, menginginkan kemewahan dalam tidur panjangnya, sementara mereka tidak pernah tahu kapan kematian akan datang.
2.1.2. Gagasan Zaman
Gagasan zaman yang terkandung dalam naskah Dag-Dig-Dug mendapat pengaruh eksistensialisme. Kehidupan masyarakat Ittoen yang menunjukkan eksistensi mereka dalam bentuk kehidupan spiritual menjadi inspirasi Putu. Bahan-bahan penguburan yang dihadirkan, keinginan untuk mati tokoh utamnya, adalah sebuah simbol bahwa kehidupan yang tokoh utamanya jalani akan kembali pada sebuah titik, yaitu kematian.
2.1.3. Analisa Plot
Plot atau alur cerita merupakan rangkaian peristiwa yang satu sama lain dihubungkan oleh hukum kausalitas (sebab akibat). Peristiwa demi peristiwa saling mengikat, sehingga membangun kausalitas yang tidak dapat dipisahkan, di mana peristiwa pertama menyebabkan terjadinya peristiwa kedua, peristiwa kedua menyebabkan peristiwa ketiga, dan demikian selanjutnya.
Disamping itu, plot selain mengemban fungsi untuk mengungkapkan buah pikiran pengarang dan menarik serta memelihara perhatian pembaca atau penonton, juga mengungkapkan dan mengembangkan watak tokoh-tokoh cerita (Jakob Sumardjo & Saini KM, 1991: 139,144).
a. Uraian Plot
Di sebuah rumah hiduplah sepasang suami-istri bersama seorang pembantunya yang bernama Cokro. Suatu hari sepasang suami-istri itu mendapat kabar bahwa seseorang yang bernama Chairul Umam telah meninggal karena kecelakaan tertabrak motor. Mereka menerima kabar tersebut melalui sepucuk surat, bahwa akan ada utusan yang akan menjelaskan hal tentang kematian Chairul Umam lebih lanjut.
Pagi hari tepat pada waktu yang telah dijanjikan, mereka menunggu. Beberapa saat kemudian datanglah dua orang tamu yang dinantikan. Tamu itu kemudian menceritakan tentang peristiwa yang menimpa Chairul Umam. Setelah berbicara panjang lebar, mereka menyerahkan amplop yang berisi uang asuransi jiwa kecelakaan lalu lintas. Setelah itu kedua tamu itu pun pergi.
Mereka sendiri sebenarnya tidak kenal pada Chairul Umam. Mereka telah berusaha mengingatnya tapi tetap tidak mengenali siapa Chairul Umam yang dimaksud. Setelah dibuka dan dihitung, ternyata uang itu kurang. Keesokan harinya, setelah menimbang-nimbang, akhirnya mereka memutuskan untuk mengembalikan uang tersebut melalui pos yang sebelumnya menambahkan kekurangan uang tersebut dari gaji pensiunan mereka. Alasan pengembaliannya adalah karena pada dasarnya mereka tidak mengenal siapa Chairul Umam.
Hari demi hari, usia mereka pun bertambah tua. Mereka berhasil mengumpulkan uang untuk persiapan penguburan mereka. Istri menginginkan uang simpanan mereka dibagi untuk dibungakan, tetapi tidak disetujui Suami. Mereka pun berdebat. Uang dibagi tetapi pertengkaran berlanjut mengenai siapa yang akan mengerjakan persiapan kematian mereka.
Setelah terjadi diskusi dan perdebatan, akhirnya mereka sepakat untuk mempercayakan pengerjaan persiapan penguburan mereka pada Ibrahim, dan beberapa material bangunan untuk penguburan pun dibeli.
Setelah membeli bahan-bahan bangunan, keinginan suami bertambah. Ia ingin membeli peti mati agar lengkap bahan-bahan penguburan mereka. Istri menolak keras keinginan Suami, dan seperti biasa mereka kembali cekcok. Selang beberapa hari, dua buah peti mati telah siap diruang tamu disamping beberapa marmer yang ditutupi kain.
Mereka kemudian memanggil Tobing, mantan anak kos mereka yang telah berkeluarga. Mereka bermaksud menjual rumah itu pada Tobing dengan sistem kredit tak terikat waktu. Yang jelas kredit tersebut harus sudah dilunasi ketika mereka meninggal.
Namun sampai cicilan rumah itu lunas, suami-istri itu tak kunjung menemui ajalnya. Ibrahim yang dipercayakan mengurus proses pemakaman mereka juga tidak sabar lagi, padahal kedua suami-istri itu sudah sakit-sakitan dan ingin sekali mati.
Suatu malam Suami dalam keadaan sekarat, dan keadaan menjadi tegang. Cokro berdoa mengatasi suasana, sementara Istri terisak-isak disamping peti mati. Suami meminta maaf pada Cokro dan Istrinya. Ia juga berpesan bahwa ia telah menulis surat wasiat yang ia simpan dibawah kasur, tapi ia batal menemui ajalnya. Keesokan harinya keadaan menjadi normal kembali.
Cokro yang sudah tidak tahan mendapat tekanan selama tinggal di rumah itu, suatu waktu dituduh telah membaca surat wasiat milik Suami. Cokro dianggap sebagai pencuri. Dalam kemarahannya Suami mengusir Cokro, tetapi Cokro melawan dan tidak menurutinya. Karena kemarahannya, akhirnya penyakit kedua orang tua itu kambuh dan bertambah parah, sehingga suatu ketika mereka tidak kuasa lagi untuk bangkit. Cokro membantu memasukkan mereka ke dalam peti mati, walaupun ia telah disakiti. Setelah mengucap doa, peti ditutup olehnya. Detak jantung Cokro Dag-dug-dag-dug. Demikian plot naskah Dag-Dig-Dug.
b. Sifat Plot
Sifat plot dalam naskah Dag-Dig-Dug adalah linear plot. dimana suatu kejadian dan konflik tersusun secara berurutan seperti bentangan garis dari A sampai Z. Dimana penonton hanya mendapat pikiran-pikiran berdasarkan percakapan tokoh-tokohnya dari awal sampai akhir.
c. Jenis plot
Jika melihat dari alur ceritanya, jenis plot dalam naskah Dag-Dig-Dug termasuk kedalam plot longgar. Karena dari beberapa peristiwa, terdapat peristiwa yang tidak penting dan tidak mempengaruhi peristiwa lainnya. Sehingga apabila dihilangkan tidak mempengaruhi makna ceritanya.
Plot longgar ialah plot yang yang terbentuk karena adanya sejumlah peristiwa, baik yang penting kedudukannya maupun yang kurang penting. Umpanya sebuah peristiwa yang dianggap kurang penting dalam lakon itu dilepaskan, maka makna dari lakon itu kemungkinan besar tidak akan berkurang.[5]
2.1.4. Struktur Dramatik
Struktur adalah suatu kesatuan dan bagian-bagian yang kalau satu diantara bagian diubah atau dirusak, akan berubah atau rusaklah seluruh struktur itu. Di dalam cerita-cerita konvensional, struktur dramatik yang dipergunakan adalah struktur dramatik Aristoteles (1991:142).
Secara struktural naskah ini dapat disebut sebagai naskah konvensional, karena struktur dramatiknya disajikan secara Aristotelian, dimana peristiwa demi peristiwa dari awal hingga akhir tertata apik satu dengan lainnya yang selalu berkaitan. Fungsinya untuk mengungkap pikiran pengarang dan lebih melibatkan pikiran, perasaan penonton dalam cerita tersebut. Struktur dramatik Aristotelian terdiri dari :
a. Eksposisi
Eksposisi adalah bagian awal atau pembukaan dari suatu karya sastra drama. Sesuai dengan kedudukannya, eksposisi berfungsi sebagai pembuka yang memberikan penjelasan atau keterangan mengenai berbagai hal yang diperlukan untuk dapat memahami peristiwa-peristiwa berikutnya dalam cerita. Keterangan-keterangan itu dapat mengenai tokoh-tokoh cerita, masalah yang timbul, tempat dan waktu ketika cerita terjadi dan sebagainya (1991: 143).
Eksposisi dimulai pada babak I ketika terjadi diskusi antara Suami dan Istri tentang siapa Chairul Umam yang disebutkan dalam surat. Mereka berusaha mengingat tetapi selalu gagal. Tamu datang dan menjelaskan peristiwa yang menimpa Chairul Umam.
b. Rising Action
Dimulai ketika mereka menerima tamu yang mengabarkan tentang kematian Chairul Umam, yang sekaligus memberikan uang asuransi. Peristiwa ini membuat masalah berkembang, dimana konflik-konflik kecil mulai bermunculan. Mereka mengalami kebimbangan antara dikembalikan atau tidaknya uang tersebut.
Rising action semakin menanjak ketika diketahui kalau jumlah uang yang diterima itu ternyata kurang. Karena rasa takut dan kebingungan tentang siapa Chairul Umam menghantui mereka, akhirnya uang tersebut diputuskan untuk dikembalikan dengan menambahkan kekurangannya dari gaji pensiunan mereka.
c. Komplikasi
Komplikasi atau penggawatan merupakan lanjutan dari eksposisi dan peningkatan daripadanya. Di dalam bagian ini, salah seorang tokoh cerita mulai mengambil prakarsa untuk mencapai tujuan tertentu. Akan tetapi hasil dari prakarsa itu tidak pasti. Dengan demikian timbullah kegawatan (1991:143).
Kegawatan ini saling bertubrukan dengan tokoh lainnya setelah masing-masing tokoh menceritakan jati dirinya, sehingga peta konflik antar tokoh semakin tergambar dengan jelas.
Komplikasi dimulai ketika sang suami berniat mempersiapkan segala sesuatunya untuk kematian dan penguburan mereka nanti, sedangkan istri berkehendak lain, yakni agar uang dibungakan terlehih dahulu. Kemudian barulah ditentukan tukang, tetapi hal ini justru semakin memperuncing masalah, karena kedua-duanya memiliki kriteria yang berbeda. Berbagai pertentangan dan perdebatan terjadi antara Suami dan Isteri karena masing-masing ingin memperlihatkan eksistensi ke-aku-annya.
d. Klimaks
Komplikasi disusul klimaks yang merupakan tahapan peristiwa dramatik. Dalam bagian ini pihak-pihak yang berlawanan atau bertentangan, berhadapan untuk melakukan perhitungan terakhir yang menentukan. Didalam bentrokan itu nasib para tokoh cerita ditentukan (1991:143).
Klimaks dimulai ketika Suami mengetahui dari istrinya bahwa buku wasiatnya telah dibaca orang dan menuduh Cokro sebagai pelakunya. Hingga suatu ketika, kemarahan Cokro tidak terbendung lagi. Terjadilah keributan besar antara Cokro dan sepasang suami-istri tersebut yang tidak menghasilkan solusi.
Selain konflik secara fisik, sebenarnya terjadi juga konflik batin dan pikiran mereka masing-masing dengan dirinya yang tidak bisa dipecahkan. Secara individu akhirnya mereka pasrah dan menerima kekalahannya sebagai manusia yang lemah, dan kembali pada sebuah lingkaran kesunyian.
e. Resolusi
Resolusi menyusul klimaks. Dalam bagian ini semua masalah yang ditimbulkan oleh prakarsa tokoh atau tokoh-tokohnya terpecahkan.
Resolusi ditandai dengan berakhirnya pertengkaran tersebut. Kemudian kedua orang tua itu masuk kedalam peti mati, masing-masing bermaksud akan tidur. Suami ketakutan dan membangunkan istrinya tetapi tidak dihiraukan. Suami seakan-akan mengalami keadaan sekarat dan sang istri tetap tidak peduli. Suami memanggil Cokro, dan kemudian Cokro datang membaringkan Suami dengan tenang, menutup peti matinya dan membacakan doa.
Disini eksistensi masing-masing individu yang ambisius sudah mulai terlihat keasliannya. Peristiwa sudah tergambar, tentang apa, siapa, dan bagaimana.
f. Konklusi
Konklusi adalah bagian terakhir sebuah cerita. Dalam bagian ini nasib tokoh-tokoh cerita sudah pasti. (1991 : 144)
Konklusi dalam naskah ini tidak tertulis secara langsung dalam dialog. Kematian adalah sebuah rahasia yang hanya menjadi milik Sang Pencipta. Kita tidak pernah tahu kapan kematian akan menjemput. Manusia tetap terpenjara dalam sangkar kesunyian, kesepian, dan kesendirian dalam hidup. Putu menyerahkan akhir cerita pada penggarap naskahnya. Dengan kata “Dan Seterusnya” pada akhir naskahnya.
2.1.5. Tipe Lakon
Tipe lakon atau disebut genre lakon, jenis lakon atau bentuk lakon. Naskah Dag-Dig-Dug ini adalah berbentuk tragedi komedi, atau yang kita kenal dengan tragic comedi.
Tragedi komedi yaitu bentuk lakon yang dibawakan oleh tokoh-tokoh yang konyol (mengundang tertawaan), tetapi yang bertema tragis dimana akhirnya menyedihkan ( Yoyo&Willy, 1985:37).
Dalam naskah ini, tokoh sentralnya dihadapkan pada permasalahan yang mereka sendiri tidak tahu kebenarannya. Mereka, terutama tokoh Istri sangat mudah mempercayai kabar yang belum jelas yang akhirnya justru merugikan mereka sendiri. Sementara pada orang yang mereka kenal, mereka selalu menaruh kecurigaan yang besar.
Sikap Suami dan Istri menunjukkan kekonyolannya ketika mereka telah mempersiapkan segala keperluan pemakaman. Bahkan sempat sang suami merasa ajalnya sudah datang ketika penyakitnya kumat. Tetapi tidak jadi mati dan malah keadaan fisiknya kembali ke keadaan normal.
Perilaku yang ditunjukkan tokoh Suami dan Istri tadi sangat komedi sekali. Memang bukan komedi rendah yang menimbulkan gelak tawa karena tingkah laku tokohnya yang mengundang kelucuan secara fisik. Tetapi lebih merupakan komedi satir yang mentertawakan tingkah laku kejiwaan seseorang yang secara psikologi mengalami ketidaklaziman atau dengan kata lain mengalami cacat tragis yang disebabkan kurangnya kebijaksanaan dalam menjalani kenyataan, sehingga menimbulkan pola watak absurd.
2.1.6. Model Penokohan
Round character adalah model yang penulis anggap tepat untuk diterapkan pada lakon ini berlandaskan pada konvensi naskah dan pembawaannya yang mengacu pada realisme, yakni mengkarakterisasi tokoh secara sempurna sebagaimana adanya manusia.
Yang dimaksud tokoh yang berbentuk round atau bulat adalah tokoh yang diberikan karakter oleh pengarang secara kompleks dan tidak hanya hitam putih saja. Kebanyakan tokoh-tokoh yang berbentuk round ini terdapat dalam lakon-lakon yang sifatnya realistis (Yoyo&Willy, 1985 : 26-27).
Dengan demikian, aktor memiliki keleluasaan dalam mengembangkan peran yang dimainkannya, namun tetap dalam batas sebuah konvensi pemeranan realisme.
2.2. Potensi Naskah
2.2.1. Kelebihan Naskah
Naskah ini adalah naskah pemenang pertama dalam sayembara naskah lakon yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta yang ke III pada tahun 1974. Sudah barang tentu kualitas naskahnya tidak perlu diragukan lagi.
Ceritanya sangat unik untuk sebuah naskah realis. Memang hanya menceritakan pertentangan antara suami-istri dan orang lain disekitar mereka (Cokro dan Ibrahim) karena kepikunan dan sifat ngeyel yang mereka punya. Tetapi makna yang terkandung didalam dialog-dialognya begitu dalam. Sindiran atau pesan tersembunyi dalam dialog tokoh-tokohnya, sangat cerdas. Bahasa yang digunakan merupakan bahasa keseharian yang logis, sehingga memudahkan dalam pemahaman dialognya.
Dalam naskah ini, pengarangnya memberikan kekuasaan penuh untuk mencoba karakter tokoh didalamnya, tanpa membatasinya dengan gambaran fisiologis. Karena Putu menyembunyikan identitas fisik tokoh-tokohnya. Dalam cover depan naskahnya pun Putu menuliskan: “PARA PEMAIN YANG MEMBAWAKAN NASKAH INI DAPAT SALING BERTUKAR PERAN DARI BABAK KE BABAK TANPA MENYEMBUNYIKAN IDENTITASNYA”. Demikian juga dengan akhir ceritanya, Putu menyerahkan nasib tokoh didalamnya kepada penggarap naskahnya. kita bebas membawakannya sesuai keinginan kita. Tidak ada nama, tidak ada tempat, tidak ada waktu dan tidak ada kata selesai. Karena itu pada setiap naskah Putu selalu membubuhkan kata : “Dan Seterusnya”.
2.2.2. Kekurangan Naskah
Kekurangan dari naskah ini adalah, tidak digambarkan dengan jelas tentang fisiologis tokoh. Sebenarnya tidak dapat juga dikatakan sebuah kekurangan. Banyak pengarang drama yang sengaja tidak menjelaskan gambaran fisik tokohnya. Hal ini kemungkinan dimaksudkan untuk membebaskan interpretasi aktor yang akan memerankannya. Masuk akal memang, karena pembatasan terhadap peran sama juga membunuh kreativitas.
Akhir cerita dan nasib tokoh sentralnya pun diserahkan sepenuhnya kepada penggarap. Dan ini menjadi gaya khas Putu Wijaya dalam setiap karya-karyanya.[6] Selain itu, naskah dan cerita hanya dititik beratkan pada satu wilayah kultur saja, yaitu kultur Jawa. Padahal, bila dilihat pokok permasalahannya, tentang kesunyian, kesendirian, kejenuhan, amarah, emosi, bahagia dan derita dalam hidup. Semua orang juga mengalami hal tersebut. Tetapi apabila identitasnya secara umum, ada kemungkinan setiap penggarapan menjadi baru sesuai dengan zamannya. Bila dilihat, pemikiran-pemikiran semacam ini, yakni tentang keinginan untuk segera mati, justru lebih merebak di zaman sekarang karena frustasi oleh berbagai keadaan hidup, ekonomi, politik, pendidikan, budaya, dll.
2.2.3. Reformulasi Naskah
Naskah Dag-Dig-Dug adalah naskah yang panjang yang apabila dipentaskan akan memakan waktu yang lama. Permasalahan durasi ini menjadi hal yang harus dipikirkan. Jalan yang penulis tempuh dalam mempersingkat pertunjukkan salah satunya dengan mengurangi waktu tampil. Untuk itu penulis mengedit naskahnya kembali, dengan membuang beberapa dialog untuk mengejar durasi waktu yang dipadatkan, tanpa bermaksud menghilangkan esensi dari naskah tersebut.
2.3. Aksentuasi Garap
Dalam membawakan naskah ini, laku aktingnya dibawakan secara realis walaupun bentuk naskahnya surealis. Penulis tidak membuat scenery secara keseluruhan realis, karena yang menajadi absurd hanya pada pola pikir pemainnya saja. Pada beberapa bagian tertentu hanya dibuat simbol-simbol saja. Seperti tidak dihadirkannya pintu dan jendela. Sehingga imajinasi aktor pun dituntut lebih kreatif menyikapi kondisi ini.
[5] Yoyo C. Durachman dan Willy F. Sembung, Pengetahuan Teater. Proyek Pengembangan Institut Kesenian Indonesia Sub Proyek Akademi Seni Tari Indonesia 1985/1986, hal 29.
[6] Lihat kecenderungan pengarang hal 8-9 !.
No comments:
Post a Comment