Eksistensi dan regenerasi
Studi kasus seni beluk Pusaka Mekar di Kampung Cipulus Desa Pasigaran Kecamatan Tanjungsari-Kabupaten Sumedang
Oleh
Studi kasus seni beluk Pusaka Mekar di Kampung Cipulus Desa Pasigaran Kecamatan Tanjungsari-Kabupaten Sumedang
Oleh
Engkos Kosasih
Intisari
Seni beluk Pusaka Mekar mengalami krisis regenerasi yang dapat mengakibatkan terpuruknya keberadaan sebuah seni tradisi. Apakah seni Beluk Pusaka Mekar ini akan tetap eksis di kalangan masyarakatnya, mengingat rumitnya permasalahan di dalamnya? Tulisan ini membahas tentang faktor penyebab menurunya tingkat apresiasi masyarakat terhadap seni beluk, juga menawarkan beberapa solusi untuk menyikapi hal tersebut.
Pendahuluan
Jawa Barat merupakan sebuah propinsi yang dikenal kaya akan ragam kesenian daerah. Eksistensinya terjaga dalam tatanan budaya masyarakat agraris pedesaan, terutama di kawasan pegunungan. Kesenian tersebut mencerminkan identitas daerahnya sebagai masyarakat ladang1), hal ini dapat dilihat dari ciri atau gaya dari setiap jenis kesenian yang ada di kalangan masyarakat. Kesenian tersebut dapat dikategorikan sebagai kesenian rakyat, berbeda dengan kesenian yang tumbuh dan berkembang di lingkungan keraton atau kerajaan2). Bentuk kesenian rakyat lebih bersifat komunikatif, dan salah satu unsur yang bisa muncul dalam seni rakyat adalah sifat spontan dan seronok.(Humardani, Kompas 10 Agustus 1983, hal 12.)3)
Ciri yang paling menonjol dari kesenian rakyat yaitu bersifat kedaerahan yang memiliki khas dari daerah tempat asal kesenian itu terbentuk. Hal tersebut dapat tergantung dari letak geografis, misalnya kesenian dari daerah pesisir akan berbeda bentuk dan gayanya dengan kesenian yang terdapat di daerah pegunungan. Hal ini dapat mempengaruhi sifat yang dimiliki oleh kesenian tersebut, baik itu dari pola tabuhan, bentuk sajian, maupun jenis keseniannya, yang tentunya tergantung dari adat, budaya, dan tradisi daerah setempat. Pada dasarnya kesenian yang berkembang di kalangan rakyat bentuk dan gayanya sangat sederhana, baik itu dari segi waditra yang digunakan maupun kostum yang di kenakan dilihat dari corak maupun ragam motifnya.
Kesenian rakyat biasanya identik dengan suasana ritual terhadap nenek moyang, di samping sebagai sarana hiburan, hal ini merupakan pola pemikiran masyarakat pedesaan. Pada umumnya kepercyaan masyarakat pada zaman dulu masih menganut animisme dan dinamisme, yang meyakini kepercayaan terhadap roh nenek moyang. Kebiasaan-kebiasaan yang berkaitan dengan kepercayaan tersebut masih melekat pada masyarakat saat ini. Salah satu kesenian yang masih digunakan untuk kepentingan ritual keagamaan adalah seni beluk.
Kesenian beluk banyak tersebar di daerah Jawa Barat, baik berupa sebuah sanggar maupun lingkungan kecil yang belum terorganisasi. Adanya penyebaran kesenian beluk di setiap daerah memungkinkan pula adanya keterbatasan data yang menyangkut tumbuh kembangnya kesenian tersebut, sehingga perkembangan seni beluk akan lebih sulit untuk diidentifikasi keberadaanya. Mungkin sulitnya menemukan kesenian beluk di Jawa Barat terbentur pada tidak adanya data statistik mengenai tumbuhnya kesenian beluk di setiap daerah di Jawa Barat. Dengan adanya keterbatasan tersebut, dalam tulisan ini penulis menggunakan pendekatan studi kasus tentang seni beluk yang berada di Kampung Cipulus, Desa Pasigaran, Kecamatan Tanjungsari Sumedang.
Saat ini, seni beluk di desa tersebut masih terjaga keasliannya, hanya saja dukungan dari masyarakat di daerah tersebut dinilai kurang. Hal ini dapat dilihat dari kurangnya frekuensi pementasan beluk di Kampung Cipulus.
Dalam tulisan ini penulis akan mengangkat masalah revitalisasi seni beluk. Hal ini dinilai penting dalam rangka membangkitkan kembali minat dan kecintaan masyarakat terhadap seni tradisi, khususnya seni beluk. Kiranya revitalisasi ini dapat terwujud dalam tatanan khasanah kesenian Jawa Barat, mengingat bahwa Negara Indonesia yang kaya akan budaya, seharusnya bisa memunculkan kesenian dari sub- kultur yang mencerminkan kebudayaan daerahnya.
Seni Beluk
Salah satu jenis kesenian rakyat yang terdapat di daerah Jawa Barat adalah seni beluk yang eksistensinya kurang dikenal masyarakat. Padahal kesenian tersebut merupakan local genius yang seharusnya dilestarikan dalam rangka revitalisasi kesenian tradisional. Kesenian beluk tergolong pada jenis seni vokal yang mempunyai gaya atau khas yang mandiri. Ciri khas tersebut memberikan warna lain dari vokal yang sering dibawakan oleh seni kepesindenan ataupun seni yang lebih mengutamakan vokal lainnya, baik itu dalam bentuk penyajiannya maupun dalam olah vokal yang dipergunakan. Dilihat dari latar belakangnya, seni beluk identik dengan masyarakat peladang, hal ini tampak ketika vokal yang dibawakan volume suaranya relatif lebih keras. Hal ini bermula dari kebiasaan masyarakat peladang, yang lokasi mereka berjauhan dari satu tempat ke tempat yang lainnya, sehingga untuk mengadakan komunikasi diperlukan suara yang keras. Yang kedua, beluk berawal ketika masyarakat yang bepergian melewati hutan sendirian. Untuk mengusir rasa sepi maka dia melakukan teriakan-teriakan untuk memberi tahu kalau ada orang lain yang ada di sekitar hutan tersebut.
Kebiasaan khas ini berkorelasi kuat dengan sifat dan karakter aktivitas budaya masyarakat ladang (agraris). Bentuk dan kontur lagu yang cenderung menggunakan nada tinggi, mengalun, dan meliku-liku adalah bagian dari ekspresi masyarakat ladang saat saling berkomunikasi sesama komunitasnya, yang mempunyai pola tinggal menetap namun saling berjauhan.
Dari kata ‘nada tinggi’ sudah mencerminkan bahwa kesenian beluk ini tidak lazim dikumandangkan di ruangan, tapi di alam bebas. Namun, pada perkembangannya beluk lazim terdengar di rumah-rumah penduduk. Ini terkait dengan pengaruh Wawacan4)- pembacaan kitab kuno yang dinyanyikan untuk ritual tertentu, misalnya ritual kelahiran bayi, acara hajatan, dan lain-lain. Secara evolutif, beluk dan wawacan telah bersanding dalam sajian musik vokal.
Beluk dan wawacan, akhirnya sangat berkaitan erat. Karena pengaruh wawacan, beluk pun terkait oleh pola pupuh dari bentuk lagu dan pola lagu, sebagaimana konsep tembang macapat yang berkembang di Jawa Tengah. Wawacan terikat oleh aturan pupuh yang telah ditentukan, seperti Kinanti, Dangdanggula, Asmarandana, Sinom, dan seterusnya.
Beluk dan wawacan dapat dikatakan bukan merupakan seni tontonan. Ia lebih bersifat personal, untuk menghibur diri, mengusir rasa kesepian, atau terutama untuk kepentingan ritual. Sebagai contoh, untuk kepentingan ritual kelahiran bayi, penyajiannya biasanya dilakukan di ruang tengah dan menggunakan tikar sebagai alas. Di tengah tikar disediakan sesaji aneka makanan dan minuman. Penyaji beluk duduk bersila, dan diapit oleh kaum kerabat keluarga yang mempunyai maksud, membentuk sebuah formasi melingkar.
Dalam penyajiannya, beluk memiliki beberapa istilah bagi orang-orang yang menyajikannya, diantaranya:
Tukang ngilo, adalah pembaca syair wawacan tanpa dinyanyikan (naratif) dalam tempo sedang, dengan artikulasi yang jelas. Dibaca per- padalisan (baris).
Tukang ngajual, fungsinya yaitu menyajikan syair yang dibacakan oleh tukang ngilo sesuai dengan pupuhnya, tetapi cara penyajiannya tanpa ornamen.
Tukang meuli, tugasnya adalah melanjutkan lagu yang disajikan oleh tukang ngajual dengan dilengkapi oleh ornamen-ornamennya.
Tukang naekeun, tugasnya adalah melanjutkan sajian tukang meuli dengan menggunakan nada yang melengking tinggi dan meliuk-liuk, dengan artikulasi yang tidak jelas. Dilengkapi dengan ornamentasi yang sangat dominan.
Peranan para penyaji beluk tersebut dilakukan secara bergiliran. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kondisi fisik dan suara, agar tetap fit (terjaga kesehatannya). Karena penyajian seni beluk ini disajikan pada waktu malam hari, dan biasanya dilakukan sampai cerita wawacan tamat.
Demografi
Dusun Cipulus terletak di sebuah areal perbukitan, di mana di sekelilingnya terhampar luas ladang dan sawah milik para penduduk. Lingkungannya masih kental dengan sifat kegotongroyongannya, sehingga sosialisasi di lingkungan masyarakatnya terjalin harmonis. Tingkat pendidikan di kampung tersebut rata-rata lulusan Sekolah Dasar. Masyarakat pada umumnya bekerja sebagai petani, penggarap sawah dan ladang. Hanya beberapa orang saja yang bekerja sebagai karyawan di pabrik-pabrik, itupun kebanyakan usia remaja.
Melimpah-ruahnya sumber daya alam ini membuat Kampung Cipulus tergolong sebagai masyarakat agraris yang letaknya hanya beberapa ratus meter saja dari Balai Desa Pasigaran, hanya dipisahkan oleh lembah-lembah dan sebuah aliran sungai. Di sekitarnya terhampar luas petak-petak sawah milik para penduduk sebagai lahan penghasil padi. Dari dusun Cipulus ini, apabila berjalan ke sebelah utara, berbatasan dengan Kampung Pasir Salam, dan ke sebelah selatan berbatasan dengan Kampung Lebak Peutag yang masih termasuk pada Desa Pasigaran.
Aktivitas masyarakat pada umumnya adalah bercocok tanam, menggarap sawah, huma dan palawija, yang merupakan hasil utama dari daerah Cipulus. Selain hasil pangannya dijual ke pasar, juga digunakan sebagai bahan makanan untuk mencukupi kehidupan mereka sehari-hari.
Seni Beluk Pusaka Mekar
Lingkung Seni Beluk Pusaka Mekar tepatnya berada di Kampung Cipulus Desa Pasigaran Kecamatan Tanjungsari, didirikan sekitar tahun 1980-an yang anggotanya terdiri dari 12 orang, merupakan sebuah lingkung seni Beluk yang keberadaanya sampai sekarang dinilai masih belum berkembang. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu kurangnya apresiasi masyarakat, kebijakan pemerintah mengenai pelestarian dan pengembangan, dan regenerasi. Salah satu faktor yang menyebabkan kurang berkembangnya seni beluk di Kampung Cipulus Desa Pasigaran Kecamatan Tanjungsari Kabupaten Sumedang terutama disebabkan oleh faktor regenerasi (wawancara dengan ketua Lingkung Seni ‘Pusaka Mekar’, Iya diriya, 18 Januari 2005).
Menurut narasumber, seni beluk Pusaka Mekar merupakan sebuah organisasi yang diketuai oleh Bapak Iya Diriya sendiri. Pada awal mulanya, seni beluk tersebut terbentuk karena didasari oleh keinginan beliau yang telah menguasai seni beluk, baik materinya maupun teknisnya. Berangkat dari keinginannya itu, Pak Iya mulai merintis sebuah organisasi yang bernama “Pusaka Mekar” yang artinya sesuatu yang dianggap buhun5) harus dimekarkan atau dikembangkan. Dalam hal latihan, lingkung seni “Pusaka mekar” ini melakukan latihan gabungan dengan sebuah lingkung seni di Cikaramas yang letaknya sebelah utara Kampung Cipulus.
Dengan hadirnya seni beluk- pada saat itu- tanggapan masyarakat di Kampung Cipulus sangat positif. Disamping sebagai hiburan, seni beluk juga digunakan sebagai upacara syukuran, misalnya syukuran pernikahan, kelahiran, syukuran hasil panen, dan lain-lain. Bahkan pernah terjadi syukuran kelahiran hewan peliharaan seseorang, sebagai ungkapan rasa syukur dia mengadakan selamatan di rumahnya dengan mempertunjukkan seni beluk. Dari contoh kasus tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa keberadaan seni Beluk pada saat itu di akui oleh masyarakat Cipulus. Akan tetapi, masalah yang paling utama adalah bagaimana agar seni beluk tetap eksis di kalangan masyarakat.
Menurut penuturan Pak Iya, bahwa saat ini pelatihan beluk sangat sulit untuk dilaksanakan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama; faktor usia para seniman beluk yang sudah relatif tua dan sudah jarang yang menguasai seni beluk, sehingga di Kampung Cipulus hanya ada beberapa orang saja yang masih kuat untuk membawakan beluk. Kedua; kurangnya minat generasi muda dalam hal pelestarian seni tradisi. Hal tersebut dapat dilihat dari perkembangan seni-seni yang bersifat modern yang mulai mengalami pengkristalan di kalangan generasi muda, dimana hal ini menyebabkan untuk berkembangnya sebuah kesenian tradisi, khususnya seni beluk. Ketiga; kurangnya dukungan dari instansi pemerintahan, hal ini juga sangat disayangkan oleh ketua Lingkung Seni Beluk “Pusaka Mekar”, mengapa sampai instansi pemerintahan pun dirasakan kurang peduli akan perkembangan seni tradisi, padahal seni merupakan sebuah jati diri bangsa. (wawancara dengan ketua Lingkung Seni ‘Pusaka Mekar’, Iya diriya, 18 Januari 2005). Hal ini masih menjadi tanda tanya sampai saat ini, mengapa instansi yang terkait tidak memperhatikan kesenian.
Hal di atas, merupakan salah satu dampak yang negatif terhadap tumbuh kembangnya seni beluk. Mengingat bahwa kesenian merupakan pencerminan dari identitas suatu bangsa, seharusnnya keberadaan kesenian tradisional mendapat kedudukan penting dalam tatanan budaya.
Masalah Regenerasi
Sistem pewarisan merupakan salah satu faktor penting dalam melanjutkan pembelajaran dalam mempelajari suatu jenis kesenian. Kesenian yang sudah mengalami perjalanan panjang-yang dilakukan oleh generasi tua, kemudian untuk melanjutkan keberadaannya memerlukan pewarisan yang dilakukan oleh kaum tua pada angkatan muda. Apabila kesenian yang sudah mendekati kepunahan akibat dari tidak adanya pewarisan, dalam arti keberadaannya kurang menunjukkan jati diri kesenian tersebut, karena berbagai faktor yang menyebabkan tersendatnya proses pewarisan itu, maka kemungkinan besar kesenian tersebut akan punah ditelan zaman.
Kembali pada persoalan seni beluk “Pusaka Mekar”, bahwa kesenian ini mengalami hal serupa, yakni tidak adanya pewarisan yang konsisten pada kompetensi yang dimiliki generasi muda saat ini. Hal ini merupkan suatu permasalahan yang mendasar dan belum ada solusinya yang tepat, sehingga kita tidak bisa menyalahkan sebelah pihak. Di satu sisi, pewarisan merupakan hal yang paling utama, dari sisi lain kompetensi yang dimiliki generasi muda kurang memadai akan hal ini, mereka cenderung tertarik pada musik modern (musik Barat) yang cenderung lebih atraktif. Barangkali keadaan seperti ini dipengaruhi oleh media informasi (media elektronik), mereka secara tidak langsung menangkap suatu hal yang baru6), sedangkan kesenian beluk dianggap kolot, tidak sesuai dengan karakteristik mereka yang cenderung progresif. Dari fenomena tersebut, maka timbul pertaanyaan, apakah seni beluk “Pusaka Mekar” ini akan tetap eksis di kalangan masyarakatnya, mengingat rumitnya permasalahan di dalamnya?
Beberapa Tawaran Solusi.
Kiranya keberadaan seni beluk “Pusaka Mekar” harus didukung oleh adanya pihak-pihak yang dapat mengangkat kembali keberadaan seni beluk. Hal tersebut dapat direalisasikan dengan adanya dukungan pemerintah setempat dan kerja sama di antara para seniman beluk di Kabupaten Sumedang. Tentunya regenerasi merupakan hal yang paling penting dalam tumbuh dan berkembangnya seni beluk “Pusaka mekar”. Upaya tersebut dapat ditempuh melalui adanya apresiasi secara langsung, dengan mengadakan diskusi tentang pentingnya pelestarian seni tradisi. Selain itu, barangkali perlu adanya rekonstruksi seni beluk, baik dari bentuk penyajiannya maupun bentuk lagu dan musiknya, apabila memang hal ini diperlukan untuk menetralisasi kejenuhan masyarakat pendukungnya.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa penyebab utama kurang berkembangnya seni beluk “Pusaka Mekar” yang terdapat di Kampung Cipulus adalah faktor regenerasi. Minat generasi muda terhadap kesenian beluk dinilai kurang, mereka lebih tertarik pada seni musik Barat. Hal ini dipengaruhi oleh gencarnya media informasi, sehingga secara tidak langsung mereka diajak untuk menghayati musik tersebut.
Pewarisan merupakan hal yang paling utama, dari sisi lain kompetensi yang dimiliki generasi muda kurang memadai akan hal ini, mereka cenderung tertarik pada musik modern (musik Barat) yang cenderung lebih atraktif. Barangkali keadaan seperti ini dipengaruhi oleh media informasi (media elektronik)
1) masyarakat ladang adalah masyarakat yang mata pencahariannya bercocok tanam di daerah pegunungan, yang menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian. Dan biasanya masyarakat ladang hidupnya berpindah-pindah atau semi nomaden.
2) kesenian keraton adalah sebuah bentuk kesenian yang bersifat primordial, lahir dari kalangan kaum menak ( ningrat ).
3) lihat Jeniffer Lindsay. Klasik, Kitsch, dan Kontemporer, 1990.
4) Kumpulan lagu-lagu pupuh dalam kitab kuno, yang menceritakan tentang sejarah.
6) hal ini berkaitan dengan gaya hidup, selera budaya asing sehingga generasi muda kita terpacu pada hangar bingar musik-musik popular. Salah satu contoh yaitu tayangan-tayangan di televisi
Intisari
Seni beluk Pusaka Mekar mengalami krisis regenerasi yang dapat mengakibatkan terpuruknya keberadaan sebuah seni tradisi. Apakah seni Beluk Pusaka Mekar ini akan tetap eksis di kalangan masyarakatnya, mengingat rumitnya permasalahan di dalamnya? Tulisan ini membahas tentang faktor penyebab menurunya tingkat apresiasi masyarakat terhadap seni beluk, juga menawarkan beberapa solusi untuk menyikapi hal tersebut.
Pendahuluan
Jawa Barat merupakan sebuah propinsi yang dikenal kaya akan ragam kesenian daerah. Eksistensinya terjaga dalam tatanan budaya masyarakat agraris pedesaan, terutama di kawasan pegunungan. Kesenian tersebut mencerminkan identitas daerahnya sebagai masyarakat ladang1), hal ini dapat dilihat dari ciri atau gaya dari setiap jenis kesenian yang ada di kalangan masyarakat. Kesenian tersebut dapat dikategorikan sebagai kesenian rakyat, berbeda dengan kesenian yang tumbuh dan berkembang di lingkungan keraton atau kerajaan2). Bentuk kesenian rakyat lebih bersifat komunikatif, dan salah satu unsur yang bisa muncul dalam seni rakyat adalah sifat spontan dan seronok.(Humardani, Kompas 10 Agustus 1983, hal 12.)3)
Ciri yang paling menonjol dari kesenian rakyat yaitu bersifat kedaerahan yang memiliki khas dari daerah tempat asal kesenian itu terbentuk. Hal tersebut dapat tergantung dari letak geografis, misalnya kesenian dari daerah pesisir akan berbeda bentuk dan gayanya dengan kesenian yang terdapat di daerah pegunungan. Hal ini dapat mempengaruhi sifat yang dimiliki oleh kesenian tersebut, baik itu dari pola tabuhan, bentuk sajian, maupun jenis keseniannya, yang tentunya tergantung dari adat, budaya, dan tradisi daerah setempat. Pada dasarnya kesenian yang berkembang di kalangan rakyat bentuk dan gayanya sangat sederhana, baik itu dari segi waditra yang digunakan maupun kostum yang di kenakan dilihat dari corak maupun ragam motifnya.
Kesenian rakyat biasanya identik dengan suasana ritual terhadap nenek moyang, di samping sebagai sarana hiburan, hal ini merupakan pola pemikiran masyarakat pedesaan. Pada umumnya kepercyaan masyarakat pada zaman dulu masih menganut animisme dan dinamisme, yang meyakini kepercayaan terhadap roh nenek moyang. Kebiasaan-kebiasaan yang berkaitan dengan kepercayaan tersebut masih melekat pada masyarakat saat ini. Salah satu kesenian yang masih digunakan untuk kepentingan ritual keagamaan adalah seni beluk.
Kesenian beluk banyak tersebar di daerah Jawa Barat, baik berupa sebuah sanggar maupun lingkungan kecil yang belum terorganisasi. Adanya penyebaran kesenian beluk di setiap daerah memungkinkan pula adanya keterbatasan data yang menyangkut tumbuh kembangnya kesenian tersebut, sehingga perkembangan seni beluk akan lebih sulit untuk diidentifikasi keberadaanya. Mungkin sulitnya menemukan kesenian beluk di Jawa Barat terbentur pada tidak adanya data statistik mengenai tumbuhnya kesenian beluk di setiap daerah di Jawa Barat. Dengan adanya keterbatasan tersebut, dalam tulisan ini penulis menggunakan pendekatan studi kasus tentang seni beluk yang berada di Kampung Cipulus, Desa Pasigaran, Kecamatan Tanjungsari Sumedang.
Saat ini, seni beluk di desa tersebut masih terjaga keasliannya, hanya saja dukungan dari masyarakat di daerah tersebut dinilai kurang. Hal ini dapat dilihat dari kurangnya frekuensi pementasan beluk di Kampung Cipulus.
Dalam tulisan ini penulis akan mengangkat masalah revitalisasi seni beluk. Hal ini dinilai penting dalam rangka membangkitkan kembali minat dan kecintaan masyarakat terhadap seni tradisi, khususnya seni beluk. Kiranya revitalisasi ini dapat terwujud dalam tatanan khasanah kesenian Jawa Barat, mengingat bahwa Negara Indonesia yang kaya akan budaya, seharusnya bisa memunculkan kesenian dari sub- kultur yang mencerminkan kebudayaan daerahnya.
Seni Beluk
Salah satu jenis kesenian rakyat yang terdapat di daerah Jawa Barat adalah seni beluk yang eksistensinya kurang dikenal masyarakat. Padahal kesenian tersebut merupakan local genius yang seharusnya dilestarikan dalam rangka revitalisasi kesenian tradisional. Kesenian beluk tergolong pada jenis seni vokal yang mempunyai gaya atau khas yang mandiri. Ciri khas tersebut memberikan warna lain dari vokal yang sering dibawakan oleh seni kepesindenan ataupun seni yang lebih mengutamakan vokal lainnya, baik itu dalam bentuk penyajiannya maupun dalam olah vokal yang dipergunakan. Dilihat dari latar belakangnya, seni beluk identik dengan masyarakat peladang, hal ini tampak ketika vokal yang dibawakan volume suaranya relatif lebih keras. Hal ini bermula dari kebiasaan masyarakat peladang, yang lokasi mereka berjauhan dari satu tempat ke tempat yang lainnya, sehingga untuk mengadakan komunikasi diperlukan suara yang keras. Yang kedua, beluk berawal ketika masyarakat yang bepergian melewati hutan sendirian. Untuk mengusir rasa sepi maka dia melakukan teriakan-teriakan untuk memberi tahu kalau ada orang lain yang ada di sekitar hutan tersebut.
Kebiasaan khas ini berkorelasi kuat dengan sifat dan karakter aktivitas budaya masyarakat ladang (agraris). Bentuk dan kontur lagu yang cenderung menggunakan nada tinggi, mengalun, dan meliku-liku adalah bagian dari ekspresi masyarakat ladang saat saling berkomunikasi sesama komunitasnya, yang mempunyai pola tinggal menetap namun saling berjauhan.
Dari kata ‘nada tinggi’ sudah mencerminkan bahwa kesenian beluk ini tidak lazim dikumandangkan di ruangan, tapi di alam bebas. Namun, pada perkembangannya beluk lazim terdengar di rumah-rumah penduduk. Ini terkait dengan pengaruh Wawacan4)- pembacaan kitab kuno yang dinyanyikan untuk ritual tertentu, misalnya ritual kelahiran bayi, acara hajatan, dan lain-lain. Secara evolutif, beluk dan wawacan telah bersanding dalam sajian musik vokal.
Beluk dan wawacan, akhirnya sangat berkaitan erat. Karena pengaruh wawacan, beluk pun terkait oleh pola pupuh dari bentuk lagu dan pola lagu, sebagaimana konsep tembang macapat yang berkembang di Jawa Tengah. Wawacan terikat oleh aturan pupuh yang telah ditentukan, seperti Kinanti, Dangdanggula, Asmarandana, Sinom, dan seterusnya.
Beluk dan wawacan dapat dikatakan bukan merupakan seni tontonan. Ia lebih bersifat personal, untuk menghibur diri, mengusir rasa kesepian, atau terutama untuk kepentingan ritual. Sebagai contoh, untuk kepentingan ritual kelahiran bayi, penyajiannya biasanya dilakukan di ruang tengah dan menggunakan tikar sebagai alas. Di tengah tikar disediakan sesaji aneka makanan dan minuman. Penyaji beluk duduk bersila, dan diapit oleh kaum kerabat keluarga yang mempunyai maksud, membentuk sebuah formasi melingkar.
Dalam penyajiannya, beluk memiliki beberapa istilah bagi orang-orang yang menyajikannya, diantaranya:
Tukang ngilo, adalah pembaca syair wawacan tanpa dinyanyikan (naratif) dalam tempo sedang, dengan artikulasi yang jelas. Dibaca per- padalisan (baris).
Tukang ngajual, fungsinya yaitu menyajikan syair yang dibacakan oleh tukang ngilo sesuai dengan pupuhnya, tetapi cara penyajiannya tanpa ornamen.
Tukang meuli, tugasnya adalah melanjutkan lagu yang disajikan oleh tukang ngajual dengan dilengkapi oleh ornamen-ornamennya.
Tukang naekeun, tugasnya adalah melanjutkan sajian tukang meuli dengan menggunakan nada yang melengking tinggi dan meliuk-liuk, dengan artikulasi yang tidak jelas. Dilengkapi dengan ornamentasi yang sangat dominan.
Peranan para penyaji beluk tersebut dilakukan secara bergiliran. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kondisi fisik dan suara, agar tetap fit (terjaga kesehatannya). Karena penyajian seni beluk ini disajikan pada waktu malam hari, dan biasanya dilakukan sampai cerita wawacan tamat.
Demografi
Dusun Cipulus terletak di sebuah areal perbukitan, di mana di sekelilingnya terhampar luas ladang dan sawah milik para penduduk. Lingkungannya masih kental dengan sifat kegotongroyongannya, sehingga sosialisasi di lingkungan masyarakatnya terjalin harmonis. Tingkat pendidikan di kampung tersebut rata-rata lulusan Sekolah Dasar. Masyarakat pada umumnya bekerja sebagai petani, penggarap sawah dan ladang. Hanya beberapa orang saja yang bekerja sebagai karyawan di pabrik-pabrik, itupun kebanyakan usia remaja.
Melimpah-ruahnya sumber daya alam ini membuat Kampung Cipulus tergolong sebagai masyarakat agraris yang letaknya hanya beberapa ratus meter saja dari Balai Desa Pasigaran, hanya dipisahkan oleh lembah-lembah dan sebuah aliran sungai. Di sekitarnya terhampar luas petak-petak sawah milik para penduduk sebagai lahan penghasil padi. Dari dusun Cipulus ini, apabila berjalan ke sebelah utara, berbatasan dengan Kampung Pasir Salam, dan ke sebelah selatan berbatasan dengan Kampung Lebak Peutag yang masih termasuk pada Desa Pasigaran.
Aktivitas masyarakat pada umumnya adalah bercocok tanam, menggarap sawah, huma dan palawija, yang merupakan hasil utama dari daerah Cipulus. Selain hasil pangannya dijual ke pasar, juga digunakan sebagai bahan makanan untuk mencukupi kehidupan mereka sehari-hari.
Seni Beluk Pusaka Mekar
Lingkung Seni Beluk Pusaka Mekar tepatnya berada di Kampung Cipulus Desa Pasigaran Kecamatan Tanjungsari, didirikan sekitar tahun 1980-an yang anggotanya terdiri dari 12 orang, merupakan sebuah lingkung seni Beluk yang keberadaanya sampai sekarang dinilai masih belum berkembang. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu kurangnya apresiasi masyarakat, kebijakan pemerintah mengenai pelestarian dan pengembangan, dan regenerasi. Salah satu faktor yang menyebabkan kurang berkembangnya seni beluk di Kampung Cipulus Desa Pasigaran Kecamatan Tanjungsari Kabupaten Sumedang terutama disebabkan oleh faktor regenerasi (wawancara dengan ketua Lingkung Seni ‘Pusaka Mekar’, Iya diriya, 18 Januari 2005).
Menurut narasumber, seni beluk Pusaka Mekar merupakan sebuah organisasi yang diketuai oleh Bapak Iya Diriya sendiri. Pada awal mulanya, seni beluk tersebut terbentuk karena didasari oleh keinginan beliau yang telah menguasai seni beluk, baik materinya maupun teknisnya. Berangkat dari keinginannya itu, Pak Iya mulai merintis sebuah organisasi yang bernama “Pusaka Mekar” yang artinya sesuatu yang dianggap buhun5) harus dimekarkan atau dikembangkan. Dalam hal latihan, lingkung seni “Pusaka mekar” ini melakukan latihan gabungan dengan sebuah lingkung seni di Cikaramas yang letaknya sebelah utara Kampung Cipulus.
Dengan hadirnya seni beluk- pada saat itu- tanggapan masyarakat di Kampung Cipulus sangat positif. Disamping sebagai hiburan, seni beluk juga digunakan sebagai upacara syukuran, misalnya syukuran pernikahan, kelahiran, syukuran hasil panen, dan lain-lain. Bahkan pernah terjadi syukuran kelahiran hewan peliharaan seseorang, sebagai ungkapan rasa syukur dia mengadakan selamatan di rumahnya dengan mempertunjukkan seni beluk. Dari contoh kasus tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa keberadaan seni Beluk pada saat itu di akui oleh masyarakat Cipulus. Akan tetapi, masalah yang paling utama adalah bagaimana agar seni beluk tetap eksis di kalangan masyarakat.
Menurut penuturan Pak Iya, bahwa saat ini pelatihan beluk sangat sulit untuk dilaksanakan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama; faktor usia para seniman beluk yang sudah relatif tua dan sudah jarang yang menguasai seni beluk, sehingga di Kampung Cipulus hanya ada beberapa orang saja yang masih kuat untuk membawakan beluk. Kedua; kurangnya minat generasi muda dalam hal pelestarian seni tradisi. Hal tersebut dapat dilihat dari perkembangan seni-seni yang bersifat modern yang mulai mengalami pengkristalan di kalangan generasi muda, dimana hal ini menyebabkan untuk berkembangnya sebuah kesenian tradisi, khususnya seni beluk. Ketiga; kurangnya dukungan dari instansi pemerintahan, hal ini juga sangat disayangkan oleh ketua Lingkung Seni Beluk “Pusaka Mekar”, mengapa sampai instansi pemerintahan pun dirasakan kurang peduli akan perkembangan seni tradisi, padahal seni merupakan sebuah jati diri bangsa. (wawancara dengan ketua Lingkung Seni ‘Pusaka Mekar’, Iya diriya, 18 Januari 2005). Hal ini masih menjadi tanda tanya sampai saat ini, mengapa instansi yang terkait tidak memperhatikan kesenian.
Hal di atas, merupakan salah satu dampak yang negatif terhadap tumbuh kembangnya seni beluk. Mengingat bahwa kesenian merupakan pencerminan dari identitas suatu bangsa, seharusnnya keberadaan kesenian tradisional mendapat kedudukan penting dalam tatanan budaya.
Masalah Regenerasi
Sistem pewarisan merupakan salah satu faktor penting dalam melanjutkan pembelajaran dalam mempelajari suatu jenis kesenian. Kesenian yang sudah mengalami perjalanan panjang-yang dilakukan oleh generasi tua, kemudian untuk melanjutkan keberadaannya memerlukan pewarisan yang dilakukan oleh kaum tua pada angkatan muda. Apabila kesenian yang sudah mendekati kepunahan akibat dari tidak adanya pewarisan, dalam arti keberadaannya kurang menunjukkan jati diri kesenian tersebut, karena berbagai faktor yang menyebabkan tersendatnya proses pewarisan itu, maka kemungkinan besar kesenian tersebut akan punah ditelan zaman.
Kembali pada persoalan seni beluk “Pusaka Mekar”, bahwa kesenian ini mengalami hal serupa, yakni tidak adanya pewarisan yang konsisten pada kompetensi yang dimiliki generasi muda saat ini. Hal ini merupkan suatu permasalahan yang mendasar dan belum ada solusinya yang tepat, sehingga kita tidak bisa menyalahkan sebelah pihak. Di satu sisi, pewarisan merupakan hal yang paling utama, dari sisi lain kompetensi yang dimiliki generasi muda kurang memadai akan hal ini, mereka cenderung tertarik pada musik modern (musik Barat) yang cenderung lebih atraktif. Barangkali keadaan seperti ini dipengaruhi oleh media informasi (media elektronik), mereka secara tidak langsung menangkap suatu hal yang baru6), sedangkan kesenian beluk dianggap kolot, tidak sesuai dengan karakteristik mereka yang cenderung progresif. Dari fenomena tersebut, maka timbul pertaanyaan, apakah seni beluk “Pusaka Mekar” ini akan tetap eksis di kalangan masyarakatnya, mengingat rumitnya permasalahan di dalamnya?
Beberapa Tawaran Solusi.
Kiranya keberadaan seni beluk “Pusaka Mekar” harus didukung oleh adanya pihak-pihak yang dapat mengangkat kembali keberadaan seni beluk. Hal tersebut dapat direalisasikan dengan adanya dukungan pemerintah setempat dan kerja sama di antara para seniman beluk di Kabupaten Sumedang. Tentunya regenerasi merupakan hal yang paling penting dalam tumbuh dan berkembangnya seni beluk “Pusaka mekar”. Upaya tersebut dapat ditempuh melalui adanya apresiasi secara langsung, dengan mengadakan diskusi tentang pentingnya pelestarian seni tradisi. Selain itu, barangkali perlu adanya rekonstruksi seni beluk, baik dari bentuk penyajiannya maupun bentuk lagu dan musiknya, apabila memang hal ini diperlukan untuk menetralisasi kejenuhan masyarakat pendukungnya.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa penyebab utama kurang berkembangnya seni beluk “Pusaka Mekar” yang terdapat di Kampung Cipulus adalah faktor regenerasi. Minat generasi muda terhadap kesenian beluk dinilai kurang, mereka lebih tertarik pada seni musik Barat. Hal ini dipengaruhi oleh gencarnya media informasi, sehingga secara tidak langsung mereka diajak untuk menghayati musik tersebut.
Pewarisan merupakan hal yang paling utama, dari sisi lain kompetensi yang dimiliki generasi muda kurang memadai akan hal ini, mereka cenderung tertarik pada musik modern (musik Barat) yang cenderung lebih atraktif. Barangkali keadaan seperti ini dipengaruhi oleh media informasi (media elektronik)
1) masyarakat ladang adalah masyarakat yang mata pencahariannya bercocok tanam di daerah pegunungan, yang menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian. Dan biasanya masyarakat ladang hidupnya berpindah-pindah atau semi nomaden.
2) kesenian keraton adalah sebuah bentuk kesenian yang bersifat primordial, lahir dari kalangan kaum menak ( ningrat ).
3) lihat Jeniffer Lindsay. Klasik, Kitsch, dan Kontemporer, 1990.
4) Kumpulan lagu-lagu pupuh dalam kitab kuno, yang menceritakan tentang sejarah.
6) hal ini berkaitan dengan gaya hidup, selera budaya asing sehingga generasi muda kita terpacu pada hangar bingar musik-musik popular. Salah satu contoh yaitu tayangan-tayangan di televisi
No comments:
Post a Comment