Tuesday, 17 February 2009

Identitas Budaya

Kesenian Tarawangsa:
Identitas Budaya yang Tercermin Pada Masyarakat Rancakalong

oleh

Aji Permana Sudjamza, S. Sn





Kebudayaan dapat diartikan peradaban yang mengandung pengertian luas, meliputi pemahaman perasaan suatu bangsa yang kompleks. E.B. Taylor (dalam Ilmu Budaya Dasar, 1998:10) mengemukakan kebudayaan meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat (kebiasaan), dan pembawaan lainnya yang diperoleh dari anggota masyarakat.
Para ahli banyak memperbincangkan mengenai definisi kebudayaan dan melahirkan beratus-ratus definisi yang berkenaan dengan kebudayaan. Salah satunya adalah pengertian kebudayaan menurut R Linton dalam bukunya The Cultural Background Of Personality (Harsojo, 1988:92) disebutkan, kebudayaan adalah konfigurasi tingkah laku yang dipelajari dari hasil tingkah laku, yang unsur pembentukannya didukung dan diteruskan oleh anggota masyarakat tertentu.
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kebudayaan adalah hasil budi daya manusia, sehingga kebudayaan dapat dipelajari. Tingkah laku yang dimaksud adalah tingkah laku simbolis manusia yang senantiasa hadir dalam kehidupan. Tingkah laku tersebut tidak bersifat naluri, misalnya cara berjalan, cara makan, minum, dsb., hal tersebut merupakan kebutuhan manusia yang alamiah. Apabila cara berjalan tersebut seperti prajurit atau peragawati yang memerlukan proses belajar, merupakan hasil dari kebudayaan.
Manusia selalu mengungkapkan keberadaannya dengan berbagai cara dalam kehidupan sosialnya. Pengertian kebudayaan dapat pula disebut sebagai “tradisi” yang diartikan sebagai pewarisan atau penurunan norma-norma, adat-istiadat, benda-benda, dan kaidah-kaidah. Tetapi bukan berarti tradisi tidak dapat diubah, justru tradisi dipadukan dengan perbuatan manusia yang lebih bersifat dinamis.
Setiap masyarakat di dunia memiliki kebudayaan yang sesuai dengan karakter dan identitas[1] (Achmad Sadali dalam agus Sachari, 2002:47)yang tidak dapat lepas dari ungkapan budayanya. Hal tersebut tercermin dari konsepsi-konsepsi pemikiran manusia (sistem budaya) dalam menuangkan gagasan untuk memenuhi kebutuhannya yang diimplementasikan dalam aktivitas manusia yang saling berinteraksi dan menghasilkan suatu wujud. Malinownski menyebutkan, kebudayaan di dunia memiliki tujuh unsur, yakni bahasa, sistem teknologi, sistem mata pencaharian, organisasi sosial, religi, dan kesenian. Setiap peradaban masyarakat di dunia memiliki tujuh unsur tersebut dengan kebiasaan, cara, dan penyesuaian terhadap budaya lingkungannya.
Apabila konsep kebudayaan tersebut diterapkan dalam kebudayaan Indonesia, tentunya akan menghasilkan berbagai macam ungkapan budaya dari setiap subkultur Indonesia. Jawa Barat misalnya, terdapat berbagai ungkapan budaya yang sesuai dengan identitas kedaerahannya. Penduduk asli Jawa Barat biasa disebut orang Sunda yang merupakan pembawaan kedaerannya memiliki berbagai adat dan kebiasaan dalam menjalani kehidupannya. Dapat dikatakan kebudayaan Sunda merupakan segenap tindakan dan aktivitas yang mengacu pada olah pikir masyarakatnya, di antaranya mengenai kesenian, ilmu pengetahuan, adat sopan-santun pergaulan, kepandaian menulis, organisasi kenegaraan, dan sebagainya.
Kesenian misalnya, salah satu unsur dari kebudayaan universal yang tercermin dalam kebudayaan Sunda merupakan local genius yang mencerminkan kepribadiannya. Banyak sekali kesenian orang Sunda yang merupakan warisan leluhurnya masih melekat pada hati masyarakat pendukungnya, dalam hal ini orang Sunda atau masyarakat Sunda yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur budayanya. Misalnya, kesenian pantun, beluk, tarawangsa, rengkong, tembang sunda cianjuran, dll., merupakan identitas budaya yang merupakan pengungkapan estetis dari pola pikir masyarakatnya.
Di masyarakat Rancakalong Kabupaten Sumedang terdapat kebiasaan masyarakat yang turun temurun dilakukan sampai saat ini. Tradisi tersebut adalah upacara ngalaksa yang selalu dilakukan setelah panen padi. Upacara tersebut melibatkan seluruh lapisan masyarakat Rancakalong atas keberkahan hasil panen padi dari Yang maha Kuasa. Dalam upacara tersebut digelar kesenian tarawangsa sebagai presentasi estetis dan sebagai medium untuk mengundang ruh leluhur ke alam manusia.
Fenomena tersebut merupakan hasil akal manusia untuk melakukan penghormatan terhadap Tuhan, sekaligus sebagai ungkapan budayanya. Tentunya kebiasaan tersebut dilakukan melalui proses belajar yang dilakukan secara lisan terhadap generasi penerusnya. Tulisan ini membahas seputar kesenian tarawangsa dalam upacara ngalaksa yang merupakan hasil dari kebudayaan yang tercermin dalam identitas budayanya.


Kesenian Tarawangsa
Di daerah Sunda terdapat alat musik gesek yang telah tua keberadaannya, yaitu tarawangsa. Tarawangsa lebih tua keberadaannya daripada rebab, alat gesek yang lain. Naskah kuna Sewaka Darma dari awal abad ke-18 (atau sebelum abad ke-15) telah menyebut nama tarawangsa sebagai nama alat musik. Rebab muncul di tanah Jawa setelah zaman Islam sekitar abad ke-15-16, merupakan adaptasi dari alat gesek bangsa Arab yang dibawa oleh kaum penyebar Islam dari tanah Arab dan India. Setelah kemunculan rebab, tarawangsa biasa pula disebut dengan nama rebab jangkung (rebab tinggi), karena ukuran tarawangsa umumnya lebih tinggi daripada rebab.
Tarawangsa merupakan salah satu jenis kesenian rakyat yang ada di Jawa Barat. Istilah tarawangsa memiliki dua pengertian: Pertama; sebagai alat musik gesek yang memiliki dua dawai yang terbuat dari kawat baja atau besi; kedua, merupakan nama dari salah satu jenis musik tradisional Sunda. Sebagai alat musik gesek, tarawangsa tentu saja dimainkan dengan cara digesek. Akan tetapi yang digesek hanya satu dawai, yakni dawai yang paling dekat kepada pemain; sementara dawai yang satunya lagi dimainkan dengan cara dipetik dengan jari telunjuk tangan kiri. Kedua; sebagai nama salah satu jenis musik, tarawangsa merupakan sebuah ensambel kecil yang terdiri dari sebuah tarawangsa dan sebuah alat petik tujuh dawai yang menyerupai kacapi, yang disebut Jentreng.
Kesenian tarawangsa hanya dapat ditemukan di beberapa daerah tertentu di Jawa Barat, yaitu di daerah Rancakalong (Sumedang), Cibalong, Cipatujah (Tasikmalaya Selatan), Banjaran (Bandung), dan Kanekes (Banten Selatan). Tarawangsa di daerah Cibalong dan Cipatujah, selain digunakan dua jenis alat tersebut di atas, juga dilengkapi dengan dua perangkat calung rantay, suling, juga nyanyian. Alat musik tarawangsa dimainkan dalam laras pelog, sesuai dengan jentrengnya yang distem ke dalam laras pelog


Upacara Ngalaksa
Rancakalong merupakan sebuah desa sekaligus Kota Kecamatan Rancakalong Kab. Sumedang. Sebagian besar penduduknya, sejak masa silam hingga kini, mengandalkan hidup dari bersawah dan bercocok tanam. Karena itu pula, kultur masyarakat daerah ini seakan tetap menyatu dengan alam sekitar. Sistem nilai, tradisi, dan seni budaya, masih cukup melekat di sana.
Di daerah itu masih cukup banyak kebiasaan dari para leluhur, dipertahankan menjadi semacam adat atau tradisi. Selain dapat dilihat dari banyaknya even kesenian dan tradisi yang kini menjadi agenda pariwisata, seperti upacara adat ngalaksa dan rayagungan, beberapa jenis kesenian tradisional masih tetap mewarnai kehidupan warga di sana. Bahkan, desa ini pula memiliki kawasan desa wisata sebagai miniatur kebudayaan masyarakat sekitar, sekaligus sentralisasi budaya setempat untuk dipragmentasikan kepada masyarakat.
Meski kemasannya berbeda, upacara rayagungan dan ngalaksa yang rutin digelar setiap tahun, memiliki makna dan tujuan yang sama, yaitu sebagai pendorong motivasi dan rasa syukur atas hasil panen yang diperoleh masyarakat di sana. Hanya saja, bila tradisi rayagungan yang upacara ritualnya lebih menonjolkan figur para pendekar dan paranormal dan baru digelar ke tiga kali, sedangkan upacara adat ngalaksa sudah ada sejak masih zaman penjajahan Belanda.
Upacara ngalaksa, merupakan upacara ritual sebagai wujud rasa syukur kepada yang Maha Kuasa atas hasil panen yang sudah dilimpahkan kepada masyarakat setempat. Dalam upacara ngalaksa ini, selalu diwarnai berbagai simbol, seperti kesenian rengkong yang berarti mapag ibu pare (padi sunda), kemudian sawen mencerminkan panen, serta jentreng tarawangsa yang artinya ngamumule dimana padi sudah dibawa ke rumah. Ada pula beberapa ikatan kayu bakar yang dipikul untuk pelaksanaan ngalaksa atau mememasak nasi.
Prosesi utama ngalaksa bukan hanya unjuk kekuatan fisik. Prosesi inti justru terjadi di dalam ruangan saat suara mistis jentra Tarawangsa mulai mengalun. Tarawangsa adalah prosesi yang lebih bersifat batiniah. Tarawangsa mengandung arti menerawang pada yang Esa. Melalui Tarawangsa, para penari diajak menyatukan diri hingga dalam kondisi hening dan terbawa alam transedental. Asap dupa yang mengepul semakin tebal, seolah roh-roh gaib datang untuk menyatu dalam kekhidmatan mistis suara rebab dan jentreng atau kecapi. Konon itulah yang dalam konsep religi kuno Sumedang disebut proses penyatuan antara dunia gaib dangan jagat batin manusia.


Orisinalitas dan Identitas
kesenian yang dimiliki merupakan orisinalitas pemilik kesenian tersebut, di mana tertuang nilai estetik sebagai suatu wujud karya budaya. Orisinalitas dibentuk oleh pandangan-pandangan budaya yang dimiliki oleh suatu bangsa. Akhirnya, timbulah identitas yang secara harfiah merupakan ciri khas kedaerahan yang tidak dimiliki oleh suku bangsa manapun atau merupakan tanda pribadi yang sangat pribadi dan tidak dimiliki oleh bangsa manapun.
Kesenian tarawangsa yang digunakan dalam upacara ngalaksa merupakan wujud budaya yang mencerminkan ciri kedaerahannya. Hal tersebut dapat teridentifikasi dari organisasi sosial dan religi masyarakat Rancakalong. Kebiasaan-kebiasaan dalam upacara ngalaksa, seperti menyiapkan sesajen yang terdiri dari aneka makanan dan buah merupakan suatu kebiasaan masyarakat zaman dahulu yang masih terpengaruh oleh keyakinan masyarakat Sunda lama. Selain itu, pencerminan jati diri tersirat dalam masyarakat Rancakalong yang bergotong royong atau bekarjasama untuk mencapai satu tujuan yang sama, yakni untuk mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan hidup.
Keanekaragaman jenis seni budaya yang di miliki Jawa Barat menjadi suatu kebanggaan, bahwa kebudayaan daerahan dapat memperkaya bangsa , bangsa yang besar adalah bangsa yang kaya akan seni budaya yang dimilikinya. kiranya, harus disadari pentingnya pembinaan, pengembangan, dan pelestarian agar keberadaannya tidak hilang dan menjadi identitas bangsa, sekaligus membawa nama daerahnya yang harus dimiliki dan dihargai oleh masyarakatnya.


Penutup
Fenomena tersebut merupakan eksitensi kesenian tradisional yang terkandung nilai-nilai kehidupan tradisi, pandangan hidup, rasa etis dan estetis, serta ungkapan budaya lingkungannya. Hasil kesenian tradisional biasanya diterima sebagai tradisi pewarisan yang dilimpahkan dari angkatan tua kepada angkatan yang muda. Pada dasarnya kesenian tarawangsa memiliki hubungan timbal balik dengan kebutuhan masyarakt rancakalong, apabila kesenian diciptakan memberikan manfaat bagi kehidupan manusia maka tercapailah esensi yang sesungguhnya. Tetapi apabila tidak memberikan apa–apa bagi kehidupan manusia, maka keberadaan kesenian tidak bermanfaat, karena tidak dapat menentramkan batin, kehalusan budi yang menghayatinya.
[1] Identitas adalah tanda dari kepribadian yang tidak dimiliki oleh siapa pun, kepribadian sendiri adalah jumlah seluruh watak sosial seseorang dan kualitas yang memancar dari pribadinya yang merupakan eksistensi kepribadian .

Tafsir Naskah

"Dag Dig Dug" Karya Putu Wijaya
Oleh
Dina Tri Indiani Yusrina, S. Sn






2.1. Anatomi Naskah
2.1.1. Latar Belakang Naskah
Naskah Dag-Dig-Dug dibuat pada tahun 1973, tepatnya tanggal 27 Oktober. Naskah ini ditulis ketika Putu tinggal dalam masyarakat komunal Ittoen, Yamashina, Kyoto Jepang. Apa yang dituliskan Putu dalam naskah tersebut, terinspirasi dari pengalaman- pengalaman yang ia alami selama 7 bulan menghadapi kehidupan di Ittoen.
Ittoen merupakan sebuah tempat di lereng bukit. Waktu itu hanya beranggotakan 400 orang dan mereka berpakaian hitam-hitam. Ketika Putu datang, masyarakat tersebut sudah merupakan masyarakat generasi kedua atau ketiga. Bagi masyarakat Ittoen, hidup adalah bekerja. Bekerja sama dengan beribadah. Mereka mengatakan diri mereka Budha. Tetapi mereka juga terpengaruh ajaran Gandhi. Mereka, bagi Putu tidak jauh berbeda dengan masyarakat Soeboed, masyarakat kebatinan.
Sebenarnya yang praktis tinggal disana orang tua saja, karena orang muda tidak suka dan tidak betah karena harus bekerja terus dan ritual mereka adalah bekerja. Mereka punya rombongan drama bernama Swaraj yang berkeliling menghibur orang tua dan anak-anak. Setiap pemainnya selalu punya kantong yang berisi palu dan peralatan lainnya. Setelah main, mereka ke belakang untuk menata panggung, bekerja lagi, main lagi.
Di Ittoen segalanya diurus oleh komune. Setiap hari Putu bangun pagi, bekerja, ibadah, makan bersama dan tidur teratur. Sewaktu-waktu Putu dan rombongan masyarakat turun ke dusun Yamashina untuk sukarela membersihkan WC orang. Disana tidak diperbolehkan merokok, hidup harus sederhana, emosi dikekang, orang harus taat, tidak boleh bertanya, perintah harus dijalankan. Bagi mereka semua, pertanyaan sudah dijawab oleh almarhum pemimpin mereka, kini tinggal menjalankan saja.
Sebenarnya Putu ke Jepang untuk mempelajari Kabuki. Salah satu kesenian tradisional khas Jepang. Tetapi ternyata ia diberikan mandat untuk tinggal di Ittoen. Sebulan Putu bekerja di ladang. Kemudian empat bulan dia mengikuti rombongan sandiwara Swaraj pentas berkeliling Jepang. Rutinitasnya adalah naik truk, setiap malam memasang dekor dan melakukan kegiatan teater yang sifatnya fisikal. Putu dilatih secara fisik dan ia merasa tidak mendapat apa-apa dari latihan itu.
Mereka sendiri sebenarnya tidak kuat menjauhi hawa nafsu dan mematikan emosi. Semuanya hanya ada dalam dunia idea. Dari sana Putu kemudian menulis naskah drama Anu dan Dag-Dig-Dug serta sebuah novel yang kemudian ia beri judul “Lho”. Sekembalinya ke tanah air, naskah-naskah itu dirampungkannya
Masyarakat Ittoen adalah penganut sistem kepercayaan yang ada. Ia sedikit menyindir fanatisme masyarakat Ittoen dalam naskahnya. Mereka melepaskan hal-hal yang bersifat keduniawian dan merasa sangat yakin akan kepastian akhirat. Sementara mereka sendiri secara batin tidak menerima dan merasa tersiksa dengan sikap mereka yang dibebani berbagai aturan-aturan kepercayaan yang mereka anut.
Dalam naskah Dag-Dig-Dug, melalui tokoh Suami dan Istri, Putu hendak mengungkapkan fenomena yang terjadi. Tokoh Suami dan Istri bersusah payah mengumpulkan uang hanya untuk membuat prasasti kematian mereka melalui sebuah nisan yang terbuat dari marmer, menginginkan kemewahan dalam tidur panjangnya, sementara mereka tidak pernah tahu kapan kematian akan datang.

2.1.2. Gagasan Zaman
Gagasan zaman yang terkandung dalam naskah Dag-Dig-Dug mendapat pengaruh eksistensialisme. Kehidupan masyarakat Ittoen yang menunjukkan eksistensi mereka dalam bentuk kehidupan spiritual menjadi inspirasi Putu. Bahan-bahan penguburan yang dihadirkan, keinginan untuk mati tokoh utamnya, adalah sebuah simbol bahwa kehidupan yang tokoh utamanya jalani akan kembali pada sebuah titik, yaitu kematian.

2.1.3. Analisa Plot
Plot atau alur cerita merupakan rangkaian peristiwa yang satu sama lain dihubungkan oleh hukum kausalitas (sebab akibat). Peristiwa demi peristiwa saling mengikat, sehingga membangun kausalitas yang tidak dapat dipisahkan, di mana peristiwa pertama menyebabkan terjadinya peristiwa kedua, peristiwa kedua menyebabkan peristiwa ketiga, dan demikian selanjutnya.
Disamping itu, plot selain mengemban fungsi untuk mengungkapkan buah pikiran pengarang dan menarik serta memelihara perhatian pembaca atau penonton, juga mengungkapkan dan mengembangkan watak tokoh-tokoh cerita (Jakob Sumardjo & Saini KM, 1991: 139,144).

a. Uraian Plot
Di sebuah rumah hiduplah sepasang suami-istri bersama seorang pembantunya yang bernama Cokro. Suatu hari sepasang suami-istri itu mendapat kabar bahwa seseorang yang bernama Chairul Umam telah meninggal karena kecelakaan tertabrak motor. Mereka menerima kabar tersebut melalui sepucuk surat, bahwa akan ada utusan yang akan menjelaskan hal tentang kematian Chairul Umam lebih lanjut.
Pagi hari tepat pada waktu yang telah dijanjikan, mereka menunggu. Beberapa saat kemudian datanglah dua orang tamu yang dinantikan. Tamu itu kemudian menceritakan tentang peristiwa yang menimpa Chairul Umam. Setelah berbicara panjang lebar, mereka menyerahkan amplop yang berisi uang asuransi jiwa kecelakaan lalu lintas. Setelah itu kedua tamu itu pun pergi.
Mereka sendiri sebenarnya tidak kenal pada Chairul Umam. Mereka telah berusaha mengingatnya tapi tetap tidak mengenali siapa Chairul Umam yang dimaksud. Setelah dibuka dan dihitung, ternyata uang itu kurang. Keesokan harinya, setelah menimbang-nimbang, akhirnya mereka memutuskan untuk mengembalikan uang tersebut melalui pos yang sebelumnya menambahkan kekurangan uang tersebut dari gaji pensiunan mereka. Alasan pengembaliannya adalah karena pada dasarnya mereka tidak mengenal siapa Chairul Umam.
Hari demi hari, usia mereka pun bertambah tua. Mereka berhasil mengumpulkan uang untuk persiapan penguburan mereka. Istri menginginkan uang simpanan mereka dibagi untuk dibungakan, tetapi tidak disetujui Suami. Mereka pun berdebat. Uang dibagi tetapi pertengkaran berlanjut mengenai siapa yang akan mengerjakan persiapan kematian mereka.
Setelah terjadi diskusi dan perdebatan, akhirnya mereka sepakat untuk mempercayakan pengerjaan persiapan penguburan mereka pada Ibrahim, dan beberapa material bangunan untuk penguburan pun dibeli.
Setelah membeli bahan-bahan bangunan, keinginan suami bertambah. Ia ingin membeli peti mati agar lengkap bahan-bahan penguburan mereka. Istri menolak keras keinginan Suami, dan seperti biasa mereka kembali cekcok. Selang beberapa hari, dua buah peti mati telah siap diruang tamu disamping beberapa marmer yang ditutupi kain.
Mereka kemudian memanggil Tobing, mantan anak kos mereka yang telah berkeluarga. Mereka bermaksud menjual rumah itu pada Tobing dengan sistem kredit tak terikat waktu. Yang jelas kredit tersebut harus sudah dilunasi ketika mereka meninggal.
Namun sampai cicilan rumah itu lunas, suami-istri itu tak kunjung menemui ajalnya. Ibrahim yang dipercayakan mengurus proses pemakaman mereka juga tidak sabar lagi, padahal kedua suami-istri itu sudah sakit-sakitan dan ingin sekali mati.
Suatu malam Suami dalam keadaan sekarat, dan keadaan menjadi tegang. Cokro berdoa mengatasi suasana, sementara Istri terisak-isak disamping peti mati. Suami meminta maaf pada Cokro dan Istrinya. Ia juga berpesan bahwa ia telah menulis surat wasiat yang ia simpan dibawah kasur, tapi ia batal menemui ajalnya. Keesokan harinya keadaan menjadi normal kembali.
Cokro yang sudah tidak tahan mendapat tekanan selama tinggal di rumah itu, suatu waktu dituduh telah membaca surat wasiat milik Suami. Cokro dianggap sebagai pencuri. Dalam kemarahannya Suami mengusir Cokro, tetapi Cokro melawan dan tidak menurutinya. Karena kemarahannya, akhirnya penyakit kedua orang tua itu kambuh dan bertambah parah, sehingga suatu ketika mereka tidak kuasa lagi untuk bangkit. Cokro membantu memasukkan mereka ke dalam peti mati, walaupun ia telah disakiti. Setelah mengucap doa, peti ditutup olehnya. Detak jantung Cokro Dag-dug-dag-dug. Demikian plot naskah Dag-Dig-Dug.

b. Sifat Plot
Sifat plot dalam naskah Dag-Dig-Dug adalah linear plot. dimana suatu kejadian dan konflik tersusun secara berurutan seperti bentangan garis dari A sampai Z. Dimana penonton hanya mendapat pikiran-pikiran berdasarkan percakapan tokoh-tokohnya dari awal sampai akhir.

c. Jenis plot
Jika melihat dari alur ceritanya, jenis plot dalam naskah Dag-Dig-Dug termasuk kedalam plot longgar. Karena dari beberapa peristiwa, terdapat peristiwa yang tidak penting dan tidak mempengaruhi peristiwa lainnya. Sehingga apabila dihilangkan tidak mempengaruhi makna ceritanya.
Plot longgar ialah plot yang yang terbentuk karena adanya sejumlah peristiwa, baik yang penting kedudukannya maupun yang kurang penting. Umpanya sebuah peristiwa yang dianggap kurang penting dalam lakon itu dilepaskan, maka makna dari lakon itu kemungkinan besar tidak akan berkurang.[5]

2.1.4. Struktur Dramatik
Struktur adalah suatu kesatuan dan bagian-bagian yang kalau satu diantara bagian diubah atau dirusak, akan berubah atau rusaklah seluruh struktur itu. Di dalam cerita-cerita konvensional, struktur dramatik yang dipergunakan adalah struktur dramatik Aristoteles (1991:142).
Secara struktural naskah ini dapat disebut sebagai naskah konvensional, karena struktur dramatiknya disajikan secara Aristotelian, dimana peristiwa demi peristiwa dari awal hingga akhir tertata apik satu dengan lainnya yang selalu berkaitan. Fungsinya untuk mengungkap pikiran pengarang dan lebih melibatkan pikiran, perasaan penonton dalam cerita tersebut. Struktur dramatik Aristotelian terdiri dari :
a. Eksposisi
Eksposisi adalah bagian awal atau pembukaan dari suatu karya sastra drama. Sesuai dengan kedudukannya, eksposisi berfungsi sebagai pembuka yang memberikan penjelasan atau keterangan mengenai berbagai hal yang diperlukan untuk dapat memahami peristiwa-peristiwa berikutnya dalam cerita. Keterangan-keterangan itu dapat mengenai tokoh-tokoh cerita, masalah yang timbul, tempat dan waktu ketika cerita terjadi dan sebagainya (1991: 143).
Eksposisi dimulai pada babak I ketika terjadi diskusi antara Suami dan Istri tentang siapa Chairul Umam yang disebutkan dalam surat. Mereka berusaha mengingat tetapi selalu gagal. Tamu datang dan menjelaskan peristiwa yang menimpa Chairul Umam.

b. Rising Action
Dimulai ketika mereka menerima tamu yang mengabarkan tentang kematian Chairul Umam, yang sekaligus memberikan uang asuransi. Peristiwa ini membuat masalah berkembang, dimana konflik-konflik kecil mulai bermunculan. Mereka mengalami kebimbangan antara dikembalikan atau tidaknya uang tersebut.
Rising action semakin menanjak ketika diketahui kalau jumlah uang yang diterima itu ternyata kurang. Karena rasa takut dan kebingungan tentang siapa Chairul Umam menghantui mereka, akhirnya uang tersebut diputuskan untuk dikembalikan dengan menambahkan kekurangannya dari gaji pensiunan mereka.

c. Komplikasi
Komplikasi atau penggawatan merupakan lanjutan dari eksposisi dan peningkatan daripadanya. Di dalam bagian ini, salah seorang tokoh cerita mulai mengambil prakarsa untuk mencapai tujuan tertentu. Akan tetapi hasil dari prakarsa itu tidak pasti. Dengan demikian timbullah kegawatan (1991:143).
Kegawatan ini saling bertubrukan dengan tokoh lainnya setelah masing-masing tokoh menceritakan jati dirinya, sehingga peta konflik antar tokoh semakin tergambar dengan jelas.
Komplikasi dimulai ketika sang suami berniat mempersiapkan segala sesuatunya untuk kematian dan penguburan mereka nanti, sedangkan istri berkehendak lain, yakni agar uang dibungakan terlehih dahulu. Kemudian barulah ditentukan tukang, tetapi hal ini justru semakin memperuncing masalah, karena kedua-duanya memiliki kriteria yang berbeda. Berbagai pertentangan dan perdebatan terjadi antara Suami dan Isteri karena masing-masing ingin memperlihatkan eksistensi ke-aku-annya.

d. Klimaks
Komplikasi disusul klimaks yang merupakan tahapan peristiwa dramatik. Dalam bagian ini pihak-pihak yang berlawanan atau bertentangan, berhadapan untuk melakukan perhitungan terakhir yang menentukan. Didalam bentrokan itu nasib para tokoh cerita ditentukan (1991:143).
Klimaks dimulai ketika Suami mengetahui dari istrinya bahwa buku wasiatnya telah dibaca orang dan menuduh Cokro sebagai pelakunya. Hingga suatu ketika, kemarahan Cokro tidak terbendung lagi. Terjadilah keributan besar antara Cokro dan sepasang suami-istri tersebut yang tidak menghasilkan solusi.
Selain konflik secara fisik, sebenarnya terjadi juga konflik batin dan pikiran mereka masing-masing dengan dirinya yang tidak bisa dipecahkan. Secara individu akhirnya mereka pasrah dan menerima kekalahannya sebagai manusia yang lemah, dan kembali pada sebuah lingkaran kesunyian.

e. Resolusi
Resolusi menyusul klimaks. Dalam bagian ini semua masalah yang ditimbulkan oleh prakarsa tokoh atau tokoh-tokohnya terpecahkan.
Resolusi ditandai dengan berakhirnya pertengkaran tersebut. Kemudian kedua orang tua itu masuk kedalam peti mati, masing-masing bermaksud akan tidur. Suami ketakutan dan membangunkan istrinya tetapi tidak dihiraukan. Suami seakan-akan mengalami keadaan sekarat dan sang istri tetap tidak peduli. Suami memanggil Cokro, dan kemudian Cokro datang membaringkan Suami dengan tenang, menutup peti matinya dan membacakan doa.
Disini eksistensi masing-masing individu yang ambisius sudah mulai terlihat keasliannya. Peristiwa sudah tergambar, tentang apa, siapa, dan bagaimana.

f. Konklusi
Konklusi adalah bagian terakhir sebuah cerita. Dalam bagian ini nasib tokoh-tokoh cerita sudah pasti. (1991 : 144)
Konklusi dalam naskah ini tidak tertulis secara langsung dalam dialog. Kematian adalah sebuah rahasia yang hanya menjadi milik Sang Pencipta. Kita tidak pernah tahu kapan kematian akan menjemput. Manusia tetap terpenjara dalam sangkar kesunyian, kesepian, dan kesendirian dalam hidup. Putu menyerahkan akhir cerita pada penggarap naskahnya. Dengan kata “Dan Seterusnya” pada akhir naskahnya.

2.1.5. Tipe Lakon
Tipe lakon atau disebut genre lakon, jenis lakon atau bentuk lakon. Naskah Dag-Dig-Dug ini adalah berbentuk tragedi komedi, atau yang kita kenal dengan tragic comedi.
Tragedi komedi yaitu bentuk lakon yang dibawakan oleh tokoh-tokoh yang konyol (mengundang tertawaan), tetapi yang bertema tragis dimana akhirnya menyedihkan ( Yoyo&Willy, 1985:37).
Dalam naskah ini, tokoh sentralnya dihadapkan pada permasalahan yang mereka sendiri tidak tahu kebenarannya. Mereka, terutama tokoh Istri sangat mudah mempercayai kabar yang belum jelas yang akhirnya justru merugikan mereka sendiri. Sementara pada orang yang mereka kenal, mereka selalu menaruh kecurigaan yang besar.
Sikap Suami dan Istri menunjukkan kekonyolannya ketika mereka telah mempersiapkan segala keperluan pemakaman. Bahkan sempat sang suami merasa ajalnya sudah datang ketika penyakitnya kumat. Tetapi tidak jadi mati dan malah keadaan fisiknya kembali ke keadaan normal.
Perilaku yang ditunjukkan tokoh Suami dan Istri tadi sangat komedi sekali. Memang bukan komedi rendah yang menimbulkan gelak tawa karena tingkah laku tokohnya yang mengundang kelucuan secara fisik. Tetapi lebih merupakan komedi satir yang mentertawakan tingkah laku kejiwaan seseorang yang secara psikologi mengalami ketidaklaziman atau dengan kata lain mengalami cacat tragis yang disebabkan kurangnya kebijaksanaan dalam menjalani kenyataan, sehingga menimbulkan pola watak absurd.

2.1.6. Model Penokohan
Round character adalah model yang penulis anggap tepat untuk diterapkan pada lakon ini berlandaskan pada konvensi naskah dan pembawaannya yang mengacu pada realisme, yakni mengkarakterisasi tokoh secara sempurna sebagaimana adanya manusia.
Yang dimaksud tokoh yang berbentuk round atau bulat adalah tokoh yang diberikan karakter oleh pengarang secara kompleks dan tidak hanya hitam putih saja. Kebanyakan tokoh-tokoh yang berbentuk round ini terdapat dalam lakon-lakon yang sifatnya realistis (Yoyo&Willy, 1985 : 26-27).
Dengan demikian, aktor memiliki keleluasaan dalam mengembangkan peran yang dimainkannya, namun tetap dalam batas sebuah konvensi pemeranan realisme.

2.2. Potensi Naskah
2.2.1. Kelebihan Naskah
Naskah ini adalah naskah pemenang pertama dalam sayembara naskah lakon yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta yang ke III pada tahun 1974. Sudah barang tentu kualitas naskahnya tidak perlu diragukan lagi.
Ceritanya sangat unik untuk sebuah naskah realis. Memang hanya menceritakan pertentangan antara suami-istri dan orang lain disekitar mereka (Cokro dan Ibrahim) karena kepikunan dan sifat ngeyel yang mereka punya. Tetapi makna yang terkandung didalam dialog-dialognya begitu dalam. Sindiran atau pesan tersembunyi dalam dialog tokoh-tokohnya, sangat cerdas. Bahasa yang digunakan merupakan bahasa keseharian yang logis, sehingga memudahkan dalam pemahaman dialognya.
Dalam naskah ini, pengarangnya memberikan kekuasaan penuh untuk mencoba karakter tokoh didalamnya, tanpa membatasinya dengan gambaran fisiologis. Karena Putu menyembunyikan identitas fisik tokoh-tokohnya. Dalam cover depan naskahnya pun Putu menuliskan: “PARA PEMAIN YANG MEMBAWAKAN NASKAH INI DAPAT SALING BERTUKAR PERAN DARI BABAK KE BABAK TANPA MENYEMBUNYIKAN IDENTITASNYA”. Demikian juga dengan akhir ceritanya, Putu menyerahkan nasib tokoh didalamnya kepada penggarap naskahnya. kita bebas membawakannya sesuai keinginan kita. Tidak ada nama, tidak ada tempat, tidak ada waktu dan tidak ada kata selesai. Karena itu pada setiap naskah Putu selalu membubuhkan kata : “Dan Seterusnya”.

2.2.2. Kekurangan Naskah
Kekurangan dari naskah ini adalah, tidak digambarkan dengan jelas tentang fisiologis tokoh. Sebenarnya tidak dapat juga dikatakan sebuah kekurangan. Banyak pengarang drama yang sengaja tidak menjelaskan gambaran fisik tokohnya. Hal ini kemungkinan dimaksudkan untuk membebaskan interpretasi aktor yang akan memerankannya. Masuk akal memang, karena pembatasan terhadap peran sama juga membunuh kreativitas.
Akhir cerita dan nasib tokoh sentralnya pun diserahkan sepenuhnya kepada penggarap. Dan ini menjadi gaya khas Putu Wijaya dalam setiap karya-karyanya.[6] Selain itu, naskah dan cerita hanya dititik beratkan pada satu wilayah kultur saja, yaitu kultur Jawa. Padahal, bila dilihat pokok permasalahannya, tentang kesunyian, kesendirian, kejenuhan, amarah, emosi, bahagia dan derita dalam hidup. Semua orang juga mengalami hal tersebut. Tetapi apabila identitasnya secara umum, ada kemungkinan setiap penggarapan menjadi baru sesuai dengan zamannya. Bila dilihat, pemikiran-pemikiran semacam ini, yakni tentang keinginan untuk segera mati, justru lebih merebak di zaman sekarang karena frustasi oleh berbagai keadaan hidup, ekonomi, politik, pendidikan, budaya, dll.

2.2.3. Reformulasi Naskah
Naskah Dag-Dig-Dug adalah naskah yang panjang yang apabila dipentaskan akan memakan waktu yang lama. Permasalahan durasi ini menjadi hal yang harus dipikirkan. Jalan yang penulis tempuh dalam mempersingkat pertunjukkan salah satunya dengan mengurangi waktu tampil. Untuk itu penulis mengedit naskahnya kembali, dengan membuang beberapa dialog untuk mengejar durasi waktu yang dipadatkan, tanpa bermaksud menghilangkan esensi dari naskah tersebut.

2.3. Aksentuasi Garap
Dalam membawakan naskah ini, laku aktingnya dibawakan secara realis walaupun bentuk naskahnya surealis. Penulis tidak membuat scenery secara keseluruhan realis, karena yang menajadi absurd hanya pada pola pikir pemainnya saja. Pada beberapa bagian tertentu hanya dibuat simbol-simbol saja. Seperti tidak dihadirkannya pintu dan jendela. Sehingga imajinasi aktor pun dituntut lebih kreatif menyikapi kondisi ini.
[5] Yoyo C. Durachman dan Willy F. Sembung, Pengetahuan Teater. Proyek Pengembangan Institut Kesenian Indonesia Sub Proyek Akademi Seni Tari Indonesia 1985/1986, hal 29.
[6] Lihat kecenderungan pengarang hal 8-9 !.

Ethnomusikologi

Ruang Lingkup Studi Musik

oleh

Aji Permana Sudjamza, S. Sn



Sudah menjadi tuntunan akademis bagi seorang peneliti yang menekuni bidang tertentu, terutama dalam bidang musik yang memiliki pengetahuan sebagai penunjang dalam pengkajian musik. Selain pembekalan praktek sebagai kompetensi dalam bidangnya, kemantapan teori pun seyogyanya setara dengan kemampuan praktisnya. Koentjaraningrat menyebutkan penelitian merupakan segala aktivitas berdasarkan disiplin ilmiah untuk mengumpulkan, mengklasifikasikan, menganalisa, dan menginterpretasikan fakta – fakta seta hubungan – hubungan antara fakta-fakta alam, masyarakat, kelakuan, hasil kelakuan dan rohani manusia guna menemukan prinsip-prinsip pengetahuan dan metoda baru dalam usaha menanggapi hal-hal tersebut (Koentjaraningrat 1973 : 4 ).
Penelitian dalam bidang musik tentunya memerlukan ilmu pengetahuan yang sesuai dengan pokok bahasan yang menjadi sasarannya. Seorang peneliti yang meneliti musik dapat memperdalam ilmu musik atau musikologi sebagai acuan dalam menganalisa musik yang ditelitinya. Tentu saja pembahasan secara musikologis dilakukan apabila musik tersebut dibahas secara sistematis, yang lebih menekankan pada; tangga nada, tonal center, interval, garis melodi atau countour melodi, ornamentasi, meter, dan ritme. Selain itu, pembahasan musik dapat pula dihubungkan dengan kehidupan sosial masyarakat dan kebudayaan musik tersebut. Dengan demikian, pembahasan musik dapat ditempuh secara teks dan konteks.
Berkembangnya ilmu pengetahuan dalam bidang musik seiring dengan laju kebudayaan manusia yang dinamis, maka bertambah pula ketidaktahuan manusia dalam menyingkapi berbagai masalah dalam penelitian musik. Oleh karena itu lahirlah disiplin ilmu etnomusikologi sebagai studi ilmiah musik di dalam kebudayaan (Merriam 1964 : 7). Pada dasarnya musik merupakan salah satu hasil dari kebudayaan manusia. Etnomusikologi mengaitkan hubungan antara musik dan budaya masyarakat, atau dapat dikatakan studi ilmiah terhadap musik tradisional. Hubungan – hubungan tersebut dapat ditemukan dengan disiplin ilmu etnomusikologi, mengingat bahwa etnomusikologi yang interdisipliner - data dan metode yang digunakan meliputi seni, humaniora, ilmu sosial, psikologi, fisika, matematika, maka pembahasan musik secara holistik lebih berinterferensi dengan kebiasaan-kebiasaan, tingkah laku, pandangan hidup, landasan filsafat masyarakat yang memiliki budaya musik.
Tulisan ini membahas etnomusikologi sebagai disiplin ilmu yang dapat mengungkap antara musik dan kebudayaan manusia, oleh karena itu, tidak ada salahnya apabila meninjau kembali disiplin ilmu ini. Isi tulisan ini terfokus pada; pengertian etnomusikologi, peranan dalam musik tradisi, pekerjaan etnomusikolog, manfaat etnomusikologi, dan tanggung jawab dalam kehidupan dan perkembangan musik tradisi.


Pengertian Etnomusikologi

Istilah etnomusikologi diprakarsai oleh Jaap Kunts pada tahun 1950. Awalan ‘etno’ dan ‘musikologi’ untuk menunjukkan bahwa studi ini adalah untuk musik dari berbagai ras di dunia. Namun definisi ini dibatasi, bahwa seni musik barat dan musik populer tidak termasuk studi ini, yang menjadi sasarannya adalah musik pada masyarakat non-literasi yang diajarkan secara lisan melalui tradisinya. Etnomusikologi merupakan salah satu disiplin ilmu yang mempelajari musik dan budayanya. Budaya yang dimaksud adalah budaya musik masyarakat seluruh dunia. Bahasan dalam etnomusikolgi adalah musik tradisional yang berasal dari kebudayaan tinggi dan musik rakyat diseluruh dunia yang lahir dari ekspresi manusia. Etnomusikologi sebagai disiplin ilmu yang multidisipliner[1] memiliki peranan penting dalam mengungkap budaya musik dalam suatu masyarakat. Dalam bahasannya, musik tidak hanya dibahas secara teksual - musik tidak hanya dibahas mengenai aspek musikalnya – namun dibahas pula secara teksual, yakni adanya hubungan musik dengan kehidupan sosial masyarakat yang sesuai dengan budayanya.
Kiranya etnomusikologi sebagai disiplin ilmu dapat dijadikan parameter dalam mengungkap hal – hal yang berkaitan dengan budaya musik. Mengingat bahwa musik merupakan hasil dari budi daya manusia dan salah satu unsur dari kebudayaan universal, maka rerlevansi musik dengan masyarakat pendukungnya sangat menunjang untuk pengungkapan budayanya. Dalam hal ini dipelajari juga asal – usul musik, fenomena asal musik, kebudayaan dan tingkah laku atau kebiasaan orang – orang yang bermain musik dalam suatu suku bangsa.


Cakupan Bahasan

Dari pengertian dan ruang lingkup studi etnomusikologi di atas, maka untuk mempermudah penelitian musik terdapat kategorisasi sebagai kerangka pembahasan musik. Kategorisasi tersebut dapat dilihat bagan dibawah ini.

KATEGORISASI

Kategori A
Musikal
· Sistim Nada
· Struktur Musikal
· Orkestrasi
· Interpretasi Musikal


Kategori B
Instrumen
· Organologi
· Sistim Laras
· Ensambelisasi
· Cara Memainkan

Kategori C
Pendukung
· Pemain
· Apresiator
· Pembuat
Kategori D
Fungsi
· Ritual
· Pseudo Ritual
· Profan
· Presentasi Estetik


Dari bagan tersebut dapat dilihat bahwa pembahasan musik dapat ditinjau dari berbagai aspek. Ke empat kategori tersebut merupakan salah satu alaternatif dalam pembahasan musik yang menyeluruh. Setiap data atau metode yang berasal dari disiplin atau sumber apapun dapat digunakan apabila hal itu dapat membantu mengembangkan penelitian musik. Ini adalah ciri – ciri dalam etnomusikologi sebagai disiplin ilmu.


Peranan Etnomusikologi dalam Musik Tradisi

Telah disebutkan di muka bahwa ruang lungkup studi etnomusikologi adalah musik tradisional non literasi, musik kebudayaan tinggi, dan musik rakyat. Sebelum membahas lebih jauh mengenai peranan etnomuiskologi dalam musik tradisi, alangkah lebihbaiknya apabila mengetahui peengertian musik tradisional. Musik tradisional adalah suatu bentuk seni yang bersumber dan berakar serta telah dirasakan sebagai milik sendiri oleh masyrakat lingkungannya, pengolahannya didasarkan atas cita-cita masyarakat pendukungnya. Cita-cita rasa di sini mempunyai pengertian yang luas, termasuk ‘nilai kehidupan tradisi’, pandangan hidup, pendekatan filsafat,rasa etis dan estetis serta ungkapan budaya lingkungan. Hasil kesenian tradisional biasanya diterima sebagai tradisi pewarisan yang dilimpahkan dari angkatan tua kepada angkatan yang muda (Jeniffer Lindsay 1981 : 112).
Etnomusikologi dalam mengungkap musik tidak hanya musikalitas yang dibahasnya, juga hubungan antara masyarakat dan budayanya. Tentu saja peranannya dalam musik tradisi adalah sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari musik dan memberikan kontribusi berupa data tertulis dari musik yang ditelitinya. Musik – musik yang non-literasi, akhirnya memiliki catatan untuk diinformasikan pada masyarakat luas. Etnomusikologi sebagai disiplin ilmu akhirnya perlu mendeskripsikan musik yang dipelajarinya, sehingga peranan etnomusikologi dalam mempelajari musik dengan tujuan mengangkat harkat dan martabat musik di seluruh dunia dapat terwujud.
Kiranya adanya disiplin ilmu etnomusikologi keberadaan suatu bangsa yang kaya akan budaya akan terangkat. Kemajuan suatu bangsa dapat terlihat dari kebudayaannya, apabila kebudayaan yang dinamis itu mengalami perubahan yang menurun dan tidak menuju pada perubahan yang lebih baik, maka dapat diukurlah pola pikir masyarakatnya. Dalam hal ini musik yang menjadi pokok bahasan, budaya musik dari masyarakat akan tercermin melalui kebiasaan – kebiasaan dalam menjalani kehidupannya.


Etnomusikolog

Etnomusikolog adalah orang yang mempelajari etnomusikologi, pekerjaanya adalah meneliti musik dan mendokumentasikannya, transkripsi dan analisis akustika, klasifikasi, sistematika, analisis, dimensi kesejarahan, dan etika. Minat para etnomuikolog yang dapat dikatakan kategori baru adalah perubahan atau akulturasi yang sering diteliti melalui pendekatan sosiologis atau pendekatan historis. Dalam pendekatan ini seorang etnomusikolog setidaknya menguasai disiplin ilmu antropologi. Awalnya para etnomusikolog memliki latar belakang pendidikan yang berbeda, hingga setelah mereka mendalami budaya masyarakat yang diteliti, secara langsung mereka mempelajari budaya musik.
Tokoh – tokoh yang mengabdikan hidupnya terhadap problema – problema dalam analisis musik adalah sarjana yang belajar di bidang ilmu alam. Carl Stumpf, seorang filsuf yang berusaha melihat fakta – fakta melalui eksperimen –eksperimennya seperti yang dilakukan oleh para ahli pengetahuan alam. Hornbostel sebelumnya adalah ahli kimia. Antropolog Frans Boas pada mulanya adalah sarjana ilmu fisika dan geografi. Pandangan dan pemikiran dari generasi ini mewarisi dan mewarnai disiplin ilmu etnomusikologi.
Pekerjaan etnomusikolog yaitu meneliti musik, penelitian itu bisa dilakukan melalui berbagai pendekatan pada masyarakat, biasanya mereka melakukan penelitian lapangan dan laboratorium. Untuk lebih mengetahui kebudayaan masyarakat dan tentu saja musik yang ditelitinya mereka melakukan patisipant observer atau penelitian berperan serta, para etnomusikolog berbaur dengan masyarakat dengan waktu yang lama dengan tujuan agar ia mengetahui kebudayaan mereka dan menjadi bagian dari masyarakat.


Tanggung Jawab dalam Kehidupan dan Perkembangan Musik Tradisi

Pada dasarnya etnomusikologi memiliki tujuan untuk melestarikan budaya musik, melindungi, dan mengangkat harkat dan martabat musik di seluruh dunia. Seni tradisional memerlukan “pengawetan” dan diadakan pengamatan sebagai upaya dokumentasi tertulis. Selain mempelajari musik dari berbagai budaya, melalui etnomusikologi kebudayaan suatu suku bangsa dapat terangkat, dan menjadi suatu kebanggaan bagi suatu bangsa apabila kebudayaan - termasuk unsur kesenian (musik) – menduduki puncak – puncak budayanya melalui pendekatan etnomusikologi.
Apabila hasil pengamatan tersebut tidak memberikan apa-apa bagi kehidupan musik tradisional, dan hanya mementingkan sudut keilmiahan, kiranya manfaat dari pengamatan tersebut kurang memenuhi syarat. Salah satu contoh, musik – musik rakyat yang tumbuh dilingkungan masyarakat. Mereka hidup melalui kesenian, tetapi penghargaan dari masyarakat relatif kurang. Kiranya kurang tepat apabila seorang peneliti mengangkat kesenian rakyat yang keberadaannya dimasyarakat mengalami alienasi, sedangkan ia mempelajari hanya untuk kepentingan studi ilmiah. Setelah ia mendapat data lengkap, selanjutnya tidak ada kontribusi apapun untuk kepentingan kehidupan seni tradisi.
Perkembangan musik tradisi yang seiring dengan perubahan masa sangat terkait dengan perubahan masyarakat dalam suatu budaya. Etnomusikologi menjembatani hal tersebut agar tetap pada lajurnya. Melestarikan berarti menjaga nilai – nilai dan pandangan hidup tradisional.
[1] Cabang ilmu dalam etnomusikologi, yaitu Antropologi, sosiologi, psikologi, fisika, matematika. cabang – cabang ilmu tersebut dapat membantu dalam pengkajian musik – musik etnis seluruh dunia yang dapat disesuaikan dengan pendekatan yang digunakan.

Seni Beluk

Eksistensi dan regenerasi
Studi kasus seni beluk Pusaka Mekar di Kampung Cipulus Desa Pasigaran Kecamatan Tanjungsari-Kabupaten Sumedang
Oleh
Engkos Kosasih

Intisari
Seni beluk Pusaka Mekar mengalami krisis regenerasi yang dapat mengakibatkan terpuruknya keberadaan sebuah seni tradisi. Apakah seni Beluk Pusaka Mekar ini akan tetap eksis di kalangan masyarakatnya, mengingat rumitnya permasalahan di dalamnya? Tulisan ini membahas tentang faktor penyebab menurunya tingkat apresiasi masyarakat terhadap seni beluk, juga menawarkan beberapa solusi untuk menyikapi hal tersebut.



Pendahuluan

Jawa Barat merupakan sebuah propinsi yang dikenal kaya akan ragam kesenian daerah. Eksistensinya terjaga dalam tatanan budaya masyarakat agraris pedesaan, terutama di kawasan pegunungan. Kesenian tersebut mencerminkan identitas daerahnya sebagai masyarakat ladang1), hal ini dapat dilihat dari ciri atau gaya dari setiap jenis kesenian yang ada di kalangan masyarakat. Kesenian tersebut dapat dikategorikan sebagai kesenian rakyat, berbeda dengan kesenian yang tumbuh dan berkembang di lingkungan keraton atau kerajaan2). Bentuk kesenian rakyat lebih bersifat komunikatif, dan salah satu unsur yang bisa muncul dalam seni rakyat adalah sifat spontan dan seronok.(Humardani, Kompas 10 Agustus 1983, hal 12.)3)
Ciri yang paling menonjol dari kesenian rakyat yaitu bersifat kedaerahan yang memiliki khas dari daerah tempat asal kesenian itu terbentuk. Hal tersebut dapat tergantung dari letak geografis, misalnya kesenian dari daerah pesisir akan berbeda bentuk dan gayanya dengan kesenian yang terdapat di daerah pegunungan. Hal ini dapat mempengaruhi sifat yang dimiliki oleh kesenian tersebut, baik itu dari pola tabuhan, bentuk sajian, maupun jenis keseniannya, yang tentunya tergantung dari adat, budaya, dan tradisi daerah setempat. Pada dasarnya kesenian yang berkembang di kalangan rakyat bentuk dan gayanya sangat sederhana, baik itu dari segi waditra yang digunakan maupun kostum yang di kenakan dilihat dari corak maupun ragam motifnya.
Kesenian rakyat biasanya identik dengan suasana ritual terhadap nenek moyang, di samping sebagai sarana hiburan, hal ini merupakan pola pemikiran masyarakat pedesaan. Pada umumnya kepercyaan masyarakat pada zaman dulu masih menganut animisme dan dinamisme, yang meyakini kepercayaan terhadap roh nenek moyang. Kebiasaan-kebiasaan yang berkaitan dengan kepercayaan tersebut masih melekat pada masyarakat saat ini. Salah satu kesenian yang masih digunakan untuk kepentingan ritual keagamaan adalah seni beluk.
Kesenian beluk banyak tersebar di daerah Jawa Barat, baik berupa sebuah sanggar maupun lingkungan kecil yang belum terorganisasi. Adanya penyebaran kesenian beluk di setiap daerah memungkinkan pula adanya keterbatasan data yang menyangkut tumbuh kembangnya kesenian tersebut, sehingga perkembangan seni beluk akan lebih sulit untuk diidentifikasi keberadaanya. Mungkin sulitnya menemukan kesenian beluk di Jawa Barat terbentur pada tidak adanya data statistik mengenai tumbuhnya kesenian beluk di setiap daerah di Jawa Barat. Dengan adanya keterbatasan tersebut, dalam tulisan ini penulis menggunakan pendekatan studi kasus tentang seni beluk yang berada di Kampung Cipulus, Desa Pasigaran, Kecamatan Tanjungsari Sumedang.
Saat ini, seni beluk di desa tersebut masih terjaga keasliannya, hanya saja dukungan dari masyarakat di daerah tersebut dinilai kurang. Hal ini dapat dilihat dari kurangnya frekuensi pementasan beluk di Kampung Cipulus.
Dalam tulisan ini penulis akan mengangkat masalah revitalisasi seni beluk. Hal ini dinilai penting dalam rangka membangkitkan kembali minat dan kecintaan masyarakat terhadap seni tradisi, khususnya seni beluk. Kiranya revitalisasi ini dapat terwujud dalam tatanan khasanah kesenian Jawa Barat, mengingat bahwa Negara Indonesia yang kaya akan budaya, seharusnya bisa memunculkan kesenian dari sub- kultur yang mencerminkan kebudayaan daerahnya.


Seni Beluk

Salah satu jenis kesenian rakyat yang terdapat di daerah Jawa Barat adalah seni beluk yang eksistensinya kurang dikenal masyarakat. Padahal kesenian tersebut merupakan local genius yang seharusnya dilestarikan dalam rangka revitalisasi kesenian tradisional. Kesenian beluk tergolong pada jenis seni vokal yang mempunyai gaya atau khas yang mandiri. Ciri khas tersebut memberikan warna lain dari vokal yang sering dibawakan oleh seni kepesindenan ataupun seni yang lebih mengutamakan vokal lainnya, baik itu dalam bentuk penyajiannya maupun dalam olah vokal yang dipergunakan. Dilihat dari latar belakangnya, seni beluk identik dengan masyarakat peladang, hal ini tampak ketika vokal yang dibawakan volume suaranya relatif lebih keras. Hal ini bermula dari kebiasaan masyarakat peladang, yang lokasi mereka berjauhan dari satu tempat ke tempat yang lainnya, sehingga untuk mengadakan komunikasi diperlukan suara yang keras. Yang kedua, beluk berawal ketika masyarakat yang bepergian melewati hutan sendirian. Untuk mengusir rasa sepi maka dia melakukan teriakan-teriakan untuk memberi tahu kalau ada orang lain yang ada di sekitar hutan tersebut.
Kebiasaan khas ini berkorelasi kuat dengan sifat dan karakter aktivitas budaya masyarakat ladang (agraris). Bentuk dan kontur lagu yang cenderung menggunakan nada tinggi, mengalun, dan meliku-liku adalah bagian dari ekspresi masyarakat ladang saat saling berkomunikasi sesama komunitasnya, yang mempunyai pola tinggal menetap namun saling berjauhan.
Dari kata ‘nada tinggi’ sudah mencerminkan bahwa kesenian beluk ini tidak lazim dikumandangkan di ruangan, tapi di alam bebas. Namun, pada perkembangannya beluk lazim terdengar di rumah-rumah penduduk. Ini terkait dengan pengaruh Wawacan4)- pembacaan kitab kuno yang dinyanyikan untuk ritual tertentu, misalnya ritual kelahiran bayi, acara hajatan, dan lain-lain. Secara evolutif, beluk dan wawacan telah bersanding dalam sajian musik vokal.
Beluk dan wawacan, akhirnya sangat berkaitan erat. Karena pengaruh wawacan, beluk pun terkait oleh pola pupuh dari bentuk lagu dan pola lagu, sebagaimana konsep tembang macapat yang berkembang di Jawa Tengah. Wawacan terikat oleh aturan pupuh yang telah ditentukan, seperti Kinanti, Dangdanggula, Asmarandana, Sinom, dan seterusnya.
Beluk dan wawacan dapat dikatakan bukan merupakan seni tontonan. Ia lebih bersifat personal, untuk menghibur diri, mengusir rasa kesepian, atau terutama untuk kepentingan ritual. Sebagai contoh, untuk kepentingan ritual kelahiran bayi, penyajiannya biasanya dilakukan di ruang tengah dan menggunakan tikar sebagai alas. Di tengah tikar disediakan sesaji aneka makanan dan minuman. Penyaji beluk duduk bersila, dan diapit oleh kaum kerabat keluarga yang mempunyai maksud, membentuk sebuah formasi melingkar.
Dalam penyajiannya, beluk memiliki beberapa istilah bagi orang-orang yang menyajikannya, diantaranya:
Tukang ngilo, adalah pembaca syair wawacan tanpa dinyanyikan (naratif) dalam tempo sedang, dengan artikulasi yang jelas. Dibaca per- padalisan (baris).
Tukang ngajual, fungsinya yaitu menyajikan syair yang dibacakan oleh tukang ngilo sesuai dengan pupuhnya, tetapi cara penyajiannya tanpa ornamen.
Tukang meuli, tugasnya adalah melanjutkan lagu yang disajikan oleh tukang ngajual dengan dilengkapi oleh ornamen-ornamennya.
Tukang naekeun, tugasnya adalah melanjutkan sajian tukang meuli dengan menggunakan nada yang melengking tinggi dan meliuk-liuk, dengan artikulasi yang tidak jelas. Dilengkapi dengan ornamentasi yang sangat dominan.
Peranan para penyaji beluk tersebut dilakukan secara bergiliran. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kondisi fisik dan suara, agar tetap fit (terjaga kesehatannya). Karena penyajian seni beluk ini disajikan pada waktu malam hari, dan biasanya dilakukan sampai cerita wawacan tamat.


Demografi

Dusun Cipulus terletak di sebuah areal perbukitan, di mana di sekelilingnya terhampar luas ladang dan sawah milik para penduduk. Lingkungannya masih kental dengan sifat kegotongroyongannya, sehingga sosialisasi di lingkungan masyarakatnya terjalin harmonis. Tingkat pendidikan di kampung tersebut rata-rata lulusan Sekolah Dasar. Masyarakat pada umumnya bekerja sebagai petani, penggarap sawah dan ladang. Hanya beberapa orang saja yang bekerja sebagai karyawan di pabrik-pabrik, itupun kebanyakan usia remaja.
Melimpah-ruahnya sumber daya alam ini membuat Kampung Cipulus tergolong sebagai masyarakat agraris yang letaknya hanya beberapa ratus meter saja dari Balai Desa Pasigaran, hanya dipisahkan oleh lembah-lembah dan sebuah aliran sungai. Di sekitarnya terhampar luas petak-petak sawah milik para penduduk sebagai lahan penghasil padi. Dari dusun Cipulus ini, apabila berjalan ke sebelah utara, berbatasan dengan Kampung Pasir Salam, dan ke sebelah selatan berbatasan dengan Kampung Lebak Peutag yang masih termasuk pada Desa Pasigaran.
Aktivitas masyarakat pada umumnya adalah bercocok tanam, menggarap sawah, huma dan palawija, yang merupakan hasil utama dari daerah Cipulus. Selain hasil pangannya dijual ke pasar, juga digunakan sebagai bahan makanan untuk mencukupi kehidupan mereka sehari-hari.


Seni Beluk Pusaka Mekar

Lingkung Seni Beluk Pusaka Mekar tepatnya berada di Kampung Cipulus Desa Pasigaran Kecamatan Tanjungsari, didirikan sekitar tahun 1980-an yang anggotanya terdiri dari 12 orang, merupakan sebuah lingkung seni Beluk yang keberadaanya sampai sekarang dinilai masih belum berkembang. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu kurangnya apresiasi masyarakat, kebijakan pemerintah mengenai pelestarian dan pengembangan, dan regenerasi. Salah satu faktor yang menyebabkan kurang berkembangnya seni beluk di Kampung Cipulus Desa Pasigaran Kecamatan Tanjungsari Kabupaten Sumedang terutama disebabkan oleh faktor regenerasi (wawancara dengan ketua Lingkung Seni ‘Pusaka Mekar’, Iya diriya, 18 Januari 2005).
Menurut narasumber, seni beluk Pusaka Mekar merupakan sebuah organisasi yang diketuai oleh Bapak Iya Diriya sendiri. Pada awal mulanya, seni beluk tersebut terbentuk karena didasari oleh keinginan beliau yang telah menguasai seni beluk, baik materinya maupun teknisnya. Berangkat dari keinginannya itu, Pak Iya mulai merintis sebuah organisasi yang bernama “Pusaka Mekar” yang artinya sesuatu yang dianggap buhun5) harus dimekarkan atau dikembangkan. Dalam hal latihan, lingkung seni “Pusaka mekar” ini melakukan latihan gabungan dengan sebuah lingkung seni di Cikaramas yang letaknya sebelah utara Kampung Cipulus.
Dengan hadirnya seni beluk- pada saat itu- tanggapan masyarakat di Kampung Cipulus sangat positif. Disamping sebagai hiburan, seni beluk juga digunakan sebagai upacara syukuran, misalnya syukuran pernikahan, kelahiran, syukuran hasil panen, dan lain-lain. Bahkan pernah terjadi syukuran kelahiran hewan peliharaan seseorang, sebagai ungkapan rasa syukur dia mengadakan selamatan di rumahnya dengan mempertunjukkan seni beluk. Dari contoh kasus tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa keberadaan seni Beluk pada saat itu di akui oleh masyarakat Cipulus. Akan tetapi, masalah yang paling utama adalah bagaimana agar seni beluk tetap eksis di kalangan masyarakat.
Menurut penuturan Pak Iya, bahwa saat ini pelatihan beluk sangat sulit untuk dilaksanakan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama; faktor usia para seniman beluk yang sudah relatif tua dan sudah jarang yang menguasai seni beluk, sehingga di Kampung Cipulus hanya ada beberapa orang saja yang masih kuat untuk membawakan beluk. Kedua; kurangnya minat generasi muda dalam hal pelestarian seni tradisi. Hal tersebut dapat dilihat dari perkembangan seni-seni yang bersifat modern yang mulai mengalami pengkristalan di kalangan generasi muda, dimana hal ini menyebabkan untuk berkembangnya sebuah kesenian tradisi, khususnya seni beluk. Ketiga; kurangnya dukungan dari instansi pemerintahan, hal ini juga sangat disayangkan oleh ketua Lingkung Seni Beluk “Pusaka Mekar”, mengapa sampai instansi pemerintahan pun dirasakan kurang peduli akan perkembangan seni tradisi, padahal seni merupakan sebuah jati diri bangsa. (wawancara dengan ketua Lingkung Seni ‘Pusaka Mekar’, Iya diriya, 18 Januari 2005). Hal ini masih menjadi tanda tanya sampai saat ini, mengapa instansi yang terkait tidak memperhatikan kesenian.
Hal di atas, merupakan salah satu dampak yang negatif terhadap tumbuh kembangnya seni beluk. Mengingat bahwa kesenian merupakan pencerminan dari identitas suatu bangsa, seharusnnya keberadaan kesenian tradisional mendapat kedudukan penting dalam tatanan budaya.

Masalah Regenerasi

Sistem pewarisan merupakan salah satu faktor penting dalam melanjutkan pembelajaran dalam mempelajari suatu jenis kesenian. Kesenian yang sudah mengalami perjalanan panjang-yang dilakukan oleh generasi tua, kemudian untuk melanjutkan keberadaannya memerlukan pewarisan yang dilakukan oleh kaum tua pada angkatan muda. Apabila kesenian yang sudah mendekati kepunahan akibat dari tidak adanya pewarisan, dalam arti keberadaannya kurang menunjukkan jati diri kesenian tersebut, karena berbagai faktor yang menyebabkan tersendatnya proses pewarisan itu, maka kemungkinan besar kesenian tersebut akan punah ditelan zaman.
Kembali pada persoalan seni beluk “Pusaka Mekar”, bahwa kesenian ini mengalami hal serupa, yakni tidak adanya pewarisan yang konsisten pada kompetensi yang dimiliki generasi muda saat ini. Hal ini merupkan suatu permasalahan yang mendasar dan belum ada solusinya yang tepat, sehingga kita tidak bisa menyalahkan sebelah pihak. Di satu sisi, pewarisan merupakan hal yang paling utama, dari sisi lain kompetensi yang dimiliki generasi muda kurang memadai akan hal ini, mereka cenderung tertarik pada musik modern (musik Barat) yang cenderung lebih atraktif. Barangkali keadaan seperti ini dipengaruhi oleh media informasi (media elektronik), mereka secara tidak langsung menangkap suatu hal yang baru6), sedangkan kesenian beluk dianggap kolot, tidak sesuai dengan karakteristik mereka yang cenderung progresif. Dari fenomena tersebut, maka timbul pertaanyaan, apakah seni beluk “Pusaka Mekar” ini akan tetap eksis di kalangan masyarakatnya, mengingat rumitnya permasalahan di dalamnya?



Beberapa Tawaran Solusi.

Kiranya keberadaan seni beluk “Pusaka Mekar” harus didukung oleh adanya pihak-pihak yang dapat mengangkat kembali keberadaan seni beluk. Hal tersebut dapat direalisasikan dengan adanya dukungan pemerintah setempat dan kerja sama di antara para seniman beluk di Kabupaten Sumedang. Tentunya regenerasi merupakan hal yang paling penting dalam tumbuh dan berkembangnya seni beluk “Pusaka mekar”. Upaya tersebut dapat ditempuh melalui adanya apresiasi secara langsung, dengan mengadakan diskusi tentang pentingnya pelestarian seni tradisi. Selain itu, barangkali perlu adanya rekonstruksi seni beluk, baik dari bentuk penyajiannya maupun bentuk lagu dan musiknya, apabila memang hal ini diperlukan untuk menetralisasi kejenuhan masyarakat pendukungnya.


Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa penyebab utama kurang berkembangnya seni beluk “Pusaka Mekar” yang terdapat di Kampung Cipulus adalah faktor regenerasi. Minat generasi muda terhadap kesenian beluk dinilai kurang, mereka lebih tertarik pada seni musik Barat. Hal ini dipengaruhi oleh gencarnya media informasi, sehingga secara tidak langsung mereka diajak untuk menghayati musik tersebut.
Pewarisan merupakan hal yang paling utama, dari sisi lain kompetensi yang dimiliki generasi muda kurang memadai akan hal ini, mereka cenderung tertarik pada musik modern (musik Barat) yang cenderung lebih atraktif. Barangkali keadaan seperti ini dipengaruhi oleh media informasi (media elektronik)
1) masyarakat ladang adalah masyarakat yang mata pencahariannya bercocok tanam di daerah pegunungan, yang menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian. Dan biasanya masyarakat ladang hidupnya berpindah-pindah atau semi nomaden.
2) kesenian keraton adalah sebuah bentuk kesenian yang bersifat primordial, lahir dari kalangan kaum menak ( ningrat ).
3) lihat Jeniffer Lindsay. Klasik, Kitsch, dan Kontemporer, 1990.
4) Kumpulan lagu-lagu pupuh dalam kitab kuno, yang menceritakan tentang sejarah.
6) hal ini berkaitan dengan gaya hidup, selera budaya asing sehingga generasi muda kita terpacu pada hangar bingar musik-musik popular. Salah satu contoh yaitu tayangan-tayangan di televisi

Pantun Sunda

Kehidupannya dalam Modernitas Masyarakat Saat Ini


Kesenian merupakan ungkapan budaya dari suatu masyarakat yang tertuang nilai-nilai estetis di dalamnya. Oleh karena itu, setiap masyarakat di dunia memiliki kesenian yang sesuai dengan identitas budayanya. Bangsa Indonesia yang terdiri dari beribu-ribu pulau memiliki keanekaragaman budaya, tentu saja beraneka ragam pula kesenian yang dimilikinya. Kesenian asli Indonesia yang memiliki corak khas tradisi mempunyai karakter dan ciri khas tersendiri yang tidak dapat di temukan di dunia mana pun.
Kesenian asli Indonesia cenderung menuju pada religiusitas, artinya segala aktivitas masyarakat atau kelompok dalam melangsungkan kehidupannya selalu dikaitkan dengan religiusitas. Kesenian Kelong sagala misalnya, masyarakat Tinggi Muncung Gowa Toraya Propinsi Sulawesi Selatan, selalu melakukan upacara ritual penyembuhan penyakit cacar apabila salah satu warga ada yang terjangkit penyakit cacar. Mereka menyanyikan mantram atau mantra untuk kesembuhan penyakit tersebut.
Di Jawa Barat kesenian-kesenian yang berbau mistis (dalam hal ini adanya pemujaan atau penghormatan terhadap yang di atas kodrat manusia) masih dirasakan saat ini. Masyarakat Rancakalong Kab. Sumedang selalu mengadakan upacara ngalaksa setelah panen padi sebagai bentuk syukur terhadap Tuhan. Dalam upacara tersebut di gelar kesenian tarawangsa sebagai penghibur sekaligus pengundang ruh leluhur masyarakat setempat. Upacara tersebut melibatkan seluruh lapisan masyarakat yang berada di desa tersebut dengan tujuan yang sama, yakni untuk mendapatkan kesejahteraan hidup.
Lain halnnya dengan kesenian pantun Sunda, yang tergolong pada bentuk teater tutur dan diiringi kecapi sebagai pengiringnya ini menarik masyarakat pendukungnya untuk lebih menggerakkan emosi keagamaan (yang mendorong manusia berprilaku religi) mereka dengan mengadakan upacara ruatan (selamatan penolak bala) atau hanya sekedar hiburan. Di Jawa Barat keberadaan pantun antara lain terdapat di Banten, Bogor, Kuningan, dan Bandung, yang keberadaannya dalam fungsi sosial adalah untuk upacara sakral yang dianggap penting dalam kehidupan masyarakat yang meyakininya. Sebagian masyarakat yang percaya mempergelarkan pantun sebagai bentuk rasa syukur terhadap Yang Maha Kuasa dan ruh leluhur. Isi cerita pantun yang identik dengan mitologi Sunda sarat akan makna yang terkandung di dalamnya dapat dijadikan pandangan hidup bahkan prinsip hidup. Gejala sosial ini merupakan satu bentuk keterkaitan emosi untuk melakukan aktivitas religius dalam kehidupan sosial yang memiliki tujuan yang sama, yakni keselamatan hidup yang didambakan manusia manapun.