Monday 9 February 2009

Pantun Sunda: Ritual

Upacara Ruatan Melalui Media Pantun Sunda

a. Pengertian Ruat
Ruat (Ngaruat atau ngalokat) dapat dikatakan selamatan untuk menolak bala yang dapat mendatangkan keselamatan dan kesejahteraan hidup. Hal tersebut merupakan penetralisir dari ancaman dan bahaya yang senantiasa dialami manusia. Netralisasi biasanya terjadi dengan mengucapkan kalimat sakti, seperti mantra, rajah, jampi, atau dengan penyembelihan, sesaji, mandi bunga (Rachmat Subagya, 1981:76). Prosesi tersebut tidak lepas dari manifestasi yang gaib, baik Tuhan atau ruh leluhur dalam upacara ritualnya. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas tersebut mengandung pengaruh monoteisme, Tuhan yang tunggal bersifat baik dan adil yang kemudian menciptakan makhluk ciptaan-Nya yang bersifat gaib, dan manusia melakukan penyadaran diri terhadap makhluk halus tersebut yang mengambil jarak terhadap Tuhan dan menyembahnya. Kepercayaan tersebut disebut animisme, yakni menunjukkan kepercayaan akan roh-roh halus yang berdiri lepas dari manusia dan yang campur dalam urusan insani (Rachmat Subagya, ibid).
Ngaruat merupakan bentuk ritus yang pengungkapannya keberadaan manusia untuk mendapatkan keselamatan yang dilakukan dengan berbagai macam tata cara prosesinya. Prosesi ngaruat tersebut, biasanya dilakukan dalam pembersihan desa, kelahiran bayi, pembuatan rumah, dan sebagainya. Semua itu dilakukan untuk mendapatkan atau mengharapkan keselamatan dari Yang Maha Kuasa.
Ngaruat dapat di klasifikasikan dalam 2 jenis ruatan, yakni ngaruat manusia dan ngaruat benda. Ngaruat manusia, terdapat ciri-ciri orang yang harus diruat atau sukerta, yakni spesifikasi orang yang harus diruat. Ngaruat benda, biasanya dilakukan untuk benda-benda yang dianggap perlu diruat, biasanya ruatan tersebut; ngaruat bangunan baru, pembuatan rumah, dan netepkeun pare (setelah panen padi). [1]
Kepercayaan ngaruat oleh sebagian masyarakat Sunda masih diyakini dapat mendatangkan keselamatan, biasanya prosesi ngaruat dapat dilakukan melalui media kesenian sebagai sarananya. Selain kesenian wayang, pantun pun dapat dijadikan media dalam prosesi ngaruat. Upacara ngaruat memiliki tujuan untuk pembersihan diri yang bersifat rohani, penetralisir keadaan diri yang ternoda secara bathin (dosa), atau keadaan-keadaan tertentu karena terdapat gangguan dari mahkluk halus, dsb., yang dianggap dapat mendatangkan kesialan atau marabahaya yang menimpa manusia. Terdapat beberapa sukerta (orang yang harus diruat) yang dianggap perlu diadakan ruatan agar terhindar dari bahaya atau kesialan yang dapat menimpa orang tersebut. [2]

a. Stimulasi Emosi Keagamaan
Pantun dijadikan media penghubung antara manusia dan mahluk halus atau sesuatu yang gaib dalam kehidupan manusia. Hal tersebut tercermin dalam melakukan upacara ruatan yang identik dengan pemintaan keselamatan hidup terhadap Tuhan dan ruh leluhur (karuhun) yang dianggap menduduki tempat tertinggi di atas manusia, sehingga melahirkan sikap emosi keagamaan masyarakat yang mempercayainya.
Emosi keagamaan yang dimaksud adalah tindakan yang mendorong manusia berprilaku serba religi, artinya terdapat suatu rangsangan yang dapat menggetarkan nuraninya dalam rangka penyadaran diri terhadap Tuhan, ruh leluhur, mahkluk halus yang lebih tinggi kedudukannya di atas kodrat manusia (Koentjaraningrat: ibid hal. 202). Emosi keagamaan sebagai salah satu kegelisahan atau penyingkapan suatu gejala yang tidak dapat diukur dengan akal manusia, sehingga manusia berusaha mencari jawabannya.
“Menganai masalah apakah emosi itu disebabkan karena manusia sadar akan adanya makhluk halus yang menempati alam sekeliling tempat tinggalnya, dan berasal dari jiwa orang-orang yang sudah meninggal; karena manusia takut menghadap berbagai krisis dalam hidupnya; tak mampu menjelaskan berbagai gejala dengan akalnya; percaya adanya kekuatan sakti dalam alam; menerima wahyu; atau karena gabungan dari semua sebab itu Emosi keagamaan yang mendasari setiap prilaku yang serba religi itu menyebabkan timbulnya sifat keramat dari perilaku itu, dan sifat itu pada gilirannya memperoleh nilai keramat”

Masyarakat yang menghormati kesenian tradisional yang identik dengan dunia mistis terhanyut oleh kesadaran akan kekuatan adikodrati. Penghayat pantun berusaha luruh pada kehendak gaib yang berada di lingkungannya dengan memenuhi segala permintaan makhluk gaib atau ruh leluhur.[3] Masyarakat pendukung pantun berasal dari berbagai lapisan masyarakat, mulai dari rakyat biasa hingga orang-orang yang menempati kedudukan tinggi di masyarakat. Mereka menjadikan pantun sebagai media untuk memenuhi keinginan mereka atau mereka mempunyai maksud dan tujuan untuk kepentingan hidupnya. Sebelum pertunjukan direncanakan, mereka mengungkapkan keinginannya kepada prepantun atau juru pantun untuk memenuhi niatnya dengan menggelar cerita pantun.
Dalam hal ini terjalin hubungan antara individu dan seniman pantun (juru pantun) atau dapat berupa hubungan antara individu dan kelompok. Terjalin kontak sosial sebagai proses sosial untuk menjalin kerjasama dalam mewujudkan tujuan yang sama.[4] Masyarakat, kelompok, dan individu mewujudkan kebutuhan-kebutuhan hidup yang senantiasa dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Orang yang menanggap pantun dan seniman pantun menjalin kerjasama yang menimbulkan timbalbalik. Penanggap pantun mendapatkan keselamatan atau keinginannya terwujud setelah upacara ritual terlaksana, sedangkan seniman pantun (juru pantun) mendapatkan jasa berupa materi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Masyarakat atau orang-perorang penghayat pantun mendapatkan keuntungan yang bersifat rohani (ketentraman batin) dan jasmani (kesejahteraaan hidup, kesehatan, dsb.).

b. Cerita Pantun dalam Upacara Ruatan
Telah disebutkan dalam Bab II, bahwa pantun tergolong pada bentuk sastra lisan yang menceritakan mitos-mitos tokoh legenda Sunda. Seniman pantun, yakni juru pantun menganggap bahwa cerita-cerita tersebut merupakan cerita suci yang memiliki nilai keramat. Cerita tersebut dapat dikatakan Kesusastraan suci yang megandung suatu kompleks konsepsi–konsepsi dan dongeng–dongeng suci mengenai sifat-sifat dan kehidupan dewa-dewa serta mahkluk–makhluk halus lainnya (yaitu mitologi). Ketika cerita pantun dikisahkan, seolah-olah mengulang kembali kosmos di mana kisah tersebut terjadi pada masanya. Menceritakan cerita tersebut seakan-akan mengulang kembali waktu mitos (mytical time) dengan seluruh kosmos diharapkan dapat menetralisir keadaan dunia yang tidak seimbang, ini yang dimaksud Marceu Eliade mengenai waktu mitos.
Biasanya cerita-cerita pantun memiliki cerita khusus untuk upacara ruatan, cerita tersebut yang berkaitan dengan mitologi Sunda lama yang mengandung kosmologi dan kosmogoni (yang berisi tentang penciptaan dan asal-usul manusia) zaman Sunda lama. Hal tersebut merupakan konsep dasar kepercayaan asli Indonesia dalam mengungkapkan kepercayaan akan makna hidup, manusia memakai lambang dan tanda. Rachmat Subagya (ibid hal 166) menyebutkan dua macam tanda tersebut, yakni:
“Mitos asal yang menafsirkan makna hidup berdasarkan kejadian purba. Mitos asal suku bangsa atau asal padi dan lain-lain memberi petunjuk untuk tata kelakuan. Ritus atau upacara adalah kelakuan simbolis yang mengkonsolidasi atau memulihkan tata alam dan menempatkanmanusia dan perbuatannya dalam tata tersebut. dalam ritus digunakan kata-kata, doa, dan gerak-gerik tangan atau badan. Baik mitos maupun ritus bermakna mengokohkan tata rencana alam raya semula dan diharapkan akan mempartisipasikan seluruh hidup umat dalam tata keselamatan.”

Reaktualisasi mitos tersebut dapat memberikan pencerminan diri, dan yang diharapkan setelah menjalani prosesi ruatan, penjelmaan dalam cerita tersebut luruh kapada orang yang diruat. Cerita-cerita yang dikisahkan disesuaikan dengan jenis ruatan, ruatan rumah tangga misalnya, juru pantun Abah Akis menceritakan kisah, Prabu Siliwangi, Dewi Pohaci Wiru Minanggai, Lutung Kasarung, Sumur Bandung, Malangsari. Pada umumnya, cerita yang dikisahkan dalam prosesi ngaruat adalah cerita kelahiran Batara Kala, cerita ini sama dengan cerita Batara Kala dalam wayang yang digunakan untuk upacara ruatan pula. Biasanya cerita tersebut digunakan untuk upacara ritus yang berkaitan dengan daftar sukerta dan ruatan benda seperti yang telah disebutkan di atas. Tidak semua juru pantun menyajikan cerita yang sama dalam prosesi ruatan, kadang-kadang cerita dalam ruatan disesuaikan dengan keadaan orang yang diruat agar cerita yang dikisahkan menjelma dan tercermin pada orang yang diruat tersebut. Dalam arti, cerita yang dikisahkan tersebut tergantung pada juru pantun untuk menceritakan cerita dalam prosesi ruatan.
Dalam acara hiburan biasa cerita yang dikisahkan menceritakan lakon biasa, seperti Mentralaya, Masa Layang Jaladri, Dewi Asri, Simber Kancana, Panggung Karaton, dll (wawancara, 3 Agustus 2006). Cerita yang dikisahkan tidak menceritakan cerita yang dianggap keramat, melainkan hanya lakon-lakon biasa yang tidak berhubungan dengan konteks ruatan.[5] Cerita-cerita untuk hiburan barangkali cerita yang dikisahkan tergolong pada jenis cerita sempalan atau cerita roman yang tidak dianggap memiliki nilai keramat.
[1] Wawancara …
[2] Daftar sukerta dicantumkan dalam Lampiran.
[3] Salah satu permintaan tersebut, misalnya berupa penyediaan sesajen yang harus disediakan apabila akan mempertunjukkan pantun. Penyediaan sesajen tersebut sudah menjadi kewajiban untuk dilaksanakan dan disediakan, apabila tidak dipenuhi dianggap dapat menimbulakan keadaan yang tidak diiginkan.
[4] Proses sosial adalah cara-cara berhubungan yang dapat dilihat orang perorangan dan kelompok. Kelompok manusia saling bertemu dan menentukan sistem, serta bentuk-bentuk hubungan tersebut. Proses sosial diartikan sebagai pengaruh timbal balik bagi kehidupan bersama.
[5] Dalam konteks ruatan cerita yang dikisahkan merupakan pemaknaan cerita yang diharapkan menjelma pada orang yang diruat.

No comments:

Post a Comment