Tuesday 17 February 2009

Pantun Sunda

Kehidupannya dalam Modernitas Masyarakat Saat Ini


Kesenian merupakan ungkapan budaya dari suatu masyarakat yang tertuang nilai-nilai estetis di dalamnya. Oleh karena itu, setiap masyarakat di dunia memiliki kesenian yang sesuai dengan identitas budayanya. Bangsa Indonesia yang terdiri dari beribu-ribu pulau memiliki keanekaragaman budaya, tentu saja beraneka ragam pula kesenian yang dimilikinya. Kesenian asli Indonesia yang memiliki corak khas tradisi mempunyai karakter dan ciri khas tersendiri yang tidak dapat di temukan di dunia mana pun.
Kesenian asli Indonesia cenderung menuju pada religiusitas, artinya segala aktivitas masyarakat atau kelompok dalam melangsungkan kehidupannya selalu dikaitkan dengan religiusitas. Kesenian Kelong sagala misalnya, masyarakat Tinggi Muncung Gowa Toraya Propinsi Sulawesi Selatan, selalu melakukan upacara ritual penyembuhan penyakit cacar apabila salah satu warga ada yang terjangkit penyakit cacar. Mereka menyanyikan mantram atau mantra untuk kesembuhan penyakit tersebut.
Di Jawa Barat kesenian-kesenian yang berbau mistis (dalam hal ini adanya pemujaan atau penghormatan terhadap yang di atas kodrat manusia) masih dirasakan saat ini. Masyarakat Rancakalong Kab. Sumedang selalu mengadakan upacara ngalaksa setelah panen padi sebagai bentuk syukur terhadap Tuhan. Dalam upacara tersebut di gelar kesenian tarawangsa sebagai penghibur sekaligus pengundang ruh leluhur masyarakat setempat. Upacara tersebut melibatkan seluruh lapisan masyarakat yang berada di desa tersebut dengan tujuan yang sama, yakni untuk mendapatkan kesejahteraan hidup.
Lain halnnya dengan kesenian pantun Sunda, yang tergolong pada bentuk teater tutur dan diiringi kecapi sebagai pengiringnya ini menarik masyarakat pendukungnya untuk lebih menggerakkan emosi keagamaan (yang mendorong manusia berprilaku religi) mereka dengan mengadakan upacara ruatan (selamatan penolak bala) atau hanya sekedar hiburan. Di Jawa Barat keberadaan pantun antara lain terdapat di Banten, Bogor, Kuningan, dan Bandung, yang keberadaannya dalam fungsi sosial adalah untuk upacara sakral yang dianggap penting dalam kehidupan masyarakat yang meyakininya. Sebagian masyarakat yang percaya mempergelarkan pantun sebagai bentuk rasa syukur terhadap Yang Maha Kuasa dan ruh leluhur. Isi cerita pantun yang identik dengan mitologi Sunda sarat akan makna yang terkandung di dalamnya dapat dijadikan pandangan hidup bahkan prinsip hidup. Gejala sosial ini merupakan satu bentuk keterkaitan emosi untuk melakukan aktivitas religius dalam kehidupan sosial yang memiliki tujuan yang sama, yakni keselamatan hidup yang didambakan manusia manapun.

Masyarakat modern yang lebih menggunakan logika daripada intuisi cenderung menjauhi segala hal yang berkaitan dengan dunia mistis. Mereka lebih baik melakukan aktivitas yang dianggap menguntungkan secara realistis, artinya mereka lebih meyakini bahwa rejeki datang melalui kerja keras, bukan melalui bantuan para gaib, pada dasarnya hal-hal yang sifatnya batiniah tidak mereka hiraukan. Masyarakat yang meyakininya menganggap kesejahteraan, keselamatan, dan kebahagiaan dapat tercipta melalui bantuan gaib. Oleh karena itu, masyarakat yang meyakininya sampai sekarang tidak terpengaruh dalam melakukan upacara-upacara ritual, seperti halnya melalui media pantun.
Seni pantun merupakan warisan masyarakat Sunda lama yang keberadaanya saat ini cenderung digunakan untuk ritus. Hal ini dilakukan karena kebiasaan masyarakat tempo dulu yang dipengaruhi oleh kepercayaannya, sehingga dalam melakukan aktivitas apapun selalu tertuju pada kehidupan religius. Dalam hal ini seni pantun digunakan untuk kegiatan ritus, kebiasaan tersebut hingga saat ini masih dilakukan dalam kesenian pantun. Keberadaannya di masyarakat salah satunya adalah untuk upacara ritual yang dilakukan sebagai bentuk pengungkapan rasa syukur atau permohonan keselamatan kepada Tuhan, ruh leluhur, dsb. Biasanya pantun digunakan untuk syukuran selamatan, khitanan, empat puluh hari setelah kelahiran bayi, pemenuhan nadzar, mendirikan bangunan baru, dan menetapkan padi di lumbung.
Masyarakat pendukung kesenian pantun memiliki tujuan tertentu dalam menggelarkannya. Selain mendapatkan hiburan, masyarakat mendapatkan bagian penting dalam kehidupannya, yaitu berusaha untuk mendapatkan keselamatan dengan menyadari bahwa terdapat sesuatu yang gaib yang mengitari kehidupan manusia. Oleh karena itu, masyarakat yang meyakininya menggelar pantun untuk menyelaraskan kosmologi alam semesta ini yang senantiasa harus seimbang.
Koentjaraningrat (1998:197) mengatakan, bahwa masyarakat religius berusaha untuk mengungkapkan keberadaannya dengan tujuan penyadaran diri diri terhadap Tuhan, ruh leluhur, atau makhluk halus. Penyadaran diri itu dapat di manifestasikan dengan berbagai tata cara peribadatan, salah satunya adalah melalui kesenian sebagai media ungkapnya. Ironis memang, ketika masyarakat indonesia sudah memasuki peradaban modern, ternyata tahap pikiran mitis masih terasa pada masyarakat kita yang memiliki segudang kesibukan dalam hiruk pikuk dunia modern. Tidak dapat dipungkiri, bahwa kebutuhan rohani dalam kehidupan bermasyarakat sangat dibutuhkan sebagai kontrol sosial. Kesenian sebagai media ungkap dapat dijadikan salah satu alternatif sebagai stimulus untuk meningkatkan kesadaran keagamaan masyarakat.
Kesejarahan Pantun
Pada naskah Sunda kuno Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian ditulis pada tahun 1440 saka atau 1518 masehi yang memuat pandangan hidup dan norma-norma dalam kehidupan masyarakat Sunda lama. Naskah ini disinyalir dibuat pada masa Kerajaan Pajajaran, dan dalam beberapa teksnya menyebutkan seni pantun. Dalam naskah tersebut pada lembar XVI Verso, disebutkan; “hayang nyaho di pantun ma, Langgalarang, Banyak Catra, Siliwangi, Haturwangi, prepantun tanya”, artinya “bila ingin tahu tentang pantun Langgalarang, Banyak Catra, Siliwangi, Haturwangi, tanyalah juru pantun”. Dari naskah tersebut, dapat diketahui bahwa seni pantun merupakan penginggalan zaman Sunda lama, dan keberadaannya sudah ada sebelum naskah itu ditulis.
Lahirnya Kesenian pantun belum diketahui kebenarannya, dan siapa yang menciptakan kesenian ini. Apabila dilihat dari cerita-cerita pantun yang sudah tersebar di masyarakat, kesenian ini lahir pada kejayaan kerajaan Pajajaran, namun tidak diketahui pula pada kepemimpinan siapa kesenian tersebut dikenal pada zamannya. Terdapat mitos dalam cerita-cerita pantun yang menceritakan kehidupan masyarakat Sunda zaman dulu. Cerita-cerita tersebut menceritakan kerajaan-kerajaan Sunda yang terkait dengan tokoh-tokoh mitos pahlawan Sunda, di antaranya Mundinglaya Di Kusumah, Prabu Siliwangi, Lutung Kasarung, dsb.

Pantun dan Aspek Pertunjukannya
Banyak sekali cerita-cerita pantun yang tersebar di Jawa Barat dengan varian yang berbeda dari setiap cerita pantun yang dikisahkan. Salah satu cerita pantun yang biasa dikisahkan, diantaranya Lutung kasarung, Mundinglaya di Kusumah, Ciung Wanara, Badak Pamalang, dll. Seni pantun memaparkan cerita-cerita (mitos) pada zaman Sunda lama, cerita tersebut mengenai kisah kerajaan, dewa-dewa, asal-usul, dsb. Cerita-cerita pantun tidak hanya sebatas reportase kejadian yang dulu terjadi, tetapi memberikan arah pada manusia Sunda sekarang mengenai pandangan hidup, nilai etis, dan nilai filsafat masyarakat Sunda lama.
Pertunjukan pantun dimulai setelah shalat Isya hingga menjelang Shubuh dengan beberapa kali istirahat, diselingi hiburan melalui iringan gamelan salendro lengkap untuk menghilangkan kejenuhan. Sebelum pertunjukan pantun dimulai, juru pantun menyiapkan sesajen sebagai salah satu syarat sebelum pertunjukan pantun dimulai. Sesajen tersebut terdiri dari:
Parupuyan, yakni perapian sebagai wadah pembakaran kemenyan atau dupa.
Pangradinan, atau alat-alat kecantikan, berupa minyak kelapa, minyak wangi, sirih pinang, bunga-bunga, sisir, cermin, dsb.
Parawanten atau sesajian makanan, berupa kupat, leupeut, bubur merah, bubur putih, tumpeng, bakakak ayam, rujak buah, ubi-ubian, telur, beras, dsb.
Panyinglar, berupa daun beringin, daun hanjuang, anak batang pisang, batang tebu, dsb.
Apabila sesajen itu tidak disediakan, diyakini pertunjukan tidak akan lancar dan dapat mendatangkan malapetaka. Dengan kata lain, untuk menggelarkannya memiliki syarat guna menjaga keselarasan dengan ruh leluhur atau makhluk halus.
Setelah sesajen tersebut disajikan, juru pantun membaca doa dengan suara lirih. Kemudian, juru pantun mengungkapkan maksud penanggap pantun dalam pertunjukan pantun yang digelarkan. Sudah menjadi suatu keharusan, sebelum juru pantun mengisahkan cerita pantun selalu diawali dengan rajah pamunah - pembuka (nama semacam jampe atau doa). Tujuannya adalah untuk permohonan maaf dan permintaan ijin kepada arwah karuhun atau nenek moyang agar diberikan kelancaran dan keselamatan dalam menggelarkannya. Kebiasaan-kebiasaan tersebut senantiasa harus dilakukan sebagai syarat sebelum cerita dikisahkan. Kemudian, juru pantun mulai menuturkan cerita yang akan dikisahkan meliputi unsur; narasi, deskripsi, dialog, monolog, dan pengantar. Setelah cerita dikisahkan, juru pantun mengucapkan rajah pamungkas (panutup) sebagai tanda cerita telah usai dan akhir dari pertunjukan.

Seni Pantun dan Masyarakat Pendukungnya
Disadari atau tidak, masyarakat yang menghormati kesenian tradisional yang identik dengan dunia mistis terhanyut oleh kesadaran akan kekuatan adikodrati. Penghayat pantun berusaha luruh pada kehendak gaib yang berada di lingkungannya dengan memenuhi segala permintaan makhluk gaib atau ruh leluhur. Masyarakat pendukung pantun berasal dari berbagai lapisan masyarakat, mulai dari rakyat biasa hingga orang-orang yang menempati kedudukan tinggi di masyarakat. Mereka menajdikan pantun sebagai media untuk memenuhi keinginan mereka atau mereka mempunyai maksud dan tujuan untuk kepentingan hidupnya. Sebelum pertunjukan direncanakan, mereka mengungkapkan keinginannya kepada prepantun atau juru pantun untuk memenuhi niatnya dengan menggelar cerita pantun.
Dalam hal ini terjalin hubungan antara individu dan seniman pantun (juru pantun) atau dapat berupa hubungan antara individu dan kelompok. Terjalin kontak sosial sebagai proses sosial[1] untuk menjalin kerjasama dalam mewujudkan tujuan yang sama. Masyarakat, kelompok, dan individu mewujudkan kebutuhan-kebutuhan hidup yang senantiasa dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Orang yang menanggap pantun dan seniman pantun menjalin kerjasama yang menimbulkan timbalbalik. Penanggap pantun mendapatkan keselamatan atau keinginannya terwujud setelah upacara ritual terlaksana, sedangkan seniman pantun (juru pantun) mendapatkan jasa berupa materi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Masyarakat atau orang-perorang penghayat pantun mendapatkan keuntungan yang bersifat rohani. Hal ini dapat di identifikasi dari kemajuan taraf hidup setelah mengalami pembersihan diri melalui upacara ruatan dalam pantun. Kesenian pantun tidak hanya berupa penghayatan estetis saja, melainkan dapat menjadi pemicu kesadaran keagamaan khalayaknya yang sesuai dengan keyakinan yang dianutnya.

Emosi Keagamaan
Emosi keagamaan yang dimaksud adalah tindakan yang mendorong orang berprilaku serba religi, artinya terdapat suatu rangsangan yang dapat menggetarkan nuraninya dalam rangka penyadaran diri terhadap Tuhan, ruh leluhur, mahkluk halus yang lebih tinggi kedudukannya di atas kodrat manusia. Emosi keagamaan yang mendasari setiap prilaku yang serba religi itu menyebabkan timbulnya sifat keramat dari perilaku itu, dan sifat itu pada gilirannya memperoleh nilai keramat.
Telah disebutkan di atas pantun tergolong pada bentuk sastra lisan yang menceritakan mitos-mitos tokoh legenda Sunda. Seniman pantun, yakni juru pantun menganggap bahwa cerita-cerita tersebut merupakan cerita suci yang memiliki nilai keramat. Cerita tersebut dapat dikatakan Kesusastraan suci yang megandung suatu kompleks konsepsi–konsepsi dan dongeng–dongeng suci mengenai sifat-sifat dan kehidupan dewa-dewa serta mahkluk–makhluk halus lainnya (yaitu mitologi), dan memuat ajaran serta aturan keagamaan serta hukum–hukum keagamaan. ketika cerita pantun dikisahkan, seolah-olah mengulang kembali kosmos di mana kisah tersebut terjadi pada masanya. Menceritakan cerita tersebut seakan-akan mengulang kembali waktu mitos (mytical time) dengan seluruh kosmos diharapkan dapat menetralisir keadaan dunia yang tidak seimbang.

Pantun Sunda dan Modernisme
Pada dasarnya kesenian asli Indonesia berfungsi sebagai upcara-upacara ritus dalam kehidupannya. demikian pun dengan kesenian pantun, pada zaman dahulu kesenian ini digunakan untuk upacara ritual, biasanya dalam kehidupan sosial masyarakat dulu menggelarkan pantun untuk menempatkan padi di lumbung (netepkeun pare di leuit) atas keberkahan atau hasil panen yang sudah di dapat. Upacara ini di tujukan pada sri pohaci atau Dewi Sri sebagai ungkapan syukur.
Setelah mengalami perjalanan yang cukup lama, fungsi kesenian pantun mengalami pergeseran. kini, pantun dapat juga disajikan sebagai hiburan atau yang bersifat kalangenan (hiburan pribadi). Walaupun demikian, tetap saja sebelum pertunjukan dimulai selalu diadakan sesajen dan rajah yang ditujukan kepada karuhun (roh leluhur) atau makhluk halus yang berada dilingkungannya.
Seperti halnya telah disinggung diatas, bahwa keberadaan pantun dalam kehidupan modern tetap hidup dan masih memiliki pamor, karena pola pikir masyarakat religius tidak terpengaruh perkembangan disekitarnya. Secerdas apapun pemikirannya, semewah apapun kehidupannya, dan setinggi apapun jabatannya, sebagian masyarakat tetap menganggap keberadaan pantun, bahkan merasa karunia yang telah mereka dapatkan adalah karena mereka selalu beriringan dengan kehidupan mistis. Keselarasan dianggap penting antara dunia nyata dan dunia gaib.
Dalam perkembangannya, pantun juga mengalami sedikit perubahan. Pada zaman orang Sunda mengenal pantun pertama kali agama yang dianut masyarakat adalah agama Sunda sehingga dalam pelaksanaannya dilakukan sesuai keyakinan yang mereka anut. Berbeda halnya dengan sekarang, karena telah berkembangnya Islam di seluruh pelosok tanah air maka pelaksanaannyapun melalui syareat Islam.
Walaupun saat ini sebagian besar orang Sunda menganut agama Islam, namun dalam aktivitas kehidupannya masih tampak unsur-unsur kepercayaan di luar Islam. kehidupan beragama sering dipengaruhi oleh kepercayaan pada kekuatan makhluk halus dan magis. oleh karena itu, sukar bagi kita untuk memisahkan antara agama dan sistem kepercayaan, sebab baik agama maupun sistem kepercayaan yang masih dijalankan sebagian orang Sunda berfungsi mengatur sikap dan sistem nilai, sehingga disamping mereka taat menjalankan agama, sering pula menjalankan upacara-upacara yang tidak terdapat dalam ajaran agama, bahkan tidak dibenarkan dalam agama.
Pantun hanyalah media, yang dianggap orang-orang yang meyakininya dapat merubah kehidupan mereka. Di jaman manapun kita hidup, pemikiran seperti itu tidak dapat disalahkan karena kebutuhan rohani tiap-tiap orang adalah berbeda. Setiap orang berhak menentukan pilihan hidupnya. Jadi apabila terdapat perbedaan didalam segi apapun khususnya dalam seni dan budaya hendaknya kita menghargainya.
[1] Proses sosial adalah cara-cara berhubungan yang dapat dilihat orang perorangan dan kelompok. Kelompok manusia saling bertemu dan menentukan sistem, serta bentuk-bentuk hubungan tersebut. Proses sosial diartikan sebagai pengaruh timbal balik bagi kehidupan bersama.

No comments:

Post a Comment