Saturday 14 February 2009

Topeng Cirebon

Khazanah seni yang membumi

Oleh
Aji Permana Sudjamza, S. Sn.




Ketegangan antara budaya massa dan kesenian tradisional sudah menjadi dampak dari globalisasi saat ini. Keadaan tersebut membuat kita menjadi ingin lebih mengenal kesenian yang kita miliki, mengapresiasi, merevitalisasi, mengangkatnya, serta memahami substansi tradisional sehingga diharapkan mampu menumbuhkan rasa memiliki dan menghargai. Celakanya, dampak dari globalisasi menghanyutkan persepsi seni tradisional sehingga terjebak dalam alienasi budayanya sendiri.
Salah satu kesenian tradisional yang mengalami ketegangan tersebut adalah topeng cirebon. Saat masyarakat kita mengalami ekstase oleh budaya populer yang notabene berasal dari Barat (Amerika, Eropa, dsb), saat itu pula penghargaan terhadap seni tradisi topeng cirebon mulai berkurang. Padahal topeng cirebon merupakan local genius yang mencerminkan identitas masyarakat Cirebon. Dilema memang, ketika kita membuka diri untuk mengenal modernitas, nilai-nilai lama akan pudar dan mulai muncul nilai-nilai baru dalam tatanan hidup masyarakat. Apalagi sebagian besar masyarakat kita adalah karakter masyarakat yang konsumtif, tentu saja akan sangat mudah menerima nilai baru itu.
Topeng cirebon adalah nilai-nilai lama kaum aristokrat. Pada zaman dahulu pertunjukkan topeng cirebon tidak hanya sebagai tontonan, melainkan tuntunan bagi masyarakat pendukungnya. Kesenian ini mengalami perjalanan panjang dalam kurun waktu yang cukup lama, mengarungi dimensi waktu yang terus bergulir dan bersinggungan dengan genre kesenian lain yang dikatakan ‘modern’. Tak jarang jika generasi sekarang tingkat penghayatannya hanya sebatas tontonan atau pertunjukkan untuk hiburan saja, dan terkadang menganggap pertunjukkannya terasa membosankan. Padahal apabila kita mengetahui latar belakangnya, terdapat nilai-nilai filosofis kehidupan kepercayaan masyarakat lama.
Budaya keraton di Indonesia tidak lepas dari unsur kesenian yang merupakan pengungkapan estetik dalam kehidupan sosialnya. Kesenian digunakan untuk kepentingan sakral dan profan dalam aktivitas kehidupan masyarakatnya. Demikian pun dengan masyarakat Cirebon feodal primordial, kesenian (topeng cirebon) dijadikan satu objek pengungkapan penyadaran diri pada Yang Maha Kuasa melalui ekspresi keindahan.
JIka demikian, tentu saja masyarakat Cirebon memiliki warisan berharga yang tertuang nilai-nilai budaya lama. Ada artefak budaya yang fenomenal, yakni topeng cirebon.
Sekilas perjalanan pertunjukkannya
Entah zaman mana kesenian ini lahir dan siapa penciptanya, sampai saat ini masih tanda tanya. Ada yang menyebutkan topeng cirebon sudah populer pada kerajaan Majapahit antara tahun 1300 – 1400 tarikh masehi. Dalam Negarakertagama dan Paraton, Raja Majapahit, Hayam Wuruk menari topeng (kedok) yang terbuat dari emas (atapel, anapuk) di lingkungan kaum perempuan istana Majapahit. Pada awalnya pun, topeng cirebon dipertunjukkan hanya untuk kaum perempuan di lingkungan keraton. Menurut beberapa literature, tari topeng dilakukan oleh para raja yang ditonton oleh kaum perempuan (istri-istri raja, adik-adik perempuan raja, ipar-ipar perempuan raja, ibu mertua raja, dan ibunda raja).
Semenjak Cirebon diduduki oleh kekuasaan kolonial Belanda, di bawah pimpinan Mas Galak, Gubernur Jenderal Daendels. Raja keraton tidak diperkenankan mememerintah secara otonom, sehingga untuk mememelihara kesenian itu hanya mengandalkan “gaji” yang diberikan oleh pemerintah Belanda. Maka tak jarang apabila para penari topeng keraton dan penabuh gamelan keluar dari keraton menuju ke pedesaan dan meneruskan pewarisannnya, sehingga muncullah gaya-gaya tari topeng cirebon. Kebebasan ini menyebabkan setiap penari atau setiap daerah memiliki cara penyajian atau gaya berbeda berdasarkan penampilan penari, seperti dikenal gaya Rasinah, gaya Sudjana, Gaya Sawitri, dll. Berdasarkan daerah perkembangannya dikenal gaya topeng Slangit, gaya topeng Losari, dll.
Dewasa ini, pertunjukkan topeng cirebon mengalami pergeseran fungsi. Zaman dahulu menarikan topeng merupakan kontemplasi, sebab esensi tarian (gerak tubuh) merupakan implementasi simbol penyadaran diri, sakral – ritual yang dilakukan di lingkungan keraton. Berbeda dengan sekarang, pertunjukkan topeng cirebon dipergelarkan pada acara kenduri atau hajatan dan pada acara-acara tertentu untuk kepentingan masyarakat yang lebih bersifat profan – hiburan. Untuk kepentingan itu pun frekuensi pertunjukkannya dinilai kurang, sehingga tak jarang apabila seniman (penari dan penabuh gamelan) lebih mengencangkan ikat pinggang demi mengangkat seni tradisi dan untuk kesejahteraan hidupnya.


Nilai-nilai religi
Sumber cerita pada pertunjukkan topeng cirebon diambil dari cerita panji yang mengisahkan kepahlawanan tokoh utamanya yang dikenal dengan Raden Panji. Tokoh utama dan tokoh lainnya dalam cerita tersebut digambarkan melalui karakter kedok seperti halus, lincah, gagah, kasar, yang menampilkan pula suatu peran dalam status hirarki kerajaan seperti raja, patih, tumenggung dan satria. Ke-4 peran tersebut menunjukan hirarki pada sistem kerajaan masa lalu, hal ini karena topeng cirebon mengambil cerita dari cerita Panji, cerita tersebut menyebut 4 kerajaan hindu di Jawa yaitu Koripan, Daha, Urawan, dan Singosari, cerita panji pertama kali dikenal pada abad ke-11 dan 12. Peran-peran hirarki kerajaan diwujudkan dalam karakterisasi kedok yang menampilkan tokoh Panji (Inukertapati, Kudawingpati), Pamindo, Patih (Jayabadra), Tumenggung (Mangandiraja), Jingga anom, Klana, dan rumyang.
Dengan masuknya pengaruh Islam dalam perkembangan Topeng Cirebon, peran yang menggunakan lima karakter kedok untuk tokoh Panji, Pamindo, Rumyang, Tumenggung Mangandiraja, dan Klana diinterpretasikan sebagai gambaran akhlak manusia (baik, jujur, bijaksana, dan serakah angkara murka) serta perkembangan jiwa manusia dari bayi, anak-anak remaja, sampai dewasa. Menurut beberapa sumber tertulis, tari topeng menjalankan misi dakwah keagamaan kepada tata cara mendalami Islam di cirebon yang mempunyai empat tingkatan yaitu Syariat pada Klana, Tumenggung pada tingkatan Tarekat, Pamindo pada tingkatan hakekat dan makrifat pada Panji. Selain itu, ada yang berpendapat bahwa topeng merupakan ambivalensi sifat manusia; Panji, Pamindo, dan Tumenggung adalah gambaran nafsu baik manusia, sedangkan Klana gambaran nafsu buruk, Rumyang menggambarkan manusia yang baru sadar melihat dunia, penuh keragu-raguan dalam mencari jalan hidupnya.
Terdapat interpretasi mengenai filosofi topeng cirebon yang fundamental dari konteks kepercayaan lama masyarakatnya. Menurut Jakob Sumardjo, budayawan, dari lima rangkaian tari topeng cirebon yang paling utama adalah topeng panji, sebab Panji adalah masterpiece topeng cirebon. Lihat saja gerakan tarinya yang terbatas, bahkan seolah-olah diam. Tempo iringan gamelannya cepat, sedangkan gerakan tariannya minimalis. Menurutnya, di sinilah simbol konsep religi kepercayaan lama, asal mula Sang Hyang Tunggal Hindu-Budha. Gerak itu diam, diam itu gerak, kosong itu penuh, penuh itu kosong, di dalamnya mutlak tunggal tidak ada perbedaan. Itulah mengapa topeng panji putih bersih tanpa ornamen, tidak bisa dibedakan laki-laki atau perempuan, itulah yang disebut kosong. Sedangkan iringan gamelan yang relatif cepat, itulah esensi gerak, semuanya dalam satu kesatuan, tunggal.
Kemudian, Sang Hyang Tunggal menurunkan sifat ciptaannya dualisme antagonistik, seperti terang-gelap, lelaki-perempuan, baik-buruk, dsb. Dalam topeng cirebon, Panji membelah menjadi aneka warna, Pamindo-Rumyang (perempuan) dan Tumenggung-Klana (laki-laki), dualisme yang paradoks. Itulah transformasi Sang Hyang Tunggal yang disimbolkan pada topeng cirebon.
Konsep yang luar biasa, sebab seni diciptakan untuk menghaluskan budi penghayatnya, bukan sebaliknya. Pada dasarnya seni memiliki hubungan timbal balik dengan kebutuhan manusia, apabila seni diciptakan memberikan manfaat bagi kehidupan manusia maka tercapailah esensi seni yang sesungguhnya. Tetapi apabila seni tidak memberikan apa-apa bagi kehidupan manusia, maka seni tidak bermanfaat, karena tidak dapat menentramkan batin dan kehalusan budi yang menghayatinya. Sungguh karya seni yang adiluhung, masyarakat Cirebon primordial mampu menciptakan karya dengan daya intelektual, padahal empu topeng cirebon ini hidup pada masa lampau. Mampukah kita menciptakan karya seni seperti itu?.


Harapan dan realitas
Tradisi adalah penurunan norma-norma yang dilakukan secara turun-temurun, tidak menutup kemungkinan apabila dalam pewarisannya mengalami perubahan pada bagian-bagiannya dan cenderung bersinggungan dengan budaya luar yang menawarkan genre kesenian baru. Keadaan ini dialami oleh sebagian besar kesenian tradisional di Indonesia.
Masyarakat kita bukan tipikal masyarakat yang mengisolir diri, terkungkung dengan budayanya (etnosentris). Pada masa transisi saat ini cenderung terjadi perubahan gaya hidup, pola pikir, dan perubahan adat dalam sosio – budaya masyarakat. Perubahan yang bersifat progresif dan konstruktif akan lebih memperkaya khazanah seni budaya kita, tetapi apabila perubahan itu mengalami involusi, siap-siap saja kita kehilangan salah satu produk budaya kita, identitas, dan jatidiri. Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki produk budaya yang tertuang nilai-nilai budayanya. Melestarikan, merekonstruksi, dan merevitalisasi merupakan belaian sayang untuk membangunkan kesenian lokal yang sedang tertidur.
Ironis, ketika orang-orang luar negeri menyaksikan, meneliti, dan mempelajari topeng cirebon untuk di bawa ke negaranya, sementara masyarakat kita terbuai dengan penawaran-penawaran karya seni dari budaya luar. Apabila keadaannya demikian, lantas kesenian ini milik siapa?. Pepatah mengatakan “tak kenal, maka tak sayang”, mengenal kemudian timbul rasa peduli dan memiliki
Sudah saatnya kita memberikan penghargaan yang sepantasnya pada seniman tradisi dan benda seninya, topeng cirebon. Menjaga nilai dan mengangkatnya memerlukan partisipasi dari berbagai pihak dan lapisan masyarakat, bukan individu atau kelompok tertentu. Meningkatkan apresiasi masyarakat (terutama kaum muda) dengan berbagai tantangannya merupakan langkah konkret menuju intensitas kesenian yang membumi.

No comments:

Post a Comment