Identitas Budaya yang Tercermin Pada Masyarakat Rancakalong
oleh
Aji Permana Sudjamza, S. Sn
Kebudayaan dapat diartikan peradaban yang mengandung pengertian luas, meliputi pemahaman perasaan suatu bangsa yang kompleks. E.B. Taylor (dalam Ilmu Budaya Dasar, 1998:10) mengemukakan kebudayaan meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat (kebiasaan), dan pembawaan lainnya yang diperoleh dari anggota masyarakat.
Para ahli banyak memperbincangkan mengenai definisi kebudayaan dan melahirkan beratus-ratus definisi yang berkenaan dengan kebudayaan. Salah satunya adalah pengertian kebudayaan menurut R Linton dalam bukunya The Cultural Background Of Personality (Harsojo, 1988:92) disebutkan, kebudayaan adalah konfigurasi tingkah laku yang dipelajari dari hasil tingkah laku, yang unsur pembentukannya didukung dan diteruskan oleh anggota masyarakat tertentu.
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kebudayaan adalah hasil budi daya manusia, sehingga kebudayaan dapat dipelajari. Tingkah laku yang dimaksud adalah tingkah laku simbolis manusia yang senantiasa hadir dalam kehidupan. Tingkah laku tersebut tidak bersifat naluri, misalnya cara berjalan, cara makan, minum, dsb., hal tersebut merupakan kebutuhan manusia yang alamiah. Apabila cara berjalan tersebut seperti prajurit atau peragawati yang memerlukan proses belajar, merupakan hasil dari kebudayaan.
Manusia selalu mengungkapkan keberadaannya dengan berbagai cara dalam kehidupan sosialnya. Pengertian kebudayaan dapat pula disebut sebagai “tradisi” yang diartikan sebagai pewarisan atau penurunan norma-norma, adat-istiadat, benda-benda, dan kaidah-kaidah. Tetapi bukan berarti tradisi tidak dapat diubah, justru tradisi dipadukan dengan perbuatan manusia yang lebih bersifat dinamis.
Setiap masyarakat di dunia memiliki kebudayaan yang sesuai dengan karakter dan identitas[1] (Achmad Sadali dalam agus Sachari, 2002:47)yang tidak dapat lepas dari ungkapan budayanya. Hal tersebut tercermin dari konsepsi-konsepsi pemikiran manusia (sistem budaya) dalam menuangkan gagasan untuk memenuhi kebutuhannya yang diimplementasikan dalam aktivitas manusia yang saling berinteraksi dan menghasilkan suatu wujud. Malinownski menyebutkan, kebudayaan di dunia memiliki tujuh unsur, yakni bahasa, sistem teknologi, sistem mata pencaharian, organisasi sosial, religi, dan kesenian. Setiap peradaban masyarakat di dunia memiliki tujuh unsur tersebut dengan kebiasaan, cara, dan penyesuaian terhadap budaya lingkungannya.
Apabila konsep kebudayaan tersebut diterapkan dalam kebudayaan Indonesia, tentunya akan menghasilkan berbagai macam ungkapan budaya dari setiap subkultur Indonesia. Jawa Barat misalnya, terdapat berbagai ungkapan budaya yang sesuai dengan identitas kedaerahannya. Penduduk asli Jawa Barat biasa disebut orang Sunda yang merupakan pembawaan kedaerannya memiliki berbagai adat dan kebiasaan dalam menjalani kehidupannya. Dapat dikatakan kebudayaan Sunda merupakan segenap tindakan dan aktivitas yang mengacu pada olah pikir masyarakatnya, di antaranya mengenai kesenian, ilmu pengetahuan, adat sopan-santun pergaulan, kepandaian menulis, organisasi kenegaraan, dan sebagainya.
Kesenian misalnya, salah satu unsur dari kebudayaan universal yang tercermin dalam kebudayaan Sunda merupakan local genius yang mencerminkan kepribadiannya. Banyak sekali kesenian orang Sunda yang merupakan warisan leluhurnya masih melekat pada hati masyarakat pendukungnya, dalam hal ini orang Sunda atau masyarakat Sunda yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur budayanya. Misalnya, kesenian pantun, beluk, tarawangsa, rengkong, tembang sunda cianjuran, dll., merupakan identitas budaya yang merupakan pengungkapan estetis dari pola pikir masyarakatnya.
Di masyarakat Rancakalong Kabupaten Sumedang terdapat kebiasaan masyarakat yang turun temurun dilakukan sampai saat ini. Tradisi tersebut adalah upacara ngalaksa yang selalu dilakukan setelah panen padi. Upacara tersebut melibatkan seluruh lapisan masyarakat Rancakalong atas keberkahan hasil panen padi dari Yang maha Kuasa. Dalam upacara tersebut digelar kesenian tarawangsa sebagai presentasi estetis dan sebagai medium untuk mengundang ruh leluhur ke alam manusia.
Fenomena tersebut merupakan hasil akal manusia untuk melakukan penghormatan terhadap Tuhan, sekaligus sebagai ungkapan budayanya. Tentunya kebiasaan tersebut dilakukan melalui proses belajar yang dilakukan secara lisan terhadap generasi penerusnya. Tulisan ini membahas seputar kesenian tarawangsa dalam upacara ngalaksa yang merupakan hasil dari kebudayaan yang tercermin dalam identitas budayanya.
Kesenian Tarawangsa
Di daerah Sunda terdapat alat musik gesek yang telah tua keberadaannya, yaitu tarawangsa. Tarawangsa lebih tua keberadaannya daripada rebab, alat gesek yang lain. Naskah kuna Sewaka Darma dari awal abad ke-18 (atau sebelum abad ke-15) telah menyebut nama tarawangsa sebagai nama alat musik. Rebab muncul di tanah Jawa setelah zaman Islam sekitar abad ke-15-16, merupakan adaptasi dari alat gesek bangsa Arab yang dibawa oleh kaum penyebar Islam dari tanah Arab dan India. Setelah kemunculan rebab, tarawangsa biasa pula disebut dengan nama rebab jangkung (rebab tinggi), karena ukuran tarawangsa umumnya lebih tinggi daripada rebab.
Tarawangsa merupakan salah satu jenis kesenian rakyat yang ada di Jawa Barat. Istilah tarawangsa memiliki dua pengertian: Pertama; sebagai alat musik gesek yang memiliki dua dawai yang terbuat dari kawat baja atau besi; kedua, merupakan nama dari salah satu jenis musik tradisional Sunda. Sebagai alat musik gesek, tarawangsa tentu saja dimainkan dengan cara digesek. Akan tetapi yang digesek hanya satu dawai, yakni dawai yang paling dekat kepada pemain; sementara dawai yang satunya lagi dimainkan dengan cara dipetik dengan jari telunjuk tangan kiri. Kedua; sebagai nama salah satu jenis musik, tarawangsa merupakan sebuah ensambel kecil yang terdiri dari sebuah tarawangsa dan sebuah alat petik tujuh dawai yang menyerupai kacapi, yang disebut Jentreng.
Kesenian tarawangsa hanya dapat ditemukan di beberapa daerah tertentu di Jawa Barat, yaitu di daerah Rancakalong (Sumedang), Cibalong, Cipatujah (Tasikmalaya Selatan), Banjaran (Bandung), dan Kanekes (Banten Selatan). Tarawangsa di daerah Cibalong dan Cipatujah, selain digunakan dua jenis alat tersebut di atas, juga dilengkapi dengan dua perangkat calung rantay, suling, juga nyanyian. Alat musik tarawangsa dimainkan dalam laras pelog, sesuai dengan jentrengnya yang distem ke dalam laras pelog
Upacara Ngalaksa
Rancakalong merupakan sebuah desa sekaligus Kota Kecamatan Rancakalong Kab. Sumedang. Sebagian besar penduduknya, sejak masa silam hingga kini, mengandalkan hidup dari bersawah dan bercocok tanam. Karena itu pula, kultur masyarakat daerah ini seakan tetap menyatu dengan alam sekitar. Sistem nilai, tradisi, dan seni budaya, masih cukup melekat di sana.
Di daerah itu masih cukup banyak kebiasaan dari para leluhur, dipertahankan menjadi semacam adat atau tradisi. Selain dapat dilihat dari banyaknya even kesenian dan tradisi yang kini menjadi agenda pariwisata, seperti upacara adat ngalaksa dan rayagungan, beberapa jenis kesenian tradisional masih tetap mewarnai kehidupan warga di sana. Bahkan, desa ini pula memiliki kawasan desa wisata sebagai miniatur kebudayaan masyarakat sekitar, sekaligus sentralisasi budaya setempat untuk dipragmentasikan kepada masyarakat.
Meski kemasannya berbeda, upacara rayagungan dan ngalaksa yang rutin digelar setiap tahun, memiliki makna dan tujuan yang sama, yaitu sebagai pendorong motivasi dan rasa syukur atas hasil panen yang diperoleh masyarakat di sana. Hanya saja, bila tradisi rayagungan yang upacara ritualnya lebih menonjolkan figur para pendekar dan paranormal dan baru digelar ke tiga kali, sedangkan upacara adat ngalaksa sudah ada sejak masih zaman penjajahan Belanda.
Upacara ngalaksa, merupakan upacara ritual sebagai wujud rasa syukur kepada yang Maha Kuasa atas hasil panen yang sudah dilimpahkan kepada masyarakat setempat. Dalam upacara ngalaksa ini, selalu diwarnai berbagai simbol, seperti kesenian rengkong yang berarti mapag ibu pare (padi sunda), kemudian sawen mencerminkan panen, serta jentreng tarawangsa yang artinya ngamumule dimana padi sudah dibawa ke rumah. Ada pula beberapa ikatan kayu bakar yang dipikul untuk pelaksanaan ngalaksa atau mememasak nasi.
Prosesi utama ngalaksa bukan hanya unjuk kekuatan fisik. Prosesi inti justru terjadi di dalam ruangan saat suara mistis jentra Tarawangsa mulai mengalun. Tarawangsa adalah prosesi yang lebih bersifat batiniah. Tarawangsa mengandung arti menerawang pada yang Esa. Melalui Tarawangsa, para penari diajak menyatukan diri hingga dalam kondisi hening dan terbawa alam transedental. Asap dupa yang mengepul semakin tebal, seolah roh-roh gaib datang untuk menyatu dalam kekhidmatan mistis suara rebab dan jentreng atau kecapi. Konon itulah yang dalam konsep religi kuno Sumedang disebut proses penyatuan antara dunia gaib dangan jagat batin manusia.
Orisinalitas dan Identitas
kesenian yang dimiliki merupakan orisinalitas pemilik kesenian tersebut, di mana tertuang nilai estetik sebagai suatu wujud karya budaya. Orisinalitas dibentuk oleh pandangan-pandangan budaya yang dimiliki oleh suatu bangsa. Akhirnya, timbulah identitas yang secara harfiah merupakan ciri khas kedaerahan yang tidak dimiliki oleh suku bangsa manapun atau merupakan tanda pribadi yang sangat pribadi dan tidak dimiliki oleh bangsa manapun.
Kesenian tarawangsa yang digunakan dalam upacara ngalaksa merupakan wujud budaya yang mencerminkan ciri kedaerahannya. Hal tersebut dapat teridentifikasi dari organisasi sosial dan religi masyarakat Rancakalong. Kebiasaan-kebiasaan dalam upacara ngalaksa, seperti menyiapkan sesajen yang terdiri dari aneka makanan dan buah merupakan suatu kebiasaan masyarakat zaman dahulu yang masih terpengaruh oleh keyakinan masyarakat Sunda lama. Selain itu, pencerminan jati diri tersirat dalam masyarakat Rancakalong yang bergotong royong atau bekarjasama untuk mencapai satu tujuan yang sama, yakni untuk mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan hidup.
Keanekaragaman jenis seni budaya yang di miliki Jawa Barat menjadi suatu kebanggaan, bahwa kebudayaan daerahan dapat memperkaya bangsa , bangsa yang besar adalah bangsa yang kaya akan seni budaya yang dimilikinya. kiranya, harus disadari pentingnya pembinaan, pengembangan, dan pelestarian agar keberadaannya tidak hilang dan menjadi identitas bangsa, sekaligus membawa nama daerahnya yang harus dimiliki dan dihargai oleh masyarakatnya.
Penutup
Fenomena tersebut merupakan eksitensi kesenian tradisional yang terkandung nilai-nilai kehidupan tradisi, pandangan hidup, rasa etis dan estetis, serta ungkapan budaya lingkungannya. Hasil kesenian tradisional biasanya diterima sebagai tradisi pewarisan yang dilimpahkan dari angkatan tua kepada angkatan yang muda. Pada dasarnya kesenian tarawangsa memiliki hubungan timbal balik dengan kebutuhan masyarakt rancakalong, apabila kesenian diciptakan memberikan manfaat bagi kehidupan manusia maka tercapailah esensi yang sesungguhnya. Tetapi apabila tidak memberikan apa–apa bagi kehidupan manusia, maka keberadaan kesenian tidak bermanfaat, karena tidak dapat menentramkan batin, kehalusan budi yang menghayatinya.
[1] Identitas adalah tanda dari kepribadian yang tidak dimiliki oleh siapa pun, kepribadian sendiri adalah jumlah seluruh watak sosial seseorang dan kualitas yang memancar dari pribadinya yang merupakan eksistensi kepribadian .