Monday, 9 February 2009

Tarawangsa

Musik Ritual Tarawangsa
Peningkatan konsentrasi Menuju Alam Bawah Sadar
Oleh Aji Permana Sudjamza, S. Sn



Intisari

Tarawangsa merupakan salah satu jenis kesenian yang terdapat di Jawa Barat. Kesenian ini digunakan untuk prosesi ritual yang berkaitan dengan kepercayaan masyarakat pendukungnya. Kesenian tarawangsa dapat dikategorikan sebagai musik ritual, karena adanya ruang sakral yang dibentuk oleh keyakinan yang dianut masyarakat. Yang menarik untuk dikaji adalah ketika musik ini digunakan untuk iringan tari. Hadirin yang mengikuti prosesi ini dipersilakan untuk menari, mereka mengalami trance (tak sadarkan diri). Sebetulnya secara tidak sadar mereka dipengaruhi oleh musik tarawangsa hingga menuju pada tingkat konsentrasi (pengosongan pikiran). Kemudian, bagaimana hubungan antara musik dengan makhluk gaib? Apakah mereka sama hakekatnya dengan manusia memiliki perasaan, akal, dan kehendak?



Pendahuluan

Di Indonesia kesenian tradisional selalu dikaitkan dengan kepentingan yang erat kaitannya dengan kepercayaan masyarakat dalam melangsungkan kehidupan sosialnya. Kesenian digunakan sebagai media penghubung antara manusia dengan kehidupan lain yang tidak dapat terindera oleh kasat mata atau hubungan manusia dengan Tuhan. Keberadaannya merupakan ungkapan keindahan yang dituangkan melalui karya seni, dalam rangka penghormatan atau rasa syukur pada ‘makhluk halus ‘ – yang tidak tampak - atas keselarasannya dengan kehidupan manusia. ‘Makhluk halus’ yang dimaksud adalah adanya ruh nenek moyang, artinya selain meyakini adanya Tuhan mereka percaya akan adanya alam lain yang ditempati oleh ruh nenek moyang. Hal ini dipengaruhi oleh keyakinan lama mereka, mengingat bahwa pada zaman dahulu masyarakat Indonesia adalah penganut animisme dan dinamisme.[1] Maka kesenian dihubungkan dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan suatu ritus tertentu - menggunakan kesenian yang sudah biasa mereka lakukan dalam kurun waktu yang cukup lama.
Masyarakat Sunda lama meyakini adanya ruh leluhur (karuhun) yang senantiasa bergandengan dengan kehidupan manusia, bahkan pada zaman sekarang pun sebagian masyarakat tradisional masih meyakini hal tersebut. Biasanya mereka mengadakan hubungan dengan alam lain melalui suatu ritus yang menggunakan musik sebagai mediator.
Di daerah Rancakalong Kabupaten Sumedang, terdapat salah satu jenis kesenian yang masih digunakan untuk kepentingan upacara ritual. Kesenian tersebut adalah tarawangsa. Masyarakat Rancakalong masih memegang tradisi adat dalam melangsungkan kehidupan sosialnya. Masyarakat setempat meyakini adanya mahkluk halus yang senantiasa mempengaruhi kehidupan mereka, keberadaanya menduduki tempat yang penting, sehingga menjadi objek penghormatan, doa, sajian, dan sebagainya.
Masyarakat Rancakalong meyakini bahwa keselarasan dengan makhluk halus tersebut membawa dampak yang sangat besar bagi kelangsungan hidupnya. Hasil panen dan keselamatan masyarakat ditunjang oleh mahkluk halus atau ruh nenek moyang mereka. Ruang sakral yang mengitari kehidupan mereka merupakan manifestasi keberadaan spirit (makhluk halus) yang seiring dengan kehidupan sosial mereka.
Masyarakat religius berusaha untuk mengungkapkan keberadaannya untuk tujuan penyadaran diri terhadap kehendak dan kekuasaan gaib (Tuhan,ruh nenek moyang, dewa, dsb.)[2] Untuk kepentingan tersebut masyarakat Rancakalong memanifestasikan dirinya dengan mengadakan upacara ritual. Upacara tersebut dihubungkan dengan hasil bumi--panen padi, mereka menyebutnya ngalaksa sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang telah didapat; rayagungan, dan upacara bubur Suro. Dalam upacara tersebut digelar kesenian tarawangsa sebagai media penghubung antara alam mahkluk halus dengan alam manusia. Musik ritual tarawangsa mengantarkan masyarakat pendukungnya pada keadaan alam bawah sadar hingga trance (tak sadarkan diri), keadaan ini terjadi ketika mereka menari diiringi dengan musik tarawangsa.
Sesuatu yang sangat menarik untuk dikaji ketika musik tarawangsa digunakan untuk upacara ritual, dalam prosesi tersebut masyarakat menari dan mengalami trance (hilang kesadaran). Dengan iringan musik tersebut mereka menuju ruang sakral – transendental, keterbukaan dengan ruang gaib yang tak dapat terindra secara lahiriah. Secara psikologi, musik Tarawangsa mempengaruhi alam pikiran mereka - secara tidak sadar musik Tarawangsa membawa pada alam bawah sadar masyarakat yang meyakininya.
Musik spiritual meningkatkan tingkat samadi pendengar yang meyakininya, kemudian makhluk halus (spirit) yang mendiami lingkungan manusia serta-merta menuju alam manusia, bahkan bergandengan dengan ruh manusia. Apakah musik tarawangsa dihayati oleh mahkluk halus – ruh nenek moyang masyarakat Rancakalong? Belum dapat dibuktikan kebenarannya. Musik tarawangsa hanya sebatas pengantar menuju meditasi--tingkat konsentrasi orang yang mendengarkannya. Musik ritual tarawangsa menjadi sakral karena dibentuk oleh keyakinan dan kesungguhan penghayatnya.
Tulisan ini merupakan peninjauan awal mengenai studi literatur musik ritual tarawangsa. Menawarkan aspek- aspek yang membentuk ruang sakral yang berhubungan dengan kehidupan sosial masyarakat Rancakalong. Dan pengaruh musik tersebut terhadap emosi mereka, mengingat bahwa musik ini dapat menyebabkan hilangnya kesadaran orang yang menari. Prosesi ritual ini dikaitkan dengan adanya makhluk halus yang berada dilingkungan masyarakat Rancakalong, hingga mereka melakukan penghormatan, doa, dsb, dalam rangka penyelarasan antara kehidupan manusia dengan alam lain.


Musik Ritual

Musik ritual dihubungkan dengan sesuatu yang berkaitan dengan upacara keagamaan atau kepercayaan yang diyakini oleh sekelompok orang atau masyarakat dalam rangka penyembahan dan penghormatan terhadap yang gaib. Dalam hal ini musik digunakan sebagai media transceiver menuju alam yang dihuni oleh makhluk halus. Adanya ruang sakral (suci, keramat) yang dibentuk oleh keyakinan yang dianut masyarakat, dan dengan musik manusia mengalami keterbukaan rohani melakukan penyesuaian dengan alam. van Peursen dalam Strategi Kebudayaan menyebutnya sebagai manusia yang transcendental (berdasarkan kerohanian), artinya manusia tidak terkurung (imanen) pada kehidupan dirinya, melainkan luruh terhadap kehendak alam. Menurut E.B Taylor asal mula religi adalah kesadaran manusia akan konsep ruh (Koentjaraningrat, 1998:195).
Pada dasarnya musik ritual dibentuk oleh keyakinan manusia terhadap adanya alam metafisik. Manusia sadar bahwa gerak dalam alam (yaitu hidup) disebabkan oleh suatu kekuatan yang berada di samping tubuh jasmaninya, yakni jiwa yang kemudian disebut ruh. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan masyarakat tradisional bahwa gerak alam disebabkan oleh adanya ruh. Fenomena alam yang terjadi seperti, gunung meletus, peredaran matahari, timbulnya tumbuh–tumbuhan, dan sebagainya, semuanya disebabkan oleh kekuatan alam. Adanya ruh yang terdapat pada alam dipersonifikasikan sebagai dewa-dewa yang menguasai alam, dan dewa-dewa tersebut dianggap sebagai makhluk halus yang memiliki kehendak, kepribadian, dan akal. Jelaslah bahwa yang gaib itu menduduki tempat terpenting dalam kehidupan manusia, sehingga mereka melakukan penyelarasan dengan makhluk yang tak terlihat itu. Bentuk penyembahan, penghormatan, dan doa dilakukan dengan berbagai versi. Salah satu bentuk penghormatan tersebut menggunakan musik sebagai media penghubung antara alam manusia dengan alam lain yang tak terlihat. Antara musik dan ruh manusia berinterferensi menuju pada ’kesakralan’ yang diyakini dapat menebus dimensi abstrak .[3]
Pada dasarnya musik sakral untuk prosesi ritus dipengaruhi oleh keyakinan yang dianut oleh masyarakat pendukungnya. Musik sakral dapat digunakan sesuai dengan keinginan masyarakatnya, salah satunya musik yang dianggap keramat dapat digunakan untuk pengusir ruh jahat yang dapat memudarkan keteraturan yang sudah dijalin antara alam manusia dan alam gaib atau antara manusia dengan alam semesta. Selain sebagai media upacara syukur terhadap hasil bumi, keselamatan, dsb, musik ritual yang dinggap keramat itu dapat menimbulkan ketentraman batin yang meyakininya. Esensinya musik ritual yang sakral mempengaruhi emosi manusia, hingga menimbulkan kehalusan budi yang mendengarkannya. Tentunya tidak semua orang yang mendengarkan musik ini menghayati betul karismanya, hal ini didasari oleh keyakinan dari setiap individu atau kelompok masyarakat yang menganggap suci atau keramatnya musik tersebut.
Para pakar musik beranggapan bahwa musik yang digunakan untuk kepentingan upacara keagamaan cenderung repetitif, sederhana, dan menggunakan teba nada yang terbatas. Di Indonesia banyak sekali musik yang digunakan untuk prosesi ritus, biasanya musik seperti ini terdapat di kalangan masyarakat tradisional yang masih memegang teguh adat dan kepercayaannya. Misalnya saja kelong sagala di daerah Sulawesi Selatan, gandrung banyuwangi daerah Jawa Timur, Tarawangsa di daerah Jawa Barat, dan masih banyak lagi kesenian lain yang dihubungkan dengan unsur mistis.
Musik Ritual Tarawangsa

Telah disebutkan di muka, bahwa musik ritual terwujud berdasarkan kepercayaan yang dianut masyarakat pendukungnya. Musik yang dianggap sakral itu dapat menyebabkan keterbukaan jagat batin manusia dengan penghuni alam semesta – yang lebih bersifat metafisik. Kesenian tarawangsa misalnya, musik ini digunakan untuk kepentingan upacara-upacara yang berhubungan dengan makhluk halus (spirit), biasanya kesenian ini digunakan untuk pengungkapan rasa syukur atas keberkahan panen padi.
Kesenian tarawangsa hanya dapat ditemukan di beberapa daerah tertentu di Jawa Barat, yaitu di daerah Rancakalong (Sumedang), Cibalong, Cipatujah (Tasikmalaya Selatan), Banjaran (Bandung), dan Kanekes (Banten Selatan). Tarawangsa di daerah Cibalong dan Cipatujah, selain menggunakan dua jenis alat musik tarawangsa dan jentreng, juga dilengkapi dengan dua perangkat calung rantay, suling, juga nyanyian. Alat musik tarawangsa dimainkan dalam laras pelog, sesuai dengan jentrengnya yang distem ke dalam laras pelog. Tarawangsa memiliki dua pengertian; Pertama, sebagai alat musik gesek yang memiliki dua dawai yang terbuat dari kawat baja atau besi; kedua, merupakan nama dari salah satu jenis musik tradisional Sunda. Tarawangsa merupakan sebuah ensambel kecil yang terdiri dari sebuah tarawangsa dan sebuah alat petik tujuh dawai yang menyerupai kacapi, yang disebut jentreng.
Tarawangsa di daerah Rancakalong Kabupaten Sumedang jauh lebih banyak jumlah lagunya apabila dibandingkan dengan tarawangsa yang berada di Banjaran dan Cibalong. Tarawangsa di Rancakalong terdiri dari dua kelompok lagu, yakni lagu-lagu pokok dan lagu-­lagu pilihan atau lagu-lagu tambahan, yang semua berlaraskan pelog. Lagu pokok terdiri dari lagu Pangemat/pangambat, ‘Pangapungan’, ‘Pamapag’, ‘Panganginan’, ‘Panimang’, ‘Lalayaan’, dan ‘Bangbalikan’. Ketujuh lagu tersebut dianggap sebagai lagu pokok, karena merupakan kelompok lagu yang mula-mula diciptakan dan biasa digunakan secara sakral untuk mengundang Dewi Sri.[4] Lagu- lagu tersebut digunakan untuk upacara ritual dalam rangka pengungkapan rasa syukur atas keberkahan hasil panen. Konon dengan melantunkan lagu tersebut dapat menghadirkan Dewi Sri atau Sri Pohaci (dalam mitologi Sunda Nyai Sri Pohaci, dewi pangan yang mengusai hasil bumi--padi), selain itu musik tarawangsa disajikan pada upacara Ngalaksa, Rayagungan, Bubur Suro, dan upacara lainnya yang berhubungan dengan kepercayaan mereka.
Tarawangsa biasa disajikan berkaitan dengan upacara padi, misalnya dalam ngalaksa, yang berfungsi sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang melimpah. Tarawangsa adalah prosesi yang lebih bersifat batiniah. Tarawangsa mengandung arti menerawang pada yang Esa. Melalui tarawangsa, para penari diajak menyatukan diri hingga dalam kondisi hening dan terbawa alam transedental--roh-roh gaib datang untuk menyatu dalam kekhidmatan mistis suara rebab dan jentreng atau kecapi. Konon itulah yang dalam konsep religi kuno Sumedang disebut proses penyatuan antara dunia gaib dengan jagat batin manusia. Penyatuan tersebut mengundang ruh atau makhluk halus datang pada saat prosesi, tak heran apabila orang yang menari mengalami trance (tak sadarkan diri). Pada saat itu terjadi mediumisasi, artinya ruh atau makhluk halus tersebut berinterferensi dengan ruh manusia, atau barangkali yang gaib itu menguasai alam bawah sadar penari. Keadaan itu merupakan manifestasi yang gaib dalam mengikuti prosesi ritual, artinya ia (makhluk halus) turut serta dalam penghormatan itu dengan cara merasuki penari, hingga penari kerasukan mahkluk gaib.



Pengantar Menuju Tingkat Konsentrasi

Musik bersifat afektif (emosional), artinya terjadi komunikasi perasaan antara penghayat dan pelaku. Dalam konteks ini, musik ritual sangat mempengaruhi tingkat emosi seseorang. Ketika seseorang mendengarkan musik yang dinggap sakral, ia akan merasakan vibrasi musik tersebut pada suasana hatinya. Secara tidak langsung musik merangsang otak untuk merespon frekuensi yang diserap oleh telinga. Pada tahap awal penangkapan gelombang ini disebut sensasi. Setelah menerima frekuensi (baca: musik) tersebut, secara emosional gelombang frekuensi itu mengajak untuk mengekspresikan apa yang telah diterima oleh otak. Pada tahap selanjutnya tubuh merespon rangsangan yang ditimbulkan oleh gelombang frekuensi tadi, hal ini disebut sebagai model pikiran sehat (Djohan, 2005 : 43).
Ketika seseorang mendengarkan musik keras, misalnya jenis musik Rock, Hip Hop, Blues, dsb, jenis musik tersebut cenderung menggunakan irama, tempo, dan ritme yang relatif cepat. Secara tidak sadar orang yang mendengarkan musik tersebut terpacu untuk menggerakkan tubuhnya - psikomotorik. Pengaruh tersebut secara tidak langsung membentuk tingkah laku dan merupakan pencerminan gaya hidup seseorang. Musik yang cenderung keras (loud), seperti jenis musik Heavy Metal, dapat mempercepat detak jantung. Misalnya, ketika seseorang mengendarai kendaraan (mobil, motor, speed boat, dsb.) sambil mendengarkan musik tersebut, maka secara tidak sadar dapat memacu adrenalin,[5] sehingga kecepatan mengendarai kendaraan akan bertambah. Hal inipun dapat meningkatkan tingkat konsentrasi pengendara. Lain halnya, ketika seseorang mendengarkan musik lembut (soft)- musik klasik, instrumentalia lembut, dsb. Musik jenis ini menawarkan kehalusan emosi yang mendengarkannya.
Kembali pada pokok bahasan mengenai musik ritual tarawangsa, pada dasarnya mempunyai kesamaan dengan contoh kasus di atas. Hadirin yang menari pada saat prosesi ritual dengan tarawangsa sebagai pengiringnya, mereka dipengaruhi oleh alunan musik tersebut dan kemudian larut dalam penghayatan musikal. Keadaan tersebut menimbulkan efek yang luar biasa bagi penari. Vibrasi musik yang dihasilkan tarawangsa mempengaruhi alam bawah sadar, adanya ajakan pengalihan pemuasan keinginan naluri -- persuasi subliminal. Ketika mereka mendengarkan iringan tarawangsa, saraf motoriknya bergerak dan spontan mereka menari. Mereka menghayati betul karisma musik yang ditawarkan, akhirnya mereka terhanyut pada keadaan ekstase.
Menurut Barbara Crowe dalam Djohan (2005:229), mengatakan bahwa musik dan irama menghasilkan efek penyembuhan, karena dapat menenangkan aktivitas yang berlebihan dari otak kiri. Ia menyebutkan bahwa suara repetitif yang keras mengirim sinyal konstan kepada korteks (lapisan zat kelabu atau kulit pada permukaan otak kecil) serta menutup masukan dari indra yang lain seperti pandangan, sentuhan, dan bau. Barangkali ini yang disebut tingkat keheningan pikiran atau konsentrasi, di mana indra yang lain ditutup, kemudian menuju pada alam bawah sadar.
Hal ini cukup beralasan ketika musik tarawangsa disajikan dalam upacara ritual. Para penari menghayati alunan melodi gesekan alat musik tarawangsa. Dalam komposisi musiknya, yang lebih dominan adalah melodi tarawangsa. Jentreng berfungsi sebagai pengiring alur lagu dan sebagai patokan atau pijakan melodi. Terdapat pengulangan yang berkesinambungan dalam setiap periodenya, yang terdiri dari beberapa frase.
Ciri khas dari musik tarawangsa adalah alur melodi tarawangsa, selain itu petikan jentreng selalu menggunakan teknik tengkepan. Barangkali domain gesekan tarawangsa itulah yang mempengaruhi alam bawah sadar penari hingga mengalami trance. Karakteristik musik tarawangsa memang mengundang pendengarnya untuk ngigel atau menari. Hal ini dapat dirasakan dari petikan jentreng yang menggunakan tempo sedang dan petikan-petikan yang seakan mengajak menari mengikuti alunannnya. Barangkali hal tersebut dapat dirasakan oleh orang-orang tertentu yang mengenal betul akan nilai yang terkandung didalamnya. Motif pengulangan yang terdapat pada komposisi musiknya, berdasarkan pada cita rasa sosio masyarakat setempat -- barangkali pengulangan di sini dilakukan tanpa disadari.
Proses penyatuan antara dunia gaib dan jagat batin manusia tentunya memerlukan tingkat konsentrasi tinggi untuk menembusnya. Menuju tingkat konsentrasi itu mereka menggunakan musik tarawangsa sebagai meditasi ke arah heningnya alam pikiran. Ternyata untuk menuju tingkat konsentrasi itu, seorang penari mempunyai selera dalam memilih lagu. Apabila lagu yang dibawakan tarawangsa sesuai dengan seleranya, maka akan semakin cepatlah menuju pada keheningan alam pikiran dan kemudian ia tak sadarkan diri.
Pada dasarnya musik tarawangsa ditujukan untuk manusia menuju pada tingkat konsentrasi tinggi. Adapun mereka menyebutnya sebagai pengundang makhluk halus, itu semua hanya suatu proses menuju transenden. Kita belum mengenal betul hakekat makhluk halus yang sesungguhnya, apakah mereka juga sebagai makhluk yang mempunyai keinginan, pikiran, dan rasa laiknya manusia? Hal itu belum dapat diketahui dengan pasti, karena sesuatu yang tidak terwujud (tampak) sangat sutlit diketahui keberadannya. Adapun yang menyebabkan mereka mengalami trance saat menari, adalah aspek keyakinan penduduk setempat. Sedangkan tingkat konsentrasi untuk menuju pada interferensi antara manusia dengan ruh halus disebabkan oleh musik tarawangsa yang dapat meningkatkan keheningan alam pikiran.



Penutup

Pada dasarnya musik sakral (suci, keramat) yang digunakan untuk upacara yang berhubungan dengan keyakinan, dapat mengantarkan pendengarnya untuk menuju pada tingkat konsentrasi yang lebih tinggi. Ketika seorang penari mendengarkan musik tarawangsa, dan saat ia menghayati betul alunan tarawangsa. Secara tidak disadari musik tersebut bekerja mempengaruhi alam bawah sadar sang penari. Gelombang frekuensi yang dihasilkan dari keutuhan tarawangsa yang didengar oleh penari, dan secara tidak disadari emosi mereka berubah setelah mendengarkan alunannya. Kemudian gerak tubuh tetap merespon untuk melakukan gerakannya, walaupun mereka dalam keadaan trance.
Pada dasarnya musik memiliki hubungan timbal balik dengan kebutuhan manusia, apabila musik diciptakan memberikan manfaat bagi kehidupan manusia maka tercapailah esensi musik yang sesungguhnya. Tetapi apabila musik tidak memberikan apa–apa bagi kehidupan manusia, maka musik tidak bermanfaat, karena tidak dapat menentramkan batin, kehalusan budi yang mendengarkannya.
[1] Animism yaitu kepercayaan yang berdasarkan atas keberadaan ruh yang terdapat di lingkungan manusia, sehingga dilakukan berbagai kegiatan keagamaan guna memuja ruh-ruh tersebut. Dinamism adalahkepercayaan terhadap kekuatan sakti yang ada pada benda-benda atau yang dianggap keramat mempunyai kekuatan sakti, sehingga dilakukan kegiatan keagamaan yang berpedoman pada kepercayaan itu.
[2] Menurut Frazer religi adalah suatu sistem perbuatan untuk mencapai maksud dengan cara menyadarkan diri terhadap kehendak dan kuasa makhluk-makhluk halus yang menghuni alam semesta ini. Dalam Koentjaraningrat.Pengantar Antropologi : Pokok-Pokok Etnografi.Jakarta .1998. Hal 197
[3] Istilah ini diartikan alam lain yang tak dapat terindra oleh pancaindra manusia. Keberadaan alam ini diyakini oleh sebagaian manusia, adanya alam ruh, nenek moyang, dewa, dsb. yang tersekat oleh perbedaan wujud antara materi dan energi.
[4] Lihat situs www.westjava-Indonesia.com
[5] Hormon yang diproduksi anak ginjal, hormon ini juga dikenal sebagai hormon epinefina. Khasiatnya adalah memacu jantung, meninggikan tekanan darah, mengerutkan pembuluh darah di kulit, melebarkan pupil mata, dan meningkatkan kewaspadaan.

No comments:

Post a Comment