Kelong Sagala:
Nyanyian Pengobatan
Kesenian adalah salah satu unsur dari kebudayaan universal, setiap manusia di dunia memiliki kesenian yang sesuai dengan sosio-budayanya. Kesenian merupakan kebutuhan integratif yang mencerminkan manusia sebagai makhluk yang mempunyai cita rasa. Dengan demikian setiap kebudayaan manusia memiliki kesenian yang didasari oleh cita-cita masyarakat pendukungnya, dan merupakan ungkapan budayanya.
Kesenian tradisi Indonesia merupakan kesenian yang lahir dari sub-kultur Indonesia - mengingat bahwa bangsa Indonesia memiliki beragam corak budaya, maka bermacam-macam pula kesenian yang dimilikinya. Kesenian tradisi Indonesia cenderung dihubungkan dengan kepentingan yang erat kaitannya dengan kepercayaan masyarakat pendukungnya. Hal ini berkaitan dengan aspek keyakinan yang dianut masyarakat setempat, dan adanya suatu kebiasaan religius yang berhubungan dengan alam yang tidak dapat dilihat oleh kasat mata--adanysa alam roh, baik roh nenek moyang atau roh jahat yang senantiasa bergandengan dengan kehidupan manusia.
Kesenian di daerah suku Indonesia cenderung tertuju pada sakralitas, kesenian digunakan untuk kepentingan upacara-upacara ritual, misalnya untuk upacara panen padi, ritual penurunan hujan, keselamatan, dll. Bahkan di daerah Propinsi Sulawesi Selatan, tepatnya daerah Tinggi Muncung- Gowa Toraya terdapat salah satu seni tradisi yang digunakan untuk penangkal atau pengusir penyakit. Mereka menyebutnya kelong sagala, tidak tahu pasti apa arti kelong sagala, Judul lagu atau suatu jenis kesenian. Masyarakat setempat menyebutnya sebagai mantram atau mantra untuk menghindarkan atau mengusir penyakit cacar, konon penyakit tersebut disebabkan oleh roh jahat yang mengganggu masyarakat setempat. Prosesi ini dilakukan di tempat terbuka dengan posisi samadi atau di dalam rumah di mana terbaring seorang yang terjangkit penyakit cacar.
Mantra tersebut menggunakan bahasa kuno daerah setempat, dan yang lebih mengherankan mereka - pengucap mantra - banyak yang tidak mengerti apa arti mantra yang diucapkannya. Lantas apa yang menyebabkan mereka terhindar dari gangguan roh jahat, sementara mereka tidak tahu arti dari mantra yang diucapkannya. Nyanyian kelong sagala-kah yang menyebabkan kesembuhan mereka, atau keyakinan mereka terhadap bertuahnya nyanyian kelong sagala. Tentunya terdapat hubungan timbal balik antara kelong sagala dengan emosi mereka, sehingga nyanyian tersebut dapat menimbulkan keyakinan yang dapat mengembalikan daya tahan tubuh seseorang yang terkena penyakit cacar.
Nyanyian yang sederhana
Mantra tersebut dinyanyikan secara bersama oleh sekelompok pria dan wanita dewasa dengan interval nada yang terbatas, dan secara bentuk musikal nyanyian tersebut tergolong sederhana, terdapat pengulangan- pengulangan dalam setiap frasenya. Apabila mengacu pada struktur musikalnya, nyanyian ini hanya terdiri dari dua frase saja. Dalam satu periode terdapat dua frase yang mengalami pengulangan secara kontinyu, sehingga terdapat kesan monoton. Kelong sagala atau mantra tersebut dinyanyikan dengan irama bebas, dengan tempo yang relatif lambat. Warna suara yang khas serta nyanyian meliuk-liuk dengan menggunakan nada yang terbatas menimbulkan rasa magis yang mencekam. Secara umum nyanyian kelong sagala dilantunkan unison oleh beberapa orang pengucap mantra. Dalam sajiannya terasa kekhidmatan suasana mistis yang mengantarkan pada kesakralan.
Kemudian timbul pertanyaan yang mendasar mengenai mantra yang dinyanyikan itu. Pertama; apakah kelong sagala dapat dikatakan musik vocal, kedua; apa yang menyebabkan masyarakat Tinggi Muncung dapat sembuh atau terhindar dari penyakit cacar? musikkah yang mempengaruhi kejiwaan mereka atau sang roh jahat takut akan makna teks - mantra itu, atau lagu yang membawakan mantra tersebut. Padahal, apabila diukur dengan pemikiran yang rasional tidak ada hubungan antara roh jahat dan penyakit cacar, yang ada hanyalah aspek keyakinan masyarakat setempat mengenai keberadaan makhluk halus yang mengganggunya.
Dapatkah kelong sagala disebut musik sakral dalam rangka pengobatan? Barangkali jawabannya bergantung dari keyakinan orang yang mempercayai akan bertuahnya musik tersebut, sementara bagi orang yang tidak mempercayai khasiat musik terhadap kejiwaan seseorang, maka tidak berkhasiatlah guna musik untuk pengobatan penyakit cacar itu. Dan apabila kelong sagala tidak lagi digunakan untuk pengusiran roh jahat dalam rangka penyembuhan penyakit cacar, melainkan dinyanyikan semata untuk hiburan, maka musik yang sederhana itu tidak dikatakan lagi sebagai musik sakral melainkan hiburan- adanya perubahan dari sakral menuju profan.
Kelong sagala adalah mantra yang dinyanyikan, merupakan media penghubung dengan alam lain yang ditempati oleh makhluk halus. Mantra kelong sagala menyebabkan roh jahat tidak mengganggu masyarakat, dengan mantra yang dinyanyikan itu mereka yakin dapat sembuh atau terhindar dari serangan penyakit cacar. Sedangkan nyanyian itu atau irama yang membawa mantra, merupakan suatu pengantar menuju konsentrasi tinggi hingga irama yang relatif sederhana itu dapat mempengaruhi kejiwaan mereka dan merasuk melalui alam bawah sadar - persuasi subliminal, timbullah keyakinan untuk sembuh atau terhindar penyakit cacar dalam alam pikirannya.
Jelas sekali, peranan kelong sagala hanya sebagai pengantar menuju ketentraman jiwa agar lebih menghayati keyakinan mereka, sedangkan hubungan antara alam manusia dan alam roh lebih mengacu pada makna teks atau mantra yang diucapkanya. Walaupun sebagian besar pembaca mantra tidak mengerti makna yang diucapkannya, mereka yakin dengan ber-kelong sagala roh jahat itu tidak lagi menggangu manusia. Esensinya adalah keyakinan dari pembaca mantra dan orang yang terjangkit penyakit cacar.
Kemungkinan besar irama yang lambat dan cenderung diulang-ulang itu - secara psikologis – mengantar pada tingkat Semadi, menuju pada konsentrasi dalam rangka memantapkan kepercayaan yang mereka yakini. Berarti melantunkan lagu atau mengucapkan mantra yang dinyanyikan itu ditujukan pada manusia, bukan pada sosok makhluk halus yang mengganggunya. Dan kita tidak mengetahui dengan pasti mengenai hakekat makhluk halus yang sesungguhnya, apakah mereka memiliki cita rasa laiknya manusia? Kemudian, apakah mereka menghayati seni (musik) karya manusia?. Hal tersebut belum dapat diketahui kebenarannya, dan belum terukur oleh pemikiran budi manusia, semua itu tergantung pada kepercayaan yang diyakini oleh masyarakat setempat.
Korelasi antara nyanyian dengan pengobatan
Ketika mereka mengucapkan mantra atau ber-kelong sagala, secara tidak disadari mereka dipengaruhi oleh nyanyian itu. Vibrasi atau getaran frekuensi yang dihasilkan dari alunan tersebut menibulkan getaran pada emosional mereka. Pada dasarnya musik bersifat afektif (emosional), artinya lebih menitikberatkan pada perasaan atau tingkat emosional seseorang. Dalam konteks ini, musik ritual yang dianggap sakral sangat mempengaruhi tingkat emosi seseorang. Ketika seseorang mendengarkan musik yang dinggap sakral, ia akan merasakan vibrasi musik tersebut pada suasana hatinya. Secara tidak langsung musik merangsang otak untuk merespon frekuensi yang diserap oleh telinga. Pada tahap awal penangkapan gelombang ini disebut sensasi. Setelah menerima frekuensi (baca: musik) tersebut, secara emosional gelombang frekuensi itu memicu untuk mengekspresikan apa yang telah diterima oleh otak. Pada tahap selanjutnya tubuh merespon rangsangan yang ditimbulkan oleh gelombang frekuensi tadi.
Apabila dihubungkan dengan kemonotonan yang ditimbulkan dari alunan kelong sagala, tentunya ada alasan yang mendasar mengenai kemonotonan tersebut dengan cara kerja otak. Mengingat bahwa otak merupakan prosessor yang paling mutakhir, sebagai central pemerintah tubuh. Barangkali, ketika seseorang terjangkit penyakit cacar, kemudian mendengarkan mantra yang dinyanyikan. Secara tidak disadari ia mengalami pemuasan pengalihan naluri yang diperintah otak, sehingga daya tahan tubuh penderita kembali normal.
Hal di atas cukup masuk akal, ketika pengucap mantra melantunkan nyanyian, ia tertuju pada tingkat semedi. Demikian pun si penderita, ia akan dipengaruhi oleh vibrasi nyanyian yang repetitif. Rangsangan kelong sagala dapat menstabilkan daya tahan tubuh seperti semula.
Upaya ini hanya suatu proses rasionalisasi dibalik pengaruh nyanyian kelong sagala pada kejiwaan. Adapun mereka menyebutnya sebagai gangguan roh jahat, itu semua berhubungan dengan aspek keyakinan masyarakat setempat dalam menerima daya-daya kekuatan alam.
Esensi Kelong Sagala
Dalam deskripsi Musik Tradisi Nusantara volume I mengenai kelong sagala, masih belum pasti mengenai penggolongan kelong sagala pada kategori musik, mungkin secara material kelong sagala belum memenuhi unsur musik. Nyanyian tersebut relatif monotone, tidak ada dinamika dalam alurnya dan kurangnya interaksi antara nada-nada. Apabila kita mengelompokannya menggunakan parameter unsur musik barat , mungkin kelong sagala kurang memenuhi unsur musik. Tetapi apabila mengacu pada hal yang umum- yakni irama – kelong sagala dapat dikategorikan musik, sebab unsur umum dari segala kebudayaan adalah irama. Kelong sagala memiliki warna suara yang khas, walaupun terdapat tingkat kesamaan dengan ciri khas Banyuwangen, yakni terletak pada musik vocal yang dilantunkan yang menggunakan teba nada terbatas. Walau pun demikian tetap saja kelong sagala mempunyai karakter tersendiri. Adapun kesamaan dengan kesenian yang terletak didaerah lain, hal itu merupakan proses pengendapan pengaruh yang akhirnya disesuaikan dengan sosio budaya masyarakat setempat.
Pada dasarnya musik memiliki hubungan timbal balik dengan kebutuhan manusia, apabila musik diciptakan memberikan manfaat bagi kehidupan manusia maka tercapailah esensi musik yang sesungguhnya. Tetapi apabila musik tidak memberikan apa – apa bagi kehidupan manusia, maka musik tidak bermanfaat, karena tidak dapat menentramkan batin, kehalusan budi yang mendengarkannya.
Walaupun alunan kelong sagala relatif sederhana, namun bagi masyarakat Tinggi Muncung mantra yang dinyanyikan tersebut bermanfaat bagi kehidupan mereka. Masyarakat setempat yang meyakini akan kemanjuran kelong sagala. Mereka tidak menilai alunan tersebut secara jasmaniah, melainkan rohaniah. Barangkali mereka tidak menilai keindahan dari bentuk musikalnya seperti halnya estetika barat yang materialistik dan bagaimana manusia mendunia. Tetapi yang mereka pegang adalah bagaimana manusia transenden, karena ungkapan fisiknya tidak terlalu penting dan yang penting adalah bagaimana imbasnya bagi kehidupan.
Pada dasarnya kelong sagala merupakan mantra yang dinyanyikan, dan ditujukan unutk roh jahat yang mengganggu lingkungan masyarakat sekitar. Secara struktur musikal kelong sagala sangat sederhana, bahkan cenderung monoton—terdapat pengulangan-pengulangan dalam setiap frasenya. Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan, bahwa pada dasarnya alunan kelong sagala yang monoton itu mempengaruhi ambang batas sadar penderita penyakit cacar. Keadaan seperti itu yang menyebabkan kembalinya daya tahan tubuh seseorang yang terjangkit penyakit cacar. Nyanyian yang monoton itu tidak semata-mata ditujukan untuk sosok roh jahat yang menggangu masyarakat setempat, tetapi sebagai penopang keyakinan mereka dalam rangka penyembuhan atau pengusiran penyakit cacar.
No comments:
Post a Comment